Kalea menatap kosong langit gelap yang sedari tadi tak henti-hentinya menitikkan air matanya. Angin bertiup cukup kencang ditambah petir yang kadang-kadang menyambar, membuatnya menghela napas panjang. Harusnya ia cepat-cepat pulang agar tidak mendapat masalah. Namun, takdir berkata lain, ia bahkan sudah menunggu sekitar satu setengah jam di area sekitar kampus menunggu langit menghentikan air matanya. Bisa saja ia menerobos hujan, tetapi ia lupa untuk membawa payung merah kecilnya dan akhirnya mengurungkan niat tersebut.
"Lea? Belum pulang?" Kalea menoleh ke asal suara, ia mengangguk menjawab pertanyaan dari gadis bersurai burgundy bergelombang yang baru saja memanggilnya. "Baru selesai menilai tugas mahasiswa?" lanjutnya lagi.
"Sekaligus menunggu hujan yang tak kunjung berhenti, kau sendiri kenapa belum pulang, Luna?" Kini Kalea bertanya.
"Ada kerja kelompok tadi di perpustakaan. Hei, daripada terus menunggu lebih baik pulang bersamaku! Supirku sebentar lagi datang," ajak Aluna seraya menarik lengan Kalea agar berdiri. Kalea menggeleng cepat, ia tidak mau merepotkan sahabat dari SMAnya itu.
"Tidak perlu, Luna, Aku—"
"Kalau alasannya karena tidak mau merepotkanku, aku tidak mau dengar! Ayolah Lea, sudah berapa tahun kita berteman? Santai saja denganku," potong Aluna cepat dan benar akan maksud Kalea tadi. Mau tidak mau Kalea menerimanya, ia juga sebenarnya tidak mau berdebat akan masalah sepele dengan Aluna yang sangat keras kepala.
Tak lama mobil Mercy berwarna hitam mewah berhenti tepat di depan mereka berdua, Aluna menoleh ke arah Kalea seraya tersenyum dengan maksud agar langsung memasuki mobil tersebut. Mobil kembali berjalan membelah jalanan kota, tak lupa hujan deras yang masih belum ada tanda-tanda untuk berhenti.
Selama perjalanan itu pun tak ada satu pun yang berbicara, mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Kalea tersadar akan sesuatu setelah sedari tadi ia melamun menatap ke luar jendela, seharusnya ia mampir ke mini market dahulu untuk membelikan barang yang diinginkan ibunya tetapi mini market itu sudah terlewat jauh. Kalea meremat roknya kuat, ia menerka nasib yang akan ia alami setelah sampai rumah.
"Lea? Lea!"
"Y—ya?"
"Lea ... ini sudah sampai rumahmu," ujar Aluna. Kalea menoleh ke luar dan ya, sudah sampai tepat di depan gang rumahnya.
"Terima kasih, Luna," ujarnya seraya tersenyum yang dibalas senyuman kembali oleh gadis bersurai burgundy itu.
"Sampai ketemu besok!" Aluna melambaikan tangannya, kini mobil kembali berjalan meninggalkan Kalea sendirian di jalanan gelap dan sepi. Hujan sudah tidak sederas sebelumnya, hanya sisa rintik-rintik kecil. Kalea mulai berjalan menuju rumahnya walaupun dengan perasaan takut, ia berharap setelah sampai rumah, ibunya sudah tertidur pulas jadi tak akan terjadi pertengkaran di antara mereka.
Namun, sepertinya hari ini Kalea bernasib malang, ibunya berada di ruang tamu seakan menunggu kepulangan anaknya tercinta. Kalea menelan ludahnya kasar, jarinya meremat tas ransel, sedikit tak siap dengan sesuatu yang akan terjadi setelah ini.
Freya mematikan rokoknya asal, bahkan melempar puntung rokok tersebut ke arah anaknya. "Darimana saja kau?"
"T—tadi hujan sangat deras, jadi aku menunggu reda, Ibu ...." jawab Kalea dengan lirih.
"Terserah, mana alkoholku?" tanya Freya seraya sibuk memainkan ponselnya, tetapi Kalea tak bergeming dari tempatnya. Karena tak ada pergerakan, ia menoleh menatap anaknya dengan heran, "Mana alkoholnya, Kalea?" tanya Freya lagi, masih mencoba sabar. Namun, tetap. Kalea diam tak menjawab ataupun memberikan barang yang diinginkannya.
Alis Freya semakin menukik tajam, emosi sudah tak bisa dibendung. Ia meraih piring yang paling terdekat dari sisinya lalu ia lempar ke dinding.
Prang!
Kalea sontak kaget, menatap piring yang telah pecah berhamburan ke mana-mana.
"Kau tuli? Kau bisa dengar tidak apa yang kuucapkan tadi?!" bentak Freya.
"M—maaf, Bu, aku minta maaf ...." Kalea menundukkan kepalanya semakin dalam, jantungnya berdetak tak karuan. Ia benar-benar takut pada ibunya.
"Mana alkoholku?! Kau mau mati pulang ke rumah tanpa bawa alkohol, hah?!" Freya mendekati Kalea, menjambak helai rambut sang anak tanpa belas kasihan. Kalea hanya bisa meringis kesakitan, tak bisa melawan. Jarinya memegang lengan Freya agar melepaskan jambakannya, tetapi bukannya dilepas, jambakan ibunya semakin menjadi bahkan mendorong kepalanya ke dinding. Darah mulai mengucur dari dahi Kaela, dan saat itu pula Freya baru melepaskan jambakan tersebut.
"Maaf, Bu ... aku tidak sempat ke mini market karena hujannya benar-benar sangat deras ...." Kalea memegang dahinya, nada bicaranya ia tahan agar tidak terdengar seakan ingin menangis. Ia sedikit berbohong tentang dirinya yang lupa karena bisa-bisa perlakuan dari ibunya semakin buruk.
"Memangnya aku peduli? Sekarang juga kau pergi ke toko itu dan belikan aku alkohol! Atau kau benar-benar mati kali ini!" Freya menyeret anaknya keluar rumah dengan tega bahkan sampai terhempas ke tanah, tetapi ia tak peduli dan kembali masuk ke rumah meninggalkan anaknya dengan kondisi memprihatinkan.
Kalea diam, masih dengan posisinya. Menunduk menatap tanah yang masih basah akibat hujan tadi. Darah kembali mengucur mengenai punggung tangannya, ia tidak mengerti kenapa bisa mendapatkan perlakuan sampai seperti ini apalagi pelakunya adalah ibu kandungnya sendiri.
Kali ini bukan darah yang menetes, namun tetesan air yang turun dari langit, sepertinya akan hujan kembali. Kalea bangun dari duduknya, berjalan dengan langkah tertatih seraya menahan sakit di dahinya, menuju mini market yang bisa dibilang lumayan jauh dari rumahnya.
Sekitar tiga puluh menit ia akhirnya sampai dan langsung bergegas mengambil barang yang dituju lalu memberikannya ke kasir untuk dibayar. Ia juga membeli beberapa obat-obatan untuk mengobati lukanya.
Seorang wanita paruh baya menepuk pundak Kalea dengan lembut, "Kau tidak apa- apa, Nak?" tanyanya dengan tatapan khawatir karena melihat penampilan Kalea benar- benar kacau. Baju dan roknya basah tercampur tanah, rambutnya acak-acakan dan dahinya yang masih ada bekas darah akibat benturan dari ibunya. Kalea sendiri tahu, kondisinya saat ini memang sangat menarik perhatian dari banyak orang.
Kalea menggeleng pelan, menunduk tak berani menatap wanita itu. Setelah membayar belanjaannya, ia langsung pergi meninggalkan mini market tersebut.
***
"Sialan, membeli alkohol saja begitu lama!" umpat Freya seraya mengambil botol pertama yang akan ia teguk. "Kenapa kau hanya membeli dua? Kau sendiri tahu ini akan habis dalam sekejap!" Freya menendang kaki anaknya kuat.
"U-uangnya nanti tidak cukup untuk kebutuhan kita sehari-hari Bu, gajiku belum cair jadi hanya bisa membeli dua botol "
"Persetan, aku tidak peduli! Kenapa kau tidak memanfaatkan wajah cantikmu yang mirip pria sialan itu, hah? Kau bisa kerja menjadi pelacur agar cepat dapat uang!"
Hati Kalea seakan tercubit mendengar perkataan Freya, tak menyangka ibunya sendiri yang menyuruh ia menjual tubuhnya ke banyak pria.
"Sudah kau pergi sana! Aku tidak mau lama-lama melihat wajah sialan itu!" usir Freya.
Tanpa waktu lama, Kalea meninggalkan ibunya menuju kamar.
Sesampai di kamar, ia tak bisa menahan tangisnya lagi, semuanya keluar begitu saja. Untungnya, hujan turun lagi dengan deras, ibunya tidak akan mendengar tangisannya yang menyayat hati karena akan kalah dengan suara hujan dari luar. Kejadian hari ini begitu menyakitkan untuk Kalea, kadang terbesit pikiran untuk mengakhiri hidupnya. Namun, ia tak terbayang jika ibunya hidup sendirian. Mau bagaimanapun, Kalea masih tetap menyayangi Freya.
Karena ia tahu, Freya seperti ini karena ada sebabnya.