Mobil CRV hitam sudah menggerus jalan menuju ke sebuah restoran dengan gaya bangunan kolonial dilengkapi taman luas di belakangnya. Menu makanan utama yang di tawarkan resto ini adalah makanan khas Indonesia tetapi hari ini ibu memilih untuk makananan western, katanya kalau makanan khas Indonesia ibu juaranya.
Di dalam mobil Diga hanya diam sambil memainkan ponselnya, berharap waktu akan segera membawanya kembali ke rumah lagi. Ibu yang duduk di samping ayah dan Diga duduk di bangku ke dua bedampingan dengan kak Pratama.
Suasana hening di dalam mobil masih terjadi menandakan situasi masih aman bagi Diga, tidak lama kemudian ayah membuka obrolan basa-basi kepada anak terakhirnya ini.
"Gimana sekolah kamu, Ga?" tanya ayah dengan suara gagahnya sambil melirik ke arah anak terakhirnya melalui spion yang ada diatasnya.
Diga sontak membenarkan duduknya yang hampir saja menekuk lehernya hingga membuat dirinya hampir terbaring, ia memikirkan jawaban yang pas agar tidak merembet kemana-mana.
"Baik, yah."
"Kalo baik-baik aja, berarti udah mikirin habis sekolah SMA mau lanjut kemana, dongg?"
Diga langsung membulatkan matanya, ia pikir dengan menjawab singkat dan padat perbincangan akan berakhir di situ tetapi ia lupa ayahnya adalah seorang integrator yang handal.
"Belum, yah," jawab Diga lemas.
Terlihat ibu yang sedang kebingungan untuk membela anak terakhirnya ini, sambil mengelus tangan suaminya.
"Kamu kan ikutin les banyak. Masa dari salah satu itu aja kamu nggak ada yang tertarik? Mata pelajaran apa yang kamu suka emang?"
"Aku suka ilmu sosial, yah."
Diga memang lebih suka tentang ilmu sosial karena merasa bisa mendapat ia jawaban dari berbagai perspektif yang ada, ia tidak terlalu suka ilmu eksak karena merasa membosankan meskipun Diga lumayan pintar pada ilmu tersebut.
Diga sudah menduga ayahnya akan membantah ucapannya, ia sudah menyiapkan segala tameng dalam dirinya jika perkataan ayahnya akan menyakitkan.
"Mau masuk apa? Sosial politik? Hubungan internasional?"
"Komunikasi, yah."
Ayah terdiam tanpa ada jawaban sedikitpun yang keluar dari mulutnya. Ayah hanya berpikir bahwa jurusan komunikasi hanyalah untuk anak yang komunikatif sementara anaknya untuk mengobrol dengan orang lain saja sudah ketakutan.
"Haha. Kamu tuh cocoknya jadi designer."
Gelak tawa kak Pratam membuat Diga kesal karena ia sangat merendahkan adiknya. Pratama bilang menjadi designer karena melihat adiknya yang merupakan laki-laki tetapi lemah, padahal menjadi designer tidak melulu harus menjadi seorang yang gemah gemulai.
Mobil sudah memasuki lahan parkiran, Diga keluar dengan cepat karena pengap dengan obrolan di dalam mobil.
"Reservasi atas nama Maryam," ucap ibu kepada karyawan.
Kami sekeluarga langsung di bawa ke belakang restoran terlihat sudah pemandangan yang bagus. Pemandangan gedung pencakar langit dengan lampu yang indah menambah kecantikan pada malam hari.
"Lemon herb roasted potato 3, fres toast 3, rosemary chicker with sauteed vegetables 2, makaroni shcotel 2, spicy tuna roll 4," ucap pramusaji mengulangi kembali pesanan yang telah di pesan oleh ibu.
Sambil menunggu kak Pratam menceritakan tentang kedainya yang akan segera launching bulan depan, kedai pertamanya. Ayah terlihat sangat antusias mendengar cerita kak Pratama dengan segala pencapaian yang ia sudah lakukan, Diga hanya diam sambil memandangi langit yang semakin gelap.
* * *
"Malam bu, bapak sudah semakin membaik. Besok pagi sudah bisa pulang jika urusan administrasi sudah selesai," ujar perawat.
Ibu langsung menganggukan kepalanya, meskipun ia juga tidak tahu harus membayar perawatan rumah sakit dengan apa karena uang simpananya semakin menipis.
Raut wajahnya kebingungan harus sedih atau senang karena datang dengan berbarengan.
"Pake uang aku aja dulu bu," ujar Kai karena saat perawat menjelaskan perihal biaya ada Kai di situ.
"Udah nggak usah, uang ibu masih ada."
"Nggak apa bu, uang yang kemarin aku dapet pake aja dulu."
Akhirnya ibu menyerah dengan pendiriannya karena mengingat ada banyak kebutuhan yang akan ia lewati habis ini.
Kai melangkahkan kakinya keluar kamar mencari udara segara karena merasa pengap di dalam, bukan karena tidak ada pendingin ruangan melainkan karena merasa sesak melihat keadaan keluarganya.
Saat ia hendak berjalan ke bangku penunggu pasien terlihat perempuan dengan rambut hitam lebatnya tengah duduk sambil beberapa kali mengusap air matanya, masih dengan seragam putih birunya ia duduk menatap kosong ruangan.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Kai pelan.
Raya hanya terdiam karena ia ketahuan sedang menangis, kakanya langsung duduk di sampingnya tidak ada satu kata pun keluar dari mulut kakanya ia hanya mengelus punggung Raya dengan lembut.
Sebuah tindakan yang Kai sendiri saja tidak pernah bayangkan, Raya terdiam ketika tangan kanan kakaknya mulai mengelus dengan penuh kasih sayang seolah tangisan itu langsung hilang seketika.
"Kamu jangan ngerasa sendirian ya, aku di sini," ucap Kai.
Mata Raya semakin sembab ketika mendengar ucapan kakaknya, ia merasa bahwa selama ini hanya bisa mengutuk sikap kakaknya yang acuh kepada dirinya padahal di saat seperti ini kakanya bagaikan pahlawan baginya.
"HAIIII!!!" ucap seorang laki-laki dengan hoodie bergambar spongebob berwarna kuning menyapa mereka berdua sambil menjinjing tas makanan fast food.
Raya langsung mengusap air matanya dan melepaskan pelukan kakaknya, Kai melihat tingkah laki-laki itu langsung membulatkan matanya dan melirik ke sekitar karena sangat memalukan.
Tangan kanan Kai sudah mendarat ke kepala Diga dengan pelan.
"Berisik ihh."
"Nih, gue bawain burger sama ada spagetthi. Tadi ibu mau mampir ke sini juga tapi nenek gue tadi telpon jadinya kemungkinan besok mau ke sininya," ujar Diga seraya tangannya sibuk mengeluarkan semua makanan yang ia bawa.
"Kaka dari mana?"
"Biasa deh, pergi makan sama ibu ayah dan si kampret," jawab Diga sambil memutarkan matanya.
"Hah?"
"Kak Pratama."
Gelak tawa mereka langsung pecah kala Diga melontarkan perkataan itu, di dalam hati Diga ia merasa senang bisa sejenak melupakan masalah mereka berdua.
* * *
"HAH? SERIUS LO?"
Sherina baru saja masuk ke dalam kelas ia mendengar gossip tentang Kai dan Nanang yang berboncengan beberapa kali dan terlihat oleh siswa SMA 70 yang lain.
Putri yang tidak menyangka seorang Kai bisa menggaet hati Nanang seolah menepis berita itu.
"Halah. Udah deh lo percaya kalo si Kai bisa ngeggaet hatinya Nanang? Ngaca cuy dia sama gue juga cantikan gue," ujar Putri sambil mengibaskan rambutnya.
"Nih liat aja nih."
Sherina langsung merebut ponsel salah satu temannya di kelas, terlihat pada gambar Kai dengan ransel warna birunya sedang berdiri di sebelah motor Nanang.
Putri yang juga sedang melihat langsung menjerit histeris karena kenyataan itu benar, Kai sedang menunggu Nanang di sebelah motornya.
"Gak bisa dibiarin!"