Chereads / BREAK THE RULE OF FRIENDSHIP / Chapter 39 - Kebingungan

Chapter 39 - Kebingungan

"Gimana?"

Kai masih kebingungan dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Nanang, ia sangat bingung harus menjawab apa dengan pertanyaan itu karena di lubuk hatinya yang paling dalam Kai tidak benar-benar mencintai laki-laki yang ada di hadapannya ini.

Saat pertanyaan itu dilontarkan oleh Nanang, bayangan wajah Diga serta ke bodohan yang ia lakukan langsung terbayang dengan jelas di hadapannya seolah mengingatkan dirinya untuk mengetahui hati siapa yang perlu di perjuangkan?

"Aku pikir-pikir dulu deh kak," jawab Kai dengan terbata-bata karena perasaan yang tidak enak dengan kebaikan yang diberikan oleh Nanang kepada dirinya.

"It's ok," jawab Nanang kecewa dengan rawut wajah yang berusaha untuk tidak apa-apa.

Setelah makan malam mereka berdua berswafoto menggunakan ponsel terbaru Nanang, untuk di unggah ke sosial media katanya. Kai mendengar ucapan itu langsung membulatkan matanya karena merasa sangat tidak pantas berada di akun sosial media Nanang dengan followers yang hampir menyentuh angka 1 juta.

"Eh, kak. Nggak usah kak. Malu."

Nanang hanya tertawa geli mendengar ucapan itu meskipun sebenarnya ia merasa marah karena belum telihat perubahan pada sikap Kai kepadanya.

"Perempuan mana yang tidak ingin berada di sosial media gue?" gumamnya sendiri.

Dada Nanang dipenuhi dengan rasa kekesalan pada Kai ia benar-benar merasa akan kalah pada taruhan kali ini.

Mobil yang dikendarai oleh Nanang memecah keramaian komplek yang kian malam semakin sendu. Hal menyebalkan terjadi tak kala Diga yang sedang berada di atas sepedah fixie berwarna biru miliknya, menyenderkan sebagian tubuhnya ke dinding belakang rumah Kai ia melihat Kai baru saja turun dari sebuah mobil sport hitam milik Nanang.

Seketika ia hanya bisa mengepalkan tangannya dengan penuh kekecewaan apalagi melihat rawut wajah Kai yang sangat kesenangan.

Diga langsung mengayuh sepedahnya untuk segera pulang, dua porsi mie ayam yang sengaja ia bawa untuk makan di rumah Kai akhirnya diberikan kepada petugas pos kamling.

Rasa sakit itu menjalar pada dada Diga, sesak di dadanya benar-benar tak bisa ia tutupi. Diga masuk ke rumah dengan perasaaan kecewa, kecewa akan hal yang tidak bisa ia kontrol sendiri.

* * *

Cahaya masuk melalui celah jendela kamar Diga, kala mentari pagi menyinari bumi pertanda hari baru akan segera di mulai.

"Oh gitu, Bu. Emang kapan bu opening restoran kak Pratama?"

"Bulan depan."

Terdengar dari lantai dua ibu sedang mengobrol dengan seorang perempuan, dengan rasa malas karena rasa kecewa itu masih ada di dada Diga ia tidak menyapa Kai yang sedang sibuk menghabiskan nasi goreng di piringnya.

"Eh,,,, kok kamu nggak sarapan dulu?"

"Nggak usah bu. Diga masih punya roti di tas," jawab Diga seadanya. Kai yang heran dengan sikap Diga langsung dengan cepat menghabiskan nasi gorengnya.

Dua sepedah fixie berjalan untuk segera keluar komplek, Diga yang masih diam membuat Kai bertanya-tanya apa yang terjadi kepada dirinya.

"Kamu aku telpon dari kemarin nggak di angkat. Kenapa?"

"Nggak apa-apa."

Kai menghembuskan napasnya panjang ia menyadari memang kemarin adalah kesalahannya, tetapi seharusnya Diga tidak semarah ini kepada dirinya.

Kai menghentikan sepedahnya tepat di depan sepedah milik Diga, berharap ia berdua bisa menyelesaikan masalah hari ini juga. Karena seperti pada peraturan dalam persahabatannya bahwa setiap ada masalah apapun harus segera di selesaikan.

"Aku tanya kamu kenapa? Kamu marah banget sama aku sampe segitunya?" nada Kai mulai meninggi.

Diga seorang yang tidak pernah bisa mengutarakan rasa amarahnya hanya bisa diam, ia tidak berani menatap mata Kai yang sedang memperhatikannya.

"Ga, kamu jawab dong! Kita ini udah besar, Ga. Kamu kalo setiap punya masalah cuma bisa diem, masalah kamu nggak akan pernah selesai."

Diga menoleh ke arah Kai, ia mencoba untuk memaafkan kesalahan Kai kemarin dengan berharap hubungannya akan bisa seperti dahulu lagi.

"Maafin aku, Ga."

Diga langsung tersenyum dan segera memaafkan kesalahan Kai, mereka berdua langsung melanjutkan perjalanannya.

* * *

"Haha. Kamu setiap hari cuci piring?" ucap salah seorang teman saat Raya baru saja datang.

Raya sudah beberapa minggu ini menjadi bahan omongan di sekolahnya karena ada salah satu temannya yang memergokinya sedang mencuci piring di sebuah rumah makan padang dekat sekolah.

Raya hanya bisa menundukan kepalanya, ia tidak bisa mengelak sedikit pun karena itu adalah sebuah kebenaran. Yang sebenarnya ia sesali adalah bagaiman sikap teman-temannya ketika mengetahui bahwa dirinya menjadi salah satu tukang cuci piring di rumah makan tersebut.

Mikayla yang merupakan teman dekat Raya seketika langsung menjauhi dirinya karena enggan untuk berteman dengan seorang tukang cuci piring.

"Haha. Tukang cuci piring, tangannya kasar banget nggak tuh?"

Sepanjang hari Raya hanya diam, hingga ada seorang teman laki-laki yang menghampirinya untuk menenangkan dirinya. Laki-laki yang juga sering di bully oleh teman sekelasnya.

"Kamu nggak apa, Ray?"

Raya hanya bisa tersenyum untuk menutupi rasa sedihnya, laki-laki itu langsug duduk di sampingnya dan sedikit memberikan lelucon untuk memulihkan hati Raya.

"Nggak apa, Ray. Lagian mereka juga nggak ngerti di posisi kamu itu gimana. Mereka cuma memakai powernya untuk menindas orang kayak kita. Haha, aku udah biasa jadi setiap mereka kayak gitu aku cuma bisa diem. Bukan karena aku nggak bisa ngebela diriku sendiri, tapi ya untuk apa ngebales orang yang kayak gitu, nggak akan ada habisnya."

Perkataan Raihan seolah menjadi obat Raya hari ini, semangatnya kembali meninggi ia memutuskan sekarang untuk tidak memikirkan perkataan teman lainnya yang sebenarnya tiak mengerti dirinya.

"Kamu mau keripik buatan ibu aku nggak?"

Raihan mengangguk cepat, akhirnya mereka berdua menikmati keripik singkong buatan ibu. Raya belajar banyak dari hari ini bahwa kesederhanaan serta kerendahan hati adalah salah satu kunci untuk menuju kebahagiaan yang sebenarnya.

* * *

"Gimana kemarin jalannya? Cieee,,,," ucap Sherina menggoda Kai.

Kai menceritakan semua kejadian demi kejadian yang membuatnya terus tidak bisa berhenti tersenyum karena diperlakukan bak putri oleh Nanang.

"Terus, terus gimana?"

"Ya gue bingung harus jawab apa. Secara gue nggak pernah mikir bakalan di deketin sama orang kayak Nanang, gue belum berani nerima konsekuensinya."

Sherina langsung memegang tangan kanan Kai seolah ada kekecewaan dalam dirinya.

"Yah elo, semua orang pengen jadi pacarnya dia. Lu malah kebingungan dengan jawaban yang ada," ujar Sherina.

"Ya gimana, banyak banget pertimbangan gue."

"Kenapa?"

"Ada hati yang harus gue jaga," ucap Kai.

"Hah? Siapa?"

Belum siap Kai menjawab bel masuk sudah berbunyi, sambil menyiapkan buku paket untuk pelajaran yang segera mulai.

Pikirannya melayang memikirkan nasib percintaannya, apakah harus menerima Nanang atau tetap dengan penantian cinta pertamanya?