Tidak berselang lama setlah Molly duduk. Ponsel dalam genggamannya telah berdering. Sebuah pesan masuk. Ternyata itu berasal dari ketua preman suruhannya tadi. Mengirimkan sebuah gambar seorang Wanita dengan pakaian putih dan rok warna maroon. Baju yang Ritika kenakan tadi.
"Bos. Wanita sudah dibereskan. Ini, mau bagaimana? Di buang ke dalam jurang, kah?"
"Pesan dari siapa, Ma? Kok kelihatannya tegang, gitu?" tanya Sisca, yang seketika menghentikan aktifitasnya mencatat sesuatu yang dia dapat dari laptopnya.
"Ternyata benar dugaanmu. Empat orang itu sudah menghabisi Ritika. Jadi, lebih baik mayatnya buang ke dasar jurang saja aja, ya biar aman dan tak ketahuan?" ujar Molly sambil meminta saran dari putrinya.
"Ma! Jangan begitu!" ucap Sisca. Seketika dia pun langsung reflek berdiri.
Molly menatap heran ke arah putrinya. Kenapa tiba-tiba dia malah tidak setuju? Bukankah tadi dia yang memiliki ide seperti itu?
"Bukannya dengan membuang mayatnya di dasar jurang sampai tak ditemukan akan jadi aman? Dengan begitu, hanya kita yang berhak mendapatkan warisan dari ayahmu ini!" seru Molly.
"Tidak. Ritika itu memiliki banyak saudara. Ada paman bibi dan juga sepupunya yang pasti sangat peduli dengan dirinya. Sampai hilang, dia akan lapor ke polisi. Mengadakan pencarian sampai ketemu hidup atau mati. Nah, jika bertemu dalam keadaan mati, apakah tidak akan di autopsy, dan dilakukan penyelidikan. Jika ketahuan? Bukannya enak menikmati harta warisan ini, malah tak dapat apa-apa, mendekam di penjara pula!"
"iya, sih… lalu, bagaimana rencana kamu?"
"Buang pinggir jalan dan atur seseorang untuk menemukan mayatnya lalu mengantarkan ad akita. Buat dia mengantongi ponsel dan juga identitas Ritika."
"Jadi, kit aini bermain drama, begitu, ya?" tanya Molly.
"Ya… bisa dibilang demikian, lah Ma. Bagaimana? Dengan mengetahui bahwa Ritika meninggal dan dikuburkan, otomatis semua harta akan jatuh jadi milik kita saja, Ma. Jadi, begitu jenazah datang, langsung saja diurus. Jangan biarkan pihak keluarga tahu dengan kondisi jasadnya."
"Tapi, kan… tadi dia hanya tangan kosong dan tak bawa apa-apa Ketika dibawa pergi oleh empat preman itu, Sisca. Bagaimana bisa?"
"Haduh, Mama… jangan hanya tahu bagaimana cara bersenang-senang saja, donk! Sekali-kali, otak ya diputer gitu. Mana, serahkan hpnya padaku. Biar aku saja yang urus!" seru Sisca seraya merampas benda pipih yang ada di genggaman mamanya.
****
"Ritika…. Kamu ini di mana sih? kenapa nomor kamu juga tidak aktif?" seru seorang pria tampan yang terlihat begitu cemas dan tidak tenang. Kegelisahan itu terlihat sangat jelas sekali Ketika dia beberapa kali menyulutkan rokok, tapi membuang Ketika rokok masih panjang dan baru beberapa kali dihisap.
Bahkan, dalam waktu dua jam saja, dia pak rokok besar telah habis memenuhi asbak dan masih berserakan di meja, juga lantai ruangan itu.
"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Coba hubungi beberapa saat lagi!"
Lagi-lagi, setiap dia menelfon nomor yang sama sejak sepuluh hari silam, yang menjawab selalu saja operator dan mengatakan bahwa nomor itu tidak aktif. Bahkan, beberapa chat yang dia kirimkan pada gadis itu juga hanya centang satu saja.
"Tok tok tok tok!"
"Ronald! Kami tahu kau berada di dalam sana! Cepat keluar!"
Suara ketukan pintu yang keras dan tak beretika itu saja sudah cukup mengagetkannya. Terlebih suara kasar dan penuh emosi dari seorang pria diluar sana. sungguh sukses membuat jantung Ronald serasa mau copot saja. Yah, untung jantungnya buatan Allah. Jika buatan parbik, mungkin sudah retak pecah dan hancur tak keruan. karena, saking kagetnya dia sampai mengucurkan banyak keringat dingin di tubuhnya,
"Sialan! Ritika ke mana sih, Wanita itu? kenapa ia tak bisa dihubungi sama sekali? Mara mereka sudah pada datang pula!" umpat Ronald kesal dan bercampur takut.
"kau masih saja diam? Mau sampai kapan kau bersembunyi di dalam? Apakah kau menunggu kami mendobrak pintu dan menghajarmu ramai-ramai di sini, Ronald?" teriak suara yang sama. Semakin lantang dan emosi.
Sehingga menimbulkan beberapa kamar kos di sekitar Ronald pada keluar melihat kegaduhan di luar kamar mereka yang dirasa sangat mengganggu. Tapi, itu pun hanya mereka yang baru dan masih belum pernah tahu bagaimana tentang kamar nomor 16 itu saja. sementara penghini lama… ya, Cuma bisa anggap ini sebagai nasi dan sayur aja. Bagai santapan biasa yang hampir tiap hari terjadi.
Bingung tak dapat jalan keluar sama sekali, Akhirnya Ronald un memutuskan untuk keluar, menerima satu hingga dua tinju sepertinya jauh lebi baik daripada dia harus menerima hajaran yang membabi buta dari pasukan yang dibawa oleh suruhan rentenir yang telah dia pinjami uang tersebut.
"Kriek!" pintu pun terbuka lebar. Di hadapan Ronald kini berdiri seorang pria botak dengan perut buncit mengenakan celana hitam dan kaos lengan pendek lorek hitam kuning. Sudah mirip sekali dengan seekor lebah. Menatap penuh emosi dan hinaan pada pria bertubuh jangkung tersebut.
Tapi, bukan itu yang menjadi fokus pria tersebut. Melainkan delapan pria berotot yang berdiri di kiri kanan dan juga belakangnya. Sungguh ngeri sekali jika dia harus dihajar oleh mereka. Ya, kalau mati, masih mending. Setidaknya dia tak harus merasa sakit dan masih merasakan ditagih-tagih hutang terus menerus oleh pria botak pendek dan buncit itu.
Tapi, di usia yang masih muda begini, siapa juga yang mau mati? Apalagi mati dijahar. Malu-maluin saja mending gantung diri atau yang lain saja. tapi, tidak Ronald masih belum ingn mati. Dia masih harus membanggakan ibunya di desa dengan gelar sarjana setelah bertahun-tahun kuliah di ibu kota.
"Juragan… " ucap pria itu dengan senyuman canggung dan ta kia lanjutkan kalimatnya. Sebab, bicara pun percuma. Ya, lebih baik menyapa saja.
"Hehm? Melihat dari tampangmu yang sangat kusut itu. sepertinya, kau gak ada uang buat makan besok, ya? apalagi buat baya raku," ucap pria yang diasapa juragan itu oleh Ronald dengan senyuman merendahkan.
"Bagaimana, Juragan? Saya kan mahasiswa, anda tahu sendiri. Sedangkan untuk fokus kerja jugabgak bisa. Gaji dari Caffe yang kulakukan setengah hari kerja juga pas pasan Cuma bisa buat makan saja," jawab Ronald sambil meletakkan tangan di belakang kepalanya seraya menggaruknya.
"Tapi, sayangnya aku datang ke sini hanya butuh kau bayar hutang-hutang kamu. Bukan alasan kamu."
"Tapi, juragan. Tolong beri… "
Belum sempat Ronald menyelesaikan kalimatnya, hanya dengan isyarat mata saja dua orang bodyguard di sebelah pria pendek itu langsung maju dan mulai memukulinya.
"Stop! Hentikan tindakan kalian!" teriak seorang gadis dari luar pagar kos-kosan. Seketika, orang yang sudah mulai menghajar Ronald pun menghentikan aksinya dan semua tertegun melihat pemandangan di luar jendela tersebut.