"Mbak, anda bicara jangan sembarangan, ya? enak sekali mencaci orang."
"Memangnya kenapa? Kau takt ahu, kan siapa aku? mau mencaci aku bagaimana pun, ya terserah aku. membeli dirimu saja, aku sanggup!" teriak Sisca dengan sangat arrogant.
"Sudahlah sayang. Tak ada gunanya kita berurusan dengan orang tak penting begitni. Lebih baik, pergi ke tempatku saja. aku akan merubah mood burukmu menjadi bagus lagi, oke?" ucap Ronald dengansuara berat penuh nafsu di dekat telinga Wanita itu.
Ritika memang tak dapat mendengar jelas apa yang dikatakan oleh pria tersebut. Tapi, dari ekpresi yang ditunjukkan pria itu, serta reaksi sang Wanita setelahnya… jelas dia juga dapat menebaknya. Sehingga, dia ingin sekali membuktikan, kebenaran tentang mereka. Apakah benar-benar sudah pernah melakukan hubungan intim?
"Ya, Sayang. Kau memang yang terbaik. Tak salah emmang aku sejak dulu menyukaimu. Untung saja, si sialan itu cepat mati. Jika tidak… aku harus apa untuk mendapatkanmu?" jawab Sisca yang jelas terdengar oleh kedua telinga Ritika. Membuat dirinya kian kaget saja.
Bahkan, saat dengan sengaja Sisca menabrak sebelah pundaknya dia hanya diam dan tak bereaksi. Sehingga membiarkan dua orang itu pergi dengan mudah.
"Sudah jangan dipikirkan. Apakah kau ingin mencari informasi lebih jelas dari mereka berdua?" ucap Edo yang mampu membuyarkan lamunan Ritika.
"Ya, tentu, saja!" jawab Ritika smabil berbalik. Barulah dia sadar, atas tindakan yang tak mengenakkan dari Sisca. Dengan cepat dia melepaskan sepatunya dan melempar tepat mengenai kepala Wanita itu.
"Aduh! Sialan! Sepatu siapa ini? Beraninya kurang ajar padaku!" teriak Sisca saat ia merasakan benda keras menghantam belakang kepalanya dengan cukup keras.
"Astaga, Ritika! Kamu… " ucap Edo heran. Demngan cepat dia menggeret Ritika pergi dan mengindari Wanita gila yang telah mengidap strat syndrome itu. dia tak ingin ribut di tempat umum. Walaupun sebenarnya ia juga tahu, bahwa mengalahkan hanya dua ekor anak tikus tidaklah susah baginya. Tapi, karena dia ingin segera ke inti dan tak mau lebih banyak lagi mengulur waktu… maka ya menghindar dari pertengkaran saja jauh lebih baik daripada membiarkan mereka bertengkar.
"Yakin ma uterus ikuti mobil mereka?" tanya Edo sambil melirik Ritika yang sedari tadi terus memandang ke depan dan nyaris tak berkedip.
"Iya, tentu saja."
"Apakah kamu hanya akan lebih tertarik mengetahui apa yang akan mereka lakukan setelah ini daripada kenapa bisanya Pacarmu bisa dengan saudara tirimu?" tanya Edo lagi.
"Memangnya bisa?" tanya Ritika.
"Tentu saja bisa."
"Ya sudah, terserah kamu saja, kalau begitu. Tak kusangka. Ternyata dia hanya berani berteriak di depanku saja. Rupanya dia snagat kampungan dan tak beretika. Terlalu memandang dirinya tinggi dan tak pernah bisa menghargai orang lain. sombong sekali, dia… tak sadar, fasilitas yang ia miliki bukanlah hakknya dan tidak sah sama sekali."
Edo hanya tersenyum tipis. Tapi, membiarkan Ritika merasa kecewa. Bukankah seseorang akan lebih garang di medan perang Ketika bertarung Ketika dia sudah tak lagi memiliki apapun? Karena, Ritika tahu, untuk melakukan balas dendam, dan menggantikan identitas nona besar Oberoi yang telah mati karena masih merasa memiliki seorang yang peduli dan patut ia pertahankan. Tapi, jika satu pun semua telah hilang… untuk apa dia harus takut? Hidup pun juga percuma. Hanya saja, karena Ritika termasuk beruntung, daripada mati bunuh diri, lebih baik membiarkan saja identitasnya mati. Lalu, menggunakan identitas seseorang yang telah mati, dan kebetulan wajah mereka sangat mirip.
Keluar dari sebuah hotel. Dengan ekspresi wajah yang nampak puas dan penuh kesenangan, Ronald keluar menemui seorang Wanita yang tak lain dia adalah Helena. Teman semasa SMAnya dulu.
Kedua mata Ritika terbelalak kaget. "Apakah pria itu tak takut kena sipilis, setelah berhubungan dengan satu wanita, kini pindah hotel dengan perempuan lain?" omel Ritika kesal.
"Aku tahu banyak hal tentang dia. Tapi, kurasa, tak baik jika aku yang mengatakan," timpal Edo. Sambil menyalakan rokok dan mulai menyesapnya.
"Apa itu?"
"Aku takut kau tak akan percaya jika tidak melihat dan mendengar sendiri secara langsung dengan mata kepalamu sendiri."
Ritika diam sesaat. Memang, dia bukanlah seorang yang mudah percaya dengan omongan orang lain.
"Aku tak mau bicara ku sia-sia," imbuh Edo lagi.
"Mau sampai berapa lama kita di sini?"
"Tidak lama lagi."
Ritika sebnarnya juga sudah mulai jenuh. Tapi, karena demi mengetahui sesuatu yang ta kia ketahui, Ia pun tetap bertahan di dalam mobil. padahal, dia sudah merasa tak nayaman dengan mekap tebal di wajah serta pertu yang lapar.
"Iya, di sini sudah siap. Bagaimana, dengan di sana?" ucap Edo tiba-tiba. Saat tiba-tiba mendengar panggilan dari alat pendengar yang selalu dia pasang di telinganya.
"Baik."
Ritika sama sekali tidak mengerti. Tapi, dia tetap bertahan tidak bersuara. Nanti cepat atau lambat juga akan tahu dengan sendirinya. Tinggal menunggu saja.
Dari ujung matanya Ritika melirik apa yang akan Edo lakukan setelah menerima kode dari rekannya tersebut.
Selama ini, dia hanya mengetahui tentang mafia hanya dari sebuah film dan juga novel saja. Namun, tak disangka. Sekarang dia justru malah mengalaminya sendiri berkecimpung menjadi satu bersama dengan seorang mafia.
Yang ia ketahui di dunia nyata tentang mafia itu pastilah jadi buronan polisi dan akan diberantas karena dianggap merugikan namun yang dia alami sekarang ini mafia juga ada yang baik karena mereka manusia dan pasti juga memiliki hati dan perasaan.
Mungkin benar apabila mereka menjatuhi hukuman begitu sadis tapi Bukankah itu sepadan dengan apa yang telah diberikan kepada orang yang telah berkhianat?
Toh nyatanya, di dalam penjara sendiri itu juga banyak terjadi kekerasan. Entah antar nara pidana, atau bahkan dari oknum polisi sendiri.
Bukankah, cara mereka menginterogasi pelaku kejahatan agar mau mengakui tindak kriminalnya dengan cara kekerasan tidak mungkin ditanya baik-baik seperti seorang guru kepada murid yang telah bersalah?
"Coba kamu lihat, dan perhatikan ini, Ritika!" seru Edo.
Gadis itu pun melihat ke dalam layar ponsel. "Kamu memasang kamera tersembunyi di kamar mereka?" tanya Ritika heran.
"Ya, Karena aku tahu di mana mereka akan menginap jadi aku meminta rekan dan juga anak buahku untuk bernegoisasi dengan petugas hotel agar mengizinkan Aku melakukan tindakan hanya demi mengungkap kejahatan seseorang yang pernah berselingkuh."
Ritika diam dan membisu. Ia tak tahu harus berkata apa. Dia hanya terlalu terharu saja, bagaimana bisa orang yang baru saja dia kenal rela melakukan hal seperti itu hanya untuk meyakinkan dirinya bahwa pria yang dia cintai bukanlah pria yang baik.
Karena, awalnya Ritika hanya berpikir mungkin saja Ronald seperti itu hanya karena dirinya telah mati jadi mencari pelampiasan tapi nyatanya tidak demikian.