Chereads / PUTRI PENGGANTI RATU MAFIA / Chapter 4 - TAWARAN UNTUK BALAS DENDAM

Chapter 4 - TAWARAN UNTUK BALAS DENDAM

"Nak… malang sekali nasibmu. Aku yakin, jika pun seseorang yang telah mati dapat bangkit dari kubur, ayahmu akan bangkit untuk membebaskanmu dari belenggu ini," gumam nyonya Wany.

Ritika hanya diam. Jika saja dia bisa memilih dan menentukan, sungguh, dia tak ingin ayahnya tahu atas apa yang dia alami di dunia. Biarlah cukup dirinya saja yang menanggung rasa sakit dan beban penderitaan didzolimi. Karena, dia tak ingin ayahnya di sana merasa gundah dan tak tenang. Jika memang di sana ayahnya sudah merdeka dan tenang… sebab, yang dia tau selama ini ayahnya adalah orang baik di masa hidupnya dulu.

"Nak! Kamu ini sangat mirip sekali dengan putriku yang telah meninggal enam bulan silam. Dia Bernama Claudia Oberoi. Jujur, melihatmu barusan ini, aku sangat terkejut sekali," ucap nyonya Wani lagi. Sebab, sedari tadi, ia mendapati Ritika hanya diam dan tak bereaksi.

Mendengar hal itu, Ritika sontak mendongak wajahnya memandang wajah Wanita berusia empat puluh tahun lebih tersebut. 'Apakah ini, yang membuat orang-orang yang merawatku tadi terlihat begitu aneh?' batin Ritika.

"Aku bisa membantumu membalaskan dendammu pada ibu dan saudara tirimu itu, Nak. Apakah kau bersedia?" tanya nyonya Wani. Memberikan sebuah tawaran dengan tampang yang sangat meyakinkan sekali.

"Balas dendam? Saya tidak ingin. Biarkan hukum alam saja yang membalas kejahatan mereka. Saya yakin, dengan membalas dendam saya tak akan dapat menemukan sebuah kebahagian. Mungkin akan merasa sangat puas seketika itu saja disaat melihat mereka terjatuh dan menangis di hadapaan saya. Tapi, itu hanya bersikap sementaraa. Kelak, jika mereka akan bangkit dan mendapatkan pertolongan orang lain, hati ini akan merasa benci dan tidak akan terima.

Akhirnya, akan muncul sikap yang hanya ingin terus menyakiti dan menghancurkan kebahagiaan mereka saja. tidak… saya memilih untuk hidup tenang," jawab Ritika.

"Kenapa?" tanya nyonya Wani dengan lembut. Serta, menunjukkan tatapan yang teduh.

"Karena, saya sadar. Dengan keterbatasa yang saya miliki, tak akan mampu melawan mereka hingga benar-benar jatuh. Mereka tidak kuat. Tapi, dengan banyak uang yang mereka miliki, jelas, mereka akan sangat mudah melawan dan memberikan serangan balik yang lebih parah dari yang saya lakukan pastinya."

"Aku akan membantumu hingga akhir. Dengan syarat, kau mulai sekarang, jadilah putriku. Kau bukan lagi Ritika anak yatim piatu yang malang. Tapi, kamu adalah Claudia putri nyonya Wany."

"Sa… saya… mana bisa? Walaupun mirip, pasti juga ada perbedaan, bukan? Entak itu dari karakter, ciri khas Bahasa yang dia gunakan dan sebagainya?"

"Untuk itu, kau bisa berlatih. Putriku usianya lima tahun lebih tua darimu. Kau bisa gunakan waktu lima tahun itu untuk mempelajari seluk beluk putrik dan mengenal siapapun yang dikenal oleh putriku. Dengan begitu, semuanya mudah."

"Ya… memang itu bisa dan mudah untuk melakukan balas dendam. Tapi, setelah dendamku tercapai, apa yang harus aku lakukan? Aku akan bingung dengan identitas diriku sendiri."

"Nak!" Nyonya Wani mengangkat dagu Ritika dan menghadapkan kea rah dirinya. "Aku tak memiliki anak lain selain Claudia. Jika kau menggantikan dirinya yang telah mati… maka kau akan selamanya jadi dia. Biarkan saja Ritika mati di malam itu dan kau lupakan dan buang jauh saja tentang masa lalumu. Bukankah, kau sudah tak ada lagi orang yang sayang dengan dirimu?

Lagipula, kau juga tak ingin kan arwah ayah dan ibumu di sana menjadi tidak tenang?"

Ritika masih bingung harus bgaimana. Dia tahu, balas dendam dengan alasan apapun juga tak bisa dibenarkan. Semuanya salah dan tidak boleh. Tapi, sejauh ini… dia tak pernah melihat sekalipun yang Namanya keadilan di dunia ini. Dalam hidupnya terlalu banyak dengan orang-orang yang curang dan menghalalkan segala cara demi tujuan mereka sendiri.

Tapi, apa yang nyonya Wani katakana juga benar. Apa jadinya jika ayah ibunya tahu dan tak bisa berbuat apa-apa? Mereka akan menyesal.

"Sejatinya, mati itu hanyalah berpindah alam. Raganya saja yang sudah rusak dan tak bisa digunakan. Tapi, tidak dengan ruhnya. Ruh kedua orangtuamu akan tetap berada di sampingmu menjaga dan menyaksikan dirimu. Hanya saja kau yang tak mampu melihad dan merasakan keberadaan mereka sepanjang waktu.

Jadi, terserah. Lebih baik kamu pertimbangkan sekali lagi tawaranku. Sekarang, aku akan pergi, dan kamu di sini, pikirkan baik-baik." Seketika Nyonya Wani pun beranjak pergi meninggalkan kamar tersebut. Setelah kakinya menapaki ambang pintu, Wanita paruh baya itu pun menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Ritika lalu berkata, "Ingat, Ritika! Kesempatan itu tak akan datang dua kali. Jadi, jangan sampai kau menyesal."

****

Molly terus mondar mandi ke sana kemari sejak tadi. Sedangkan Sisca, yang duduk di meja belajarnya sambil mengerjakan tugas, mulai merasa muak dan rusak kosentrasinya gara-gara mamanya yang terus saja muter-muter seperti gangsing di depannya.

Awalnya, Sisca masih bisa diam. Tapi, kini sepertinya di sudah tak bisa menahannya lagi. "Mama!" bentak Sisca.

Seketika Molly menghentikan langkah dan menatap kea rah putrinya yang baru saja ngegas saat memanggilnya.

"Kenapa, Sisca?" tanyaya Heran. Ya, heran lah. Dia tak merasa berbuat salah tapi malah dibentak oleh putri semata wayang yang telah dia bersarkan seorang diri dengan tidak mudah itu.

"Kamu kenapa dari tadi Cuma muter-muter saja? tidak pusing, apa? Aku saja yang melihat maam juga sudah sangat pusing sampai tak bisa kosentrasi. Tugasku banyak banget, Mama!"

"Ya kalau banyak, kenapa kamu gak segera kerjakan?" tanya Molly tak kalah sewot.

"Bagaimana bisa mengerjakan kalau mama saja terus mondar mandir dan merusak kosentrasiku begitu?" tanya Sisca lagi.

"Haaah! Rerpot banget sih kamu ini jadi orang? Kamu gak tahu apa, mama ini juga sanga pusing memikirkan keempat pria itu. bisa tidak melakukan tugasnya dengan baik?" jawab Molly, kesal.

"Haduh, Mama… logika itu dipake. Bagaimana bisa keempat pria itu bisa dikalahkan oleh Ritkika yang sudah lemas dan tak bertenaga tadi? Bahkan, menhgapus air matanya saja dia tak kuat. Dia dah lemas, dan sekarat setelah empat hari empat malam tak diberi makan. Paling, baru diperkosa dua orang juga sudah mati kelelahan dia."

"Iya, juga, ya? kenapa sejak tadi mama tidak kepikrian sampai situ?" gumam Molly.

"Sudah, sekarang mama diam dan tenagn saja. biarkan keempat preman itu bersenang-senang dengan mainannya itu. jangan diganggu. Itu hanya akan merusak suasana hati dan kenikmatan surgawi mereka saja."

Molly pun akhirnya duduk dan membenarkan apa yang telah dikatakan oleh putrinya. Tapi, entah kenapa, walau sudah demikian, dia masih saja merasa was-was dan tak enak dengan perasaanya sendiri. Seperti ada yang tidak beres saja.