"Dasar, sampah! Tidak berguna!" ejek seorang gadis dengan pakaian warna ungu terang, bling-bling, dan terbuka. Memarkan bagian lekuk tubuhnya yang seksi, serta warna kulitnya yang nampak putih mulus dan bersinar.
"Ampuni aku. maaf, aku sungguh tidak sengaja," ucap seorang gadis belia, berusia lima belas tahun sambil tersungkur. Tubuhnya banyak terdapat memar dan luka. Bahkan, pakaiannya juga basah oleh siraman air, serta noda-noda darahnya sendiri yang mulai mengering berrwarna kecoklatan.
"Maaf, maaf. Memang kamu saja yang tak tak tahu diri. Namanya, sampah, ya tetap saja, sampah! Tidak berguna," timpal Wanita paruh baya, dengan gaya pakian yang tak kalah seksinya dengan gadis berusia duapuluh tahunan, tadi.
"Ya, Ritika. Kau memang sebuah sampah yang terlalu lama disimpan di rumah ini. Bau busukmu sudah membuat kami tak tahan lagi. Jadi, sudah saatnya kami melemparkanmu ke tempat pembuangan akhir… di tengah hutan sana, agar kau menjadi santapan binatang liar!" celetuk gadis bergaun merah tadi.
Tidak berselang lama, berdiri di hadapan dua Wanita itu empat pria dengan wajah yang sangar dan tubuh kekar. Ritika melihatnya saja sudah merasa sangat ngeri dan takut. Tapi, tubuhnya sudah terlalu lemas karena sudah empat hari dia dikurung di dalam Gudang tanpa diberi makan dan minuman. Sehingga, tak memungkinkan bagi dirinya untuk lari menyelamatkan diri.
"Apakah ini bos, wanitanya?" tanya salah satu dari mereka, yang terdapat codet di wajahnya.
"Iya, dia orangnya. Sudah, cepatlah singkirkan dia! Aku sudah sangat muak dan bosan melihatnya terus berada di sini!" ujar Wanita paruh baya tersebut. Molly, ibu tiri Ritika.
"Waaah, dia sangat cantik dan mulus sekali, Bos. Bodynya, juga masih kinyis-kinyis." Pria itu memandang tubuh lemah Ritika dengan tatapan penuh gairah, sampai menjilat bibirnya sendiri.
"Aku tak peduli, mau kalian apakan. Mau kalian gilir berempat pun juga boleh. Asal, besok pagi, aku sudah mendengar kabar baik dari kalian," ucap Wanita paruh baya itu, sambil menyulut rokok dan menghisapnya. Kemudian mengajak serta, Sisca, putri kesayangannya beranjak dari tempat tersebut,
Namun, Sisca meminta agar mamanya untuk pergi dulu. Dia masih ingin bermain dengan Ritika yang telah lemah untuk terakhir kalinya, sebelum akhirnya rumah ini akan dia dan mamanya kuasai. Gadis muda tersebut, berjalan mendekati Ritika, menginjak jemari tangannya yang menempel di lantai karena telah lemah lunglai tak bertenaga.
"kak Sisca… sakit," rintih Ritika, dengan suaranya yang lemah.
"Eh, sepertinya aku mendengar sesuatu. Itu, tadi apaan, ya?" ujar Sisca, berlagak tuli, sambil meletakkan tangan kanannya di belakang daun telinga. Tapi, kaki dengan sepatu hells berbahan keras itu, malah kian di tekan dan diputar-putar pada punggung tangan gadis yang usianya lima tahun lebih muda dari dirinya itu.
Ritika sudah tak ada tenaga lagi untuk berkata-kata. Ia hanya bisa merintih dan menangis. Bahkan, tangan untuk menyeka air mata yang memburamkan pandangan saja, sulit. Terlebih yang bagian kanan juga telah diinjak dengan tak berperasaan demikian.
"Oh, kau rupanya?" Sisca pun berjongkok, memandang jijik pada Ritika yang tak kotor, terawatt dan nampak dekil itu. Karena memang selalu dijadikan pesuruh dan hampai tak bisa melakukan perawatan diri, semenjak pak Dorman, ayah kandung Ritika pergi untuk selama-lamanya.
Puas meningjak-injak tangan dan jemari kiri Ritika, Sisca berjongkok memandang rendah pada saudara tirinya itu. "Lihatlah dirimu, yang sekarang. Kau kemarin selalu dibangga-banggakan oleh ayahmu yang sudah meninggal itu sebagai putri yang cantik cerdas dan berprestasi, bukan? Sekarang kau apa? Hanyalah seorang gembel tak berguna. Bisa apa, kau sekarang, hah?" bisiknya lirih dengan penuh penghinaan.
Ritika hanya diam, menatap nanar gadis di hadapannya. Dengan sekuat tenaga, dia berusaha mengeluarkan suara. Walau sangat lemah. Namun, Sisca masih dapat mendengarnya.
"Aku menyayangimu dengan sepenuh hati. Kau telah kuanggap sebagai saudari kandungku. Tapi, kau malah menjembakku!" Ritika tersenyum nanar setelah berhasil menatap dan mengingat-ingat wajah seorang paling jahat pada dirinya. Untuk di ingat sebelum akhirnya dia mati.
'Tidak masalah mengingat wajah orang paling Dzolim padaku. Karena, semenjak ibu dan ayah kandungku pergi, dunia berubah kejam. Tak ada lagi kasih sayang yang aku dapatkan. Ayah… Ibu… mungkin sebentar lagi aku menyusulmu,' batin Ritika.
"Kurang ajar sekali, kau! Berani berkata begitu! Aku tidak peduli, kau harus segera enyah!" teriak Sisca sambil menendang wajah Ritika.
Ritika sudah tak dapat lagi mengingat apapun. Yang dia tahu, saat ini tubuhnya di seret, di bawa ke dalam mobil. suara gelak tawa, bau alkohol dan asab rokok yang begitu menyengat sungguh menganggu pernapasan Ritika. Dia yang selalu hidup di lingkungan sehat, jelas tidak akan tahan dengan aroma-aroma seperti itu. Terlebih, sekarang kondisi fisiknya sangat lemah.
Molly memandang ke samping saat mendengar suara hentakkan kaki mendekati dirinya. "Oh, Sayang! Kau ini kenapa selalu terlihat dalam mood buruk begitu? Bukankah, si sialan itu sudah kita singkirkan?" tanya Moly penuh perhatian.
"Huh!" Sisca mendengus kesal sambil membuang wajahnya ke samping.
Namun, Moly yang selalu memanjakan putrinya itu, hanya tersenyum gemas mendapati sikap Sisca demikian. Apapun yang Sisca lakukan, di mata dia, tetaplah, dia putrinya yang sangat cantik, imut dan menggemaskan.
"Cantik! Kau tak usah bermuram durja begitu. Besok, setelah mayat Ritika di temukan, dan kabar itu tersebar luas, maka… kau lah satu-satunya putri yang diakui oleh dunia. Seluruh harta kekayaan yang dimiliki oleh Dorman, telah menjadi milik kita berdua. Dengan begitu, kita bebas melakukan apapun, dan bisa mendapatkan apa saja yang kita mau. Termasuk, kau sangat menyukai Erlang, kan?"
Begitu mendengar nama Erlang, wajah Sisca yang semula cemberut kini telah berubah dengan sebuah senyuman manis.
"Iya, Mama. Aku juga berharap demikian. Jika bocah sialan itu sudah mati… maka, tidak ada lagi pilihan bagi keluarga Erlang untuk tidak menikahiku. Memilih untuk menunggu dewasanya Ritika empat tahun lagi? Huh! Dalam mimpi pun juga tidak akan pernah terwujudkan!" celetuk Sisca dengan mata melotot dan wajahnya yang sinis.
"Ya, jika dia lebih memilih untuk membatalkan perjodohan dengan keluarga kita… kita ancam saja dia untuk mengakhiri kerja sama antara perusahaan Dorman dan Erlang. Mari, kita lihat! Tanpa sokongan dan suntikan dana dari kita, bisa berbuat apa mereka?" ucap Moly dengan penuh rasa percaya diri.
"Ya bangkrutlah! Di bandingkan dengan perusahaan Dorman yang kini telah berada dalam kendali kita, mereka hanyalah perusahaan kecil. Ibarat rumah makan, kita restoran bintang lima, mereka hanyalah pedagang kaki lima."
Mendengar celotehan Sisca yang terakhir, sepasang ibu dan anak itu tertawa terbahak.