Merasa bosan dan suntuk terus berada di dalam ruangam Ritika mencoba untuk keluar kamar. Jalan-jalan ke taman bunga di halaman samping. Dia memang belum pernah datang ke sana sama sekali. Tapi, dia dapat melihat keindahan dari dalam kamarnya yang berada di lantai dua.
"Aku dengar percakapan Nyonya Wany dan tuan Edo semalam katanya, Nyonya ingin mengangkat gadis itu untuk dijadikan putrinya. Wah, sungguh beruntung sekali, dia."
Tanpa sengaja, saat beberapa langkah meninggalkan pintu kamar, Ritika mendengar pelayan yang telah membicarakan dirinya.
"Beruntung, sih… tapi sayang sekali, dia takt ahu diuntung. Hahaha! Lagian, kalau memang nyonya Wany ingin mengangkat seorang putri, kenapa tidak ambil salah satu dari kita saja yang telah jelas latar belakangnya, dan tentunya sehat jasmani dan rohani," sahut pelayan yang lainnya.
"Ya, si Ritika yang ditemukan oleh Tuan Edo kemarin terlihat seperti sedang depresi berat. Kurang kerjaan sekali nyonya Wany itu? Mau angkat anak masih harus sehatkan jiwa dan mental dari orang itu dulu. Padahal, wajahnya juga biasa saja."
"Di aitu tak tahu diri. padahal, nyonya telah mengatakan padanya, asal setuju dan bersedia saja, kelak semua harta yang nyonya miliki akan jatuh padanya."
Ritika sebenarnya cukup kesal dikatakan oleh dua pelayan itu bahwa jiwanya sakit dan takt ahu diri. ingin sekali dia menegur dan mengatakan bahwa mereka lah yang takt ahu diri dan terlalu banyak bermimpi untuk menjadi putri kaya mendadak tapi, tak tersampaikan. Tapi, kembali ia sadar. Biacara dengan orang yang IQ-nya rendah dan tak setara dengan dirinya juga percuma. Sama halnya dengan menggarami air di lautan.
"Heh! Sejak kapan kalian di sini dibayar untuk menggosip dan mengolok?" bentak seorang Wanita dengan pawakan tinggi dan besar. Wajahnya nampak galak dan tegas. Dia adalah bu Melani. Ketua pelayan perempuan yang bertugas mengatur semua urusan para pelayan di rumah ini. Memberi tugas, dan juga hukuman bagi siapapun yang melanggar.
Dua pelayan muda yang usianya sekitar sembilan belas tahun itu pun seketika terkejut dan terdiam. Tak berani berkata sepatahpun. Mereka hanya diam menunduk.
"Kalian berdua baru dua bulan bekerja di sini. Jangan ulangi kesalahan yang sama, atau berbuat ulah yang tidak dibolehkan jika masih ingin bekerja di sini!" ucapnya dengan ketus.
Ritika terdiam. Meskipun jelas sekali di hadapannya seseorang telah memberikan pelajaran pada orang yang telah mengolok dirinya. Ia terlihat biasa saja dan tetap memasang ekspresi muka datar. Seolah-olh hatinya tak merasa senang sedikit pun.
"Ma… Maafkan kami, Bu Melani," jawab mereka dengan suara terbata-bata namun bersamaan.
Wanita berusia tigapuluh lima tahun itu hanya diam mengangguk tegas tanpa senyuman. Lalu melangkah hendak pergi meninggalkan tempat itu. tapi, ia kembali menghentikan langkah saat baru beberapa kali menapakkan kakinya. Dia menoleh pada dua pelayan baru itu dan berkata, "Jangan biasakan menilai seseorang dari luarnya saja. kalau nyonya telah memilih dia… artinya dia memiliki sesuatu yang tidak dimilki oleh kalian. Nyonya itu sangat jeli, dan tahu mana anak yang berkwalitas serta cerdas atau tidak." Setelah mengatatakan hal itu, Wanita tersebut langsung berjalan lurus menuju Gudang dan tak lagi menoleh ke samping sama sekali.
Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Bu Melani, secara reflek Ritika menyunggingkan senyuman di bibirnya. Padahal ia juga tak merasa puas. Ah, entahlah... setelah apa yang telah dia alami selama ini, sepertinya dia telah mati rasa, bahagia sedih atau kecewa semua sama saja. ekspresi yang ada di tubuhnya hanya dia tunjukkan agar terlihat normal saja. selebihnya, dia sudah lupa bagaimana itu rasa sedih dan hancur, sehancur-hancurnya. Apalagi, persaan bahagia yang benar-benar tumbuh dari hati. Ia benar-benar telah melupakannya.
Kembali Ritika keluar melangkah meninggalkan ruangan itu dan keluar. Ia merasa lega dan ada kedamaian di dalam jiwanya saat udara segar merasuk ke dalam hidung dan memenuhi seluruh rongga paru-parunya. Ditambah lagi dengan terpaan angin sepoi-sepoi.
Tak ingin melewatkan moment seperti ini, Ritika memejamkan mata, menghirup dalam-dalam ogsigen sambil merentangkan kedua tangan di atas.
"Sungguh, Nikmat Tuhan mana yang kau dustakan?" gumam Ritika seorang diri.
"Selamat pagi, Nyonya!"
Ritika langsung menurukan kedua tangannya dan menoleh ke samping. Mengikuti sumber suara pria yang telah menyapanya dengan salam selamat pagi tersebut.
"Kak Edo?" ujarnya sambil tersenyum tipis.
"Kemarilah! Kau akan menyukainya!" serunya.
Tanpaberfikir panjang, Ritika langsung melangkah cepat menghampiri Edo yang sedang duduk di tepi kolam ikan dan memasukkan kedua kakinya ke dalam.
"Sudah lama?" tanya gadis itu. dia memang sudah cukup dekat dengan Edo. Entah, Edo yang memang terlalu close padanya… atau karena dialah pria yang menyelamatkan dirinya di malam itu dari empat berandalan suruhan ibu dan kakak tirinya tersebut? Ah, mungkin juga dua-duanya.
Karena, demi dapat mewujudkan keinginan nyonya nya, Edo juga meluangkan banyak sekali waktu untk bersama dengan Ritika. Terlebih lagi, selama ini Ritika adalah anak tunggal yang tak emmiliki saudara. Dia ingin sekali memiliki sosok kakak laki-laki yang dapat menjaganya seperti kebanyakan temantemannya di kampus. Lalu, dia menemukan sosok itu pada diri Edo.
"Tidak. Baru lima menitan. Tumben kamu keluar… kukira selamanya kau akan tetap berada di dalam kamar terus."
"Aku bingung. Jadi, kupikir dengan keluaar aku bisa merifresh pikiranku agar lebih enak dan lancar dalam berfikir," jawab Ritika tanpa mengalihkan padangannya dari sepasang kaki jenjangnya yang mulai didatangi oleh ikan-ikan kecil dalam kolam tersebut.
"Bingung apa?" tanya Edo antusias sambil menoleh memandang wajah Ritika dari samping.
"Sebagai insan biasa yang tak luput dari dosa dan susah ihkas, jujur. Aku sangat ingin sekali datang pada mereka untuk membalas dendam dan mengambil kembali hakku yang telah mereka rampas. Tapi, jika harus mengubah identitas dari Ritika Putri Dorman Suhendra menjadi Claudia Oberoi… sulit," ucap Ritika sambil tersenyum. Ia terlihat bodoh saat mengatakan itu.
"Memangnya kenapa? Apa yang kau harapkan dari sosok Ritika? Dengan menjadi Claudia, kau bisa mendapatkan lebih dari yang Ritika miliki. Harta, fasilitas, dan juga popularitas. Aku yakin, dengan menggunakan latar belakang keluarga Oberoi, kau akan lebih mudah meraih kesuksesan di tingkat dan puncak teratas."
"Aku tahu itu. tapi, untuk cinta?" Ritika menoleh memandang ke arah Edo. Berharap agar pria yang dia anggap abagai kakak itu bisa mengerti dirinya.
"Kau tak siap meninggalkan kekasihmu?"
"Ya… begitulah."
"Tidak bisakah kau datang lagi padanya dengan identitas baru? Banyak, kan pria yang uda putus apalagi ditinggal pacarnya mati lalu pacarana lagi? Pasti dia akan tetap sayang sama kamu. Karena, selain ia merasa mirip… "
"Tidak, Kak Edo!" sela Ritika dengan tegas. Namun masih tetap terdengar lemah lembut.
"Kenapa?"
"Aku merasa, dia tak akan mudah menerima Wanita baru dalam hidupnya setelah kabar kematianku. Aku merasa, hanya aku saja yang ada dan bertahta di dalam hatinya," jawab Ritika dengan tegas.
Edo memicingkan mata dan tersenyum miring. "Heh, kamuy akin?" tanyanya.