"Hahahaha! Bagus. Bagus sekali. Begitu baru benar. Lagipula, aku bisa langsung melunasinya. Tidak harus menunggu tiap minggu seperti yang Ritika lakukan saat bersamamu. Kau juga tahu, kan bahwa mendiang ayah kami adalah orang yang teratur dan tidak membiarkan anak-anaknya berlebihan dalam menggunakan uang? Sekarang, dia sudah tidak ada lagi. Sedangkan Ritika putri semata wayangnya juga telah menyusulnya di neraka. Hanya ada aku saja. lalu, siapa yang dapat membatasiku?"
'Untuk sementara, lebih baik diam dan pura-pura bodoh saja. agar dia merasa menang dan melakukan apa saja pada tubuh ini yang sebenarnya juga inginkan tubuhnya untuk kuajak tidur,' batin Ronald seraya menyeringai saat Sisca mulai melakukan serangan padanya.
*****
Dengan mengenakan pakaian tertutup, dan juga masker, di dalam mobil Edo mengajak Ritika melihat keadaan di rumahnya. Di mana di sepanjang luar pagarnya di penuhi dengan karangan bunga ucapan duka cita teruntuk dirinya.
Ritika tercengang hingga mulutnya terngaga. Dia tak percaya. Bagaimana ini bisa begini. Jika dilihat dari bunga banyak yang sudah layu dan mulai kering. Ini sudah lebih dari tiga hari harusnya.
"Di istana besar, yang kau anggap rumah tampat kau dibesarkan ini, sudah lima hari kau mati. Jadi, jika kau kembali ke sini, kira-kira apa yang terjadi. Enak jika masih ada keluarga mu sendiri. Ini sudah dikuasai oleh ibu dan saudari tirimu. Para pelayan juga telah diganti semua dengan orang-orang baru. Kau sudah taka da tempat dan juga kesempatan."
Ritika hanya terdiam menatap bis uke depan. Kedua tangannya menggenggam erat untuk mengalirkan rasa kesal dan emosinya. Karena, dia tahu, menagis pun juga percuma. Melakukan tindakan lain juga dia tak mampu.
"Mungkin saja kau bisa bawa polisi untuk membantumu mengidentifikasi dirimu sendiri dan juga jenaazah yang kemarin dikubur dan diclaim itu adalah mayatmu. Tapi, kamu ada uang tidak? Minta bantuan pada polisi itu gak gratis. Kamu juga tahu itu, kan?" ucap Edo lagi. Sengaja memang pria itu berkata demikian dengan gayanya yang santai, tapi mengena memang untuk memoengaruhi pikiran serta pendirian Ritika.
"Kita kembali ke tempat nyonya Wany saja dulu. Trimakasih, Kak Edo sudah mengabulkan permintaanku untuk melihat kondisi di sini," jawab Ritika tanpa mengungkit sediktipun tentang apa yang ada di depan matanya.
"Baik," jawab Edo. Ia pun juga diam dan tak lagi membahas ini. Tapi, jika dilihat dari kedua sorot bola mata Ritika, sepertinya gadis itu sudah mulai goyah pendiriannya. Jadi, tak usah terus dipengaruhi. Orang seperti Ritika, jika terus menerus dikejar, dia justru akan menjaduh dan insecure. Jadi, cara mendapatkannya cukup katakana bahwa dia menerima dan mau membantu. Selebihnya ya sudah. Biarkan saja, biarkan dia sendiri yang datang untuk meminta. Dengan begitu dia akan bersungguh-sungguh. Sebab, Ritika bukanlah orang yang suka buru-buru dan sembrono. Ia akan berfikir seribu kali sebelum melangkah. Memang pantas jika dia menjadi nona besar Oberoi. Batin Edo. Namun tetap tenang agar tidak menimbukan kecurigaan sama sekali pada Ritika.
***
"Tidak menyangka, setelah tiga tahun perjuangan kita, akhirnya kita bisa menikmati selurh harta kekayaan yang ditinggalkan oleh Dorman Suhendra," ucap Molly sambil merebah cantik di atas kursi cleo patra tempat di mana sebelumnya itu adalah sofa kegemaran Ritika dan tak izinkan siapapun untuk duduk di atasnya. Dia selalu rebahan di situ sambil bersantai dan membaca buku, atau aktivitas santai apapun. Tapi, kini… si pemilik atau ratu di rumah ini telah berhasil mereka singkirkan dengan cara yang licik dan kejam.
"Mama! kau jangan lupa. Kita bisa seperti ini juga tak luput dari usaha dan oemikiranku," cetus Sisca yang merasa kesal karena kerja kerasnya tak pernah terliat di mata mamanya, padahal, ia merasa bhawa yang paling berkontribusi dalam kemerdekaan menguasai harta milik mendiang ayah tirinya adalah pikirannya. Ide dari mamanya justru sepertinya tak efektif dan akan lebih rumit.
"Ya, kita berdua, lah Sisca. Kan, selama ini semasa ayah tirimu hidup, yang selalu bersikap baik pada Ritika mama. mama yang banyak nyesek baik-baikin bocah tak berguna itu," jawab Molly.
"Hah, terserah lah! Ya sudah, akum au keluar dulu," ucap Sisca seraya keluar dengan pakaian seksi berwarna hitam. Mini dan juga sangat terbuka. Siapapun juga bisa menebak kalau Sisca berjongkok mengambil benda yang jatuh, CD nya sudah akan terlihat jelas.
"Kau ma uke mana?" tanya Molly dengan mata melirik tajam pada putrinya.
"Sudahlah, Ma… itu tak penting ke mana. Aku juga manusia yang sama seperti mama. butuh untuk bersenang-senang. Jadi, jangan tanya secara rinci ke mana aku pergi. Sebab, aku juga tak pernah mau tahu saat mama berada d hotel bersama dengan para berondong muda untuk bersenang-senang, kan?" Seketika Sisca pun langsung pergi meninggalkan tempat tersebut. Untuk berjumpa dengan Ronald.
Karena dia bebas dan taka da yang membatasi dalam menggunakan uang. Maka, ia bisa membelikan mobil pria itu, guna untuk mengantar jemput dirinya. Yah… walaupun sama-sama dia yang modal pada pria… seenggaknya dia tak begitu kelihatan seperti Ritika yang malah datang menjembut. Dia ingin dijemput dan diperlalukan bak ratu oleh pria tampan dan gagah itu. jadi, dia yang memberikan fasilitas tersebut.
"Halo, Tuan Putri. Mau ke mana kita sekarang?" ucap Ronald dengan penuh cinta kasih menyambut kedatangan Sisca dengan gaun mini berwarna hijau botol tersebut.
Wanita itu tersenyum puas dengan perlakuan yang Ronald berikan padanya. Ia yakin demi apapun, semesra dan sebaik apapun Ronald pada Ritika, tidak akan melebihi perlakuan lembut dan manis kepada dirinya. Sebab, untuk memberi fasilitas dan uang pada pria itu juga pasti tidak akan sebanyak dan seroyan dirinya.
"Kamu, tahu kan kalau besok itu adalah hari ulang tahun Alina? Aku tidak punya gaun. Jadi, temani aku belanja gaun untuk besok, ya?" ucap Sisca dengan nada manja sekali.
"Oh, baik sayang. Everyting I do for you," ucap pria itu sambil memberi sebuah kecupan di bibir Sisca dengan mesra. Seolah-olah mereka menunjukkan pada dunia bahwa mereka adalah sepasang kekasih.
"Aku tahu itu. Maka, cintailah aku!" bisik Sisca tersenyum dan membalas ciuman pria itu dengan mesra lalu, ia pun masuk ke dalam mobil yang sudah dibukakan pintunya oleh Ronald.
Sementara, di sebuah rumah yang mewah dan megah, Ritika hanya diam dan terus mengunci diri di dalam kamar dengan luas lima kali tujuh meter. Bahkan, kamar ini jauh lebih luas jika dibandingkan dengan kamar pribadinya yang direbut oleh Sisca tiga tahun silam.