Kai sedang asyik bermain laptop di taman dekat sekolah karena ada tugas bahasa Indonesia yang mengharuskan untuk dikerjakan menggunakan laptop. Ditemani dengan angin sepay-sepoy yang mengibas rambutnya serta segelas kopi susu yang ia beli di kantin sekolah
Tugas menulis sebuah tulisan tentang keresahan yang dirasakan dalam bentuk apapun dengan tema yang beragam keluarga, teman atau bahkan politik tentu saja Kai tidak mungkin memilih topik tentang politik ia memilih tentang keluarga.
"Hmmm,,, broken home atau tentang ibu yang selalu ngebandingin anaknya dengan orang lain, ya?" gumam Kai sendirian sambil menyedot kopi susu yang sudah ia beli.
"Dor."
Suara serak yang mengebas tiba-tiba saja masuk ke dalam telinga Kai, memecah konsentrasinya yang sedang memikirkan judul dari tugasnya tersebut.
"Eh, kak," ujar Kai kaget dan langsung menengadah dari duduknya meihat ke arah suara itu berada.
"Kok sendirian aja, pacarnya mana?"
"Pacar? Siapa?"
"Itu yang suka bareng sama kamu," ucap Nanang sambil mengunyah gorengan yang ia bawa.
"Ah itu mah sahabat aku, kak. Kakak ngapain kesini? Ada urusan?"
"Enggak, tadi lagi jalan mau ke parkiran ngeliat kamu sendirian disini aku samperin aja," jawabnya santai.
Mendengar ucapan Nanang membuat hati Kai terbang menembus langit dirinya benar-benar tidak menyangka bahwa Nanang akan berkata seperti itu, seketika Kai kebingungan dengan perbincangan selanjutnya ia memikirkan topik pembicaraan apa yang seru agar kesempatan untuk mengetahui lebih dekat tentang Nanang hilang.
"Kak, siapa yang ngidein tentang acara surat menyurat ini? Kayaknya bakal jadi seru banget yah!" seru Kai dengan wajah yang gembira.
"Kakak udah nyiapin surat, untuk siapa?" celetuknya.
Nanang menatap Kai sambil bibirnya menjawab pertanyaan.
"Ya, idenya Rio. Dia emang keren banget, cemerlang. Awalnya sih banyak perdebatan tapi karena udah di bikin polling terus banyak yang minat ya jadi deh," Nanang menarik nafasnya perlahan seolah memikirkan kembali jawaban ke dua yang diajukan oleh Kai "aku juga bingung mau ngasih surat untuk siapa. Udah kepikiran sih, yang jelas buat adek kelas," jawabnya.
Seperti kucing yang kegirangan karena mendapat ikan curian, perasaan Kai mencuat, meruah seakan-akan ingin tumpah karena mendengar jawaban Nanang. Ia berpikir bahwa sudah pasti surat itu untuk dirinya, karena siapa lagi adik kelas yang dekat dengan dirinya?
* * *
Suasana makan malam di rumah Kai sedikit menegang karena sudah lama ia tidak duduk lalu makan bersama dengan seluruh anggota keluarganya. Pemandangan yang langka melihat sang ayah yang ada di rumah saat matahari sudah tenggelam.
"Mau pake ayam, kak?" tanya ibu melihat anak sulungnya baru saja turun dari tangga.
Kai duduk, belum menjawab ucapan ibunya. Matanya mengelilingi meja makan, terlihat satu potong ayam yang tersisa kemudian matanya berpindah ke piring ibu yang belum di isi oleh lauk apapun.
"Nggak usah bu, bosen makan ayam terus," jawab Kai sambil mengambil tempe serta sop yang ada di depannya.
Bukan pertama kali Kai menolak tawaran sang ibu perihal sepotong ayam yang akan diberikan kepadanya, seperti ada sesak di dada melihat sang ibu harus rela memberikan ayam yang seharusnya mungkin menjadi miliknya tetapi ia rela tidak makan hanya untuk anaknya.
Terlihat Raya makan sambil memutarkan pergelangan tangannya ditambah dengan raut wajah yang sedikit kesakitan membuat pertanyaan ibu semakin banyak kepadanya.
"Kamu kenapa, Ray?" tanya ibu.
"Sakit?" tanya ayah seolah memberikan perhatian kepada anaknya.
Raya hanya diam sambil menyunggingkan senyuman terpaksa seperti ada sesuatu yang sedang ia tutupi.
"Nggak apa-apa bu," jawabnya.
"Kebanyakan main main basket sampe sore soalnya," celetuk Kai. Seketika sendok dan garpu yang Raya pegang langsung di banting hingga berbunyi dentingan yang nyaring.
"Kalo lo nggak tau, nggak usah sok tau!" jawab Raya langsung berdiri dan tidak menghabiskan makanannya.
Saat kejadian itu, terlihat Diga yang sudah berada di ruang TV sambil membawa rantang hijau yang kemarin Kai bawakan ke rumahnya.
"Eh, nak Diga. Sini makan," ajak ibu.
"Ini bu, ada lauk dari ibu," ujar Diga.
Ibu langsung membuka lauk yang di bawa oleh Diga dan mengajaknya makan bersama. Kecanggungan terjadi ketika sang ayah bercanda berusaha seolah menjadi peramal masa depan.
"Hmm, sini. Udah lama om nggak ngobrol sama kamu," ujar ayah sambil merangkul Diga.
"Makin gede yahh kalian, ayah ramal kayaknya kalian berjodoh," celetuk ayah sambil mengunyah makanannya.
Seketika jantung mereka langsung berdegup dengan kencang, seakan perkataan itu membuat mereka bertanya tentang perasaannya. Berkhayal bahwa suatu saat nanti akan ada kejadian dimana mereka bisa mengungkapkan perasaanya masing-masing.
"Uhuuk, uhuuk," Kai tiba-tiba saja tersedak saat makan begitupun dengan Diga.
"Haha. Nggak lah om, saya nggak mau sama cewe aneh kayak ini manusia," ucap Diga sambil menunjuk ke arah Kai.
Bagaimana rasanya jika sebuah bercandaan dan perkataan yang dikeluarkan tanpa pikiran itu terjadi? Bagaimana jika rasa itu bersatu? Apakah akan menjadi sebuah kesatuan yang baik atau malah menjadi sebuah rasa yang seharusnya di pendam saja?
Setelah selesai makan Kai dan Diga memutuskan untuk pergi keluar untuk mencari udara segar berharap kecanggungan di meja makan akan segera hilang.
Angin menari di sekitar Kai dan Diga yang sedak duduk di pinggir taman, terlihat ada beberapa bapak-bapak dengan pakaian santainya sedang duduk di pos jaga komplek. Suara tawanya yang menggelegar terdengar hingga tempat duduk mereka.
"Tadi gue di samperin tau sama kak Nanang," ujar Kai membuka pembicaraan.
Saat ia menoleh ternyata Diga sudah berada di depan penjual kacang rebus.
"Ih apansi lo! Gue kan lagi mau ceritaa,," keluh Kai.
"Apaaaa? Apaa?"
"Tadi gue disamperin sama kak Nanang pas lagi bikin tugas di taman."
"Oh ya? Seneng dong? Ngomongin apa aja?"
"Ya biasa tentang sekolah sih. Tapi ada hal yang bikin gue seneng bangett!" seru Kai sambil mengepalkan kedua tangannya yang sengaja ia taruh di depan wajah Diga.
"Apa?"
"Gue tanya, kenapa kok tiba-tiba kakak disini. Terus lo tau dia jawab apa? Karena aku liat kamu lagi sendirian jadi aku samperin deh."
Seketika perasaan Diga langsung seperti terhantam ombak, dipikirnya benar bahwa Nanang sangat tertarik dengan Kai.
"Ah. Itu mah cuma bikin lu seneng aja kali. Padahal dia emang gabut aja terus pengen ngeliat lu. Haha," ujar Diga sambil tertawa terbahak-bahak.
"Aww!" teriak Diga karena baru saja rambutnya dijenggut oleh Kai.
Bukan pertama kali Diga merasa cemburu setiap kali mendengar Kai bercerita tentang Nanang, meski kadang kesal tetapi Diga tidak bisa berbuat banyak perihal itu. Ia hanya berusaha menutupi kecemburuannya dengan berbagai cara.