Seorang Wanita tua dengan rambut yang seluruhnya telah memutih diam menatap ke luar jendela mobil, menatap gelapnya hutan belantara yang gelap.
"Nyonya! Maaf, jika saya lancang. Tapi, sudah menjadi tugas saya yang telah lama ikut keluarga oberoy untuk mengingatkan kondisi Kesehatan anda. Jangan terkena angin malam, dan jangan terlalu banyak berfikir serta larut dalam kesedihan," ujar seorang pria bertubuh kekar, dan tambun itu.
Dia adalah Edo. Tahun ini, usianya telah menginjak tiga puluh tahun. Dia bukan seorang supir. Dia adalah anak yang ditemukan Nyonya Wani sejak dia masih berusia lima tahun. Meringkuk, melawan rasa dingin di tengah hujan badai.
Flash back***
Seorang bocah tampak meringkuk kedinginan di tengah-tengah derasnya hujan. Dia berteduh di depan toko yang sudah tutup, di sebuah pinggiran kota yang muai sepi. Namun, karena hujannya bercampur dengan angin, bocah tersebut tetap basah terkena air hujan. Karena tidak adayang menghalangi tubuh kecilnya.
Lama dia meringkuk menahan rasa dingin yang menusuk tulang serta rasa mual. Mungkin karena masuk angin. Terlebih pakian yang ia kenakan juga telah basah. Tiba-tiba saja dia membuka mata saat menyadari air hujan tak lagi menyerang tubuh kecilnya yang mulai lemah.
Bocah yang bahkan takt ahu siapa nama dan asal usulnya itu seketika mendongak ke atas melihat sosok muda, rapi nan cantik tersenyum dengan mata yang basah ke arahnya. Kemudian sosok itu berjongkok. Di belakangnya ada dua orang pria berpakaian rapi warna hitam lengkap dengan kacamata senada. Bertubuh tegap memandang lurus ke depan.
"Nak, kau sendirian di sini? Di mana orangtuamu?" tanya Wanita itu dengan lemah lembut.
Bocah tanpa nama itu mengeleng. Tapi, sedikitpun dia tidak menunjukkan bahwa dirinya takut dengan orang asing yang mendatangi dirinya. Hanya rasa malu yang tak terucap. Orang itu terlihat begitu rapi, sementara dia… sudah mirip sekali dengan tigus got!
"Kau tak memiliki keluarga?" ucapnya lagi.
Bocah itu mengangguk, kedua matanya nampak berbinar penuh dengan harapan.
"Nak, siapa namamu?"
Lagi, bocah itu mengelengkan kepala. Sementara Wanita itu dengan senyuman lembut, dan wajah yang penuh dengan kasih sayang mengulurkan tangan, memegang pipi bocah tersebut lalu mulai memperkenalkan diri dan mengutarakan maksut serta tujuannya.
"Nak, namaku Wani Oberoy. Mulai sekarang, kau ikutlah denganku! Namamu Edo Oberoy. Kau menjadi bagian dari keluargaku. Pulanglah denganku, Nak!"
Sejak saat itulah, kehidupan bocah di pinggir jalan itu berubah drastis. Namun, dia adalah sosok anak yang tahu diri dan tak penah lupa akan daratan. Meskipun nyonya Wani telah memberikan segala fasilitas seperti anak sendiri. Tapi, Edo tetap memilih menjadi abdi, atau bodyguard malaikat yang telah memberinya kehidupan serta Pendidikan yang layak itu. menyandang marga Oberoy saja, baginya sudah lebih dari cukup. Terlebih dengan segala yang dimiliki.
Dia tak mau menjadi anak yang kebanyakana manja dan selalu mengandalakan kekuatan yang dimiliki oleh orangtuanya. Namun, dia ingin menjadi seorang yang rela mempertaruhkan nyawa dan juga hidupnya demi menjamin keselamatan Nyonya Wani.
***comeback***
Tanpa menjawab perkataan Edo, Wanita tua itu langsung menutup kaca jendela. Sepatah kata pun juga tidak keluar dari lisannya. Dia hanya diam seribu Bahasa.
"Saya memang tidak pernah berada di posisi Anda. Tapi, sebagai seorang manusia yang juga memiliki hati Nurani. Saya juga dapat merasakan kesedihan yang anda rasakan. Saya pun juga merasa kehilangan apalagi anda seorang ibu," ucap Edo.
Seketika, tangisan Wanita tua itu pun pecah. Air matanya meleleh membasahi kedua pipinya. "Apakah aku tak boleh bersedih dan menangis, Edo? Sekuat dan sehebat apapun aku sebagai manusia di mata orang lain, tetap saja aku ini adalah manusia yang lemah. Memandang dengan mata kepala sendiri suamiku dibantai. Lalu… tak lama kemudian, putriku yang baru menginjak masa remaja tewas karena sebuah kecelakaan udara saat dia hendak ke Amerika.
Saat dia pergi masih dalam keadaan cantik dan sehat. Lalu, tidak berselang lama dia kembali dalam wujud jasad tidak bernyawa."
Edo hanya terdiam. Terpaku tak mampu berkata apa-apa. Tenggorokannya terasa seperti tersumpal sesuatu. Menyulitkan dirinya bernapas. Tapi, sebagai laki-laki, dia harus kuat. Jika pun menangis, jangan sampai di depan orang lain. terutama Nyonya Wani.
Di jalan yang sama, dengan arah yang berlawanan, sebuah mobil melaju kencang tak teratus dan sedikit oleng. Di dalamnya, ada empat orang yang tengah mabuk dan tertawa keras.
"Heh! Aku ketua di sini. Jangan macam-macam kau! Sejengkas saja berani menyentuh area sensitive nya sebelum aku duluan, akan kuhabisi tanganmu!" ucap pria berwajah dingin yang tengah memegang kemudi tersebut.
"Tentu saja tidak. Kami, mana berani mendahului kamu. Tapi, kita ini sudah jauh dari keramaian. Ini sudah mirip dengan hutan. Kenapa tak dieksekusi sekarang saja?" tanya tiga orang yang sudah nampak snagat tak tahan itu.
"Bukankah semakin dalam masuk ke dalam hutan maka semakin aman?" ucap pria yang memegang kemudi itu. seolah tidak peduli sama sekali.
"Oh, baiklah… baiklah… "
Edo menyipitkan pandangannya saat melihat sebuah mobil sekilas berbelok menuju hutan. ia yakin, pasti aka nada hal yang tidak beres. Yang jelas, jika seperti itu terjadi, tidak jauh dari yang Namanya kejahatan.
"Sekilas seperti ada sebuah sinar lampu, Do?" tanya Nyonya Wani. Tak heran, dia tetap diakui sebagai ketua pasukan bawah tanah. Usia yang mendekati enam puluh tahun, seperti nenek saja dia masih begitu jeli dan sensitive dengan hal-hal seperti ini.
"Iya, tadi ada sebuah mobil warna hitam masuk ke dalam hutan, Nyonya. Apakah perlu kita mengikutinya, Nyonya?"
"Ikuti saja!"
Dengan kasar Empat pria itu menyeret tubuh Ritika yang sudah tak keruan. Pakaiannya juga telah compang camping karena di tarik sana sini oleh keempat pria kurang ajar itu.
"Ah… jangan! Jangan sentuh saya! Tolong bebaskan saya! Saya tak mau!" teriaknya dengan sekuat tenaga. Sebenarya dia sudah sangat lemah sekali. Tapi, karena harga dirinya sebagai Wanita telah terancam… dan dia juga tak merelakan satu-satunya mahkota miliknya terkoyak, sekuat tenaga dia berteriak dan dan memberontak.
"Edo! Kau dengar itu?" tanya Nyonya Wani dengan panik.
"Iya, Nyonya!"
"Cepat, lari dan selamatkan gadis tersebut dari pria-pria tak bermoral itu!" perintah Nyonya Wani. Masih begitu tegas, walau tubuhnya terlihat ringkih dan seluruh rambutnya memutih.
Tanpa menunggu perintah kedua lagi, pria itu langsung melompat keluar mobil berlari sambil mengambil pistol yang selalu siaga dia selipkan di pinggangnya.
"Dor! Dor!"
"Argh… siapa kau!" teriak pria yang tadi memegang kemudi dengan marah. Karena kesenangannya di ganggu, lengan kanannya juga tertembak.