Gadis bersurai pirang melangkahkan kaki jenjangnya memasuki club, tempat langganan di mana ia selalu mendapatkan pria yang diinginkan. Kali ini pria-pria itu bukanlah untuknya, melainkan untuk gadis aneh tetapi cerdas yang membutuhkan pekerjaan siapa lagi kalau bukan Kalea.
Setelah ia memuaskan nafsu daddy-nya, ia memutuskan mulai segera mencari pria yang bisa menjadi sugar daddy untuk Kalea karena ancamannya adalah tugas presentasi. Walaupun Zeline tidak peduli dengan akademiknya tetapi daripada ia harus mengulang mata kuliah dan semakin lama ia lulus, lebih baik ia sanggupi apa yang menjadi kesepakatan di antara mereka berdua.
Setelah memutari area club, menawari kepada teman-teman prianya tetapi tak ada satu pun yang tertarik padahal sudah segenap jiwa raga ia mengeluarkan jiwa marketingnya. Sebenarnya, ada satu atau dua orang yang sedikit tertarik tetapi Zeline sendiri yang menolaknya, ia merasa tidak akan cocok dan kurang untuk menjadi sugar daddy. Begini-begini ia tetap ingin Kalea mendapatkan pria yang menjanjikan kehidupannya. Tidak hanya dilihat dari dompet tetapi kepuasan batin melihat wajah yang indah ketika bangun dari tidur.
Setelah memesan minuman Mocktail, ia melangkah dengan lesu menuju meja yang ditempati oleh salah satu teman prianya.
"Sudah lelah mencari sugar daddy-nya, eh?" tanya pria itu dengan usil. Sebelum Zeline mencari ke sekeliling area club, memang dirinya bercerita mengenai apa yang ia alami hari ini.
Zeline menghela napasnya berat seraya mendudukkan bokong sintalnya di sofa empuk. "Aku sedikit menyerah, akan kulanjut besok." Netranya membulat setelah terpikir sesuatu, ia menoleh ke arah teman prianya yang tampan itu, "Aku lupa untuk menawarimu, kenapa tidak kau saja yang menjadi daddy-nya, Dariel?!"
Si lawan bicara tersedak minuman setelah mendengar perkataan Zeline. "Aku? Kau bercanda."
"Tidak, aku sungguhan. Kau cocok, cocok sekali menjadi daddy."
"Daddy untukmu?"
"Dasar bodoh, tentu saja untuk teman kampusku!"
"Aku tidak minat, Zeline. Lagipula wanita disini sudah cukup untukku," tolak Dariel membuat Zeline lagi-lagi menghela napas berat.
Dariel mengecek ponselnya lalu mengetik pesan untuk seseorang, "Arthur sebentar lagi datang kesini," ujarnya memberi info. Jarinya memberi isyarat pada pelayan club untuk menghampiri mereka, meminta tambahan beberapa botol Whiskey untuk menemani mereka malam ini.
"Untuk apa?"
"Pertanyaanmu sungguh aneh, tentu saja untuk melakukan hobinya."
Tak lama pria yang mereka bicarakan telah memasuki club tersebut. Arthur Jefferson, pengusaha muda dari Perusahaan IT Jeffer.Corp yang memiliki cabang di mana-mana, domestik maupun luar negeri. Ia memiliki tubuh tinggi tegap, dada bidang, bahu lebar yang akan terasa nyaman bersender disana, hidung mancung, dan tahi lalat kecil di ujung mata kiri membuatnya semakin manis saat tersenyum. Benar-benar perpaduan tampan dan manis yang menakjubkan.
Dengan tubuh dan fisik yang menawan semua pandangan sudah pasti langsung tertuju padanya, para wanita bahkan lebih-lebih lagi tatapan liarnya seperti singa yang ingin menerkam seekor rusa.
Pria tersebut melangkah dengan santai menuju meja sahabatnya. "Dariel, sudah lama disini?" sapanya seraya memeluk Dariel ala brother.
"Lumayan, ditemani Si Cantik Zeline," jawab Dariel, pria yang tidak kalah tampan dan berprofesi sebagai dokter spesialis penyakit dalam itu.
"Hei! Lama tak jumpa, Arthur!" Zeline memeluk leher Arthur dengan manja, membuat pria itu terkekeh.
"Ya, sudah lama tak bertemu dengan gadis nakal."
Arthur dan Dariel adalah teman sejak mereka memasuki kuliah, dan jika bertemu bagaikan anak kembar yang terpisahkan dan baru pertama kali bertemu kembali, mereka benar- benar lengket. Apapun mereka bicarakan, bisnis, pertemanan, tak terkecuali wanita. Zeline yang bosan hanya meminum Mocktail-nya dan ber-selfie ria yang akan ia unggah di sosial medianya.
"Hei, tumben sekali kau memesan Mocktail. Apa kembali menjadi anak kecil?" ejek Arthur membuat Zeline mendelik kesal.
"Aku sedang tidak ingin mabuk!"
"Satu atau dua botol tidak akan membuatmu mabuk, bukan?"
"Ah, diam! Sana cari wanita untuk kau tiduri!" omel Zeline sedang tak mau menanggapi ledekan dari pria tampan tersebut. Arthur tertawa renyah, menurutnya Zeline sasaran empuk menjadi bahan ledekan untuknya. Bahkan ia menganggap Zeline seperti adik kandungnya sendiri.
Pertama kali mereka bertemu pun di club itu sendiri, karena Dariel yang memang orang pertama yang mengenal Zeline otomatis ia mengenalnya juga. Dari awal ia bahkan tidak ada ketertarikan pada gadis pirang itu, walaupun Zeline sudah tak perlu diragukan lagi wajah dan tubuhnya yang menggoda.
"Dia sedang stress, karena menyanggupi apa yang ia sendiri tak sanggup."
"Aku sanggup, Dariel!"
Arthur menautkan alisnya heran setelah meminum whiskeynya sedikit. "Memang apa
itu?"
Dariel dan Zeline saling berpandangan membuat Arthur semakin heran dan curiga apa yang mereka berdua rencanakan.
"Kau!" teriak Zeline, jarinya menunjuk tepat di depan wajah tampan Arthur. "Jadi sugar daddy, ya?"
Netra Arthur membulat, tak lama terganti dengan ekspresi herannya. "Kenapa tiba- tiba? Kau kekurangan daddy?"
"Bukan aku, untuk temanku!"
"Hah? Kau bercanda." Arthur menggelengkan kepalanya seraya tersenyum, ia tahu Zeline memang gila jadi sudah diwajarkan.
"Aku juga tadi berpikir hal yang sama, bro. Tapi itu sungguhan."
Pernyataan Dariel membuat Arthur menatap kembali ke arah Zeline, tampak gadis pirang itu juga melakukan hal yang sama dengan tatapan seperti anak anjing meminta makan. Nelangsa sekali.
"Sebentar, tolong ceritakan dulu kronologisnya."
Karena permintaan Arthur, Zeline dengan senang hati menceritakan dari awal mengenai kesepakatan yang ia buat dengan Kalea berharap Arthur iba dan bisa membantunya barang sekali.
"Oke, aku cukup mengerti. Sekarang semangat untuk mencari sugar daddy-nya, Anak Kecil." Arthur mengelus puncak kepala Zeline dengan lembut seraya tersenyum manis.
"Sialan! Sudah cerita panjang lebar hanya diberi kata semangat!" Zeline menyingkirkan tangan Arthur.
"Sudahlah, kau pasti bisa, Arthur. Kau cocok."
"Bro??" Arthur tak menyangka bahwa sahabatnya juga menyetujui ia dijual pada wanita yang tak ia ketahui walaupun sebenarnya ia bisa-bisa saja. Seorang Arthur tidak mungkin menolak wanita.
Arthur menyugar surai hitamnya ke belakang menggunakan tangan, wajahnya tampak tertekan. "Kalau begitu seperti apa orangnya?"
"Dia lumayan manis tapi tidak semanis diriku."
"Kau tidak manis, kau pahit."
"Sialan!"
"Lanjutkan."
Zeline berpikir keras, pasalnya ia pun tidak terlalu mengetahui tentang Kalea. Bahkan baru hari ini saja ia berbicara dengan gadis itu. Arthur mengerutkan alisnya, tak sabar karena Zeline tak menjawab lagi.
"Hanya itukah yang bisa kau promosikan tentang temanmu? Bukankah sebelum menawariku, kau sudah menawari ke seluruh pria yang ada di sini?"
"Uh ... iya sih tapi—"
"Apa dia pintar?" tanya Arthur to the point.
"Kau ingin yang pintar?"
"Tentu saja. Aku tidak ingin sugar baby bodoh sepertimu," ejek Arthur tersenyum remeh tetapi hanya usil. Tentu saja membuat Zeline tersinggung, dirinya sudah meraih gelas kosong yang siap kapan saja ia benturkan pada wajah Arthur. Namun, hal itu tak terjadi karena Dariel menahannya.
"Ah, brengsek bisa tidak sih sekali saja kau bertingkah waras, Arthur!" Arthur malah tertawa kencang.
"Ya, sudah. Jawab pertanyaanku tadi. Aku serius."
"Iya! Dia pintar! Puas kau?!" gerutu Zeline. Arthur mengangguk-anggukan kepalanya, berpikir panjang kembali keuntungan maupun kerugian yang akan ia dapatkan jika ia menuruti permintaan Zeline.
"Cih, tidak usah banyak berpikir, kau terlihat semakin tua," cibir Zeline.
"Tidak ada hubungannya, Bocah! Lagipula aku masih berumur 32 tahun!" Arthur membela diri.
Dariel menghela napasnya berat, pening sedari tadi menjadi penengah di antara mereka berdua. "Sudahlah Arthur, tidak perlu ditanggapi. Kau bukan anak kecil lagi."
"Lagipula daripada kau bermain dengan banyak mainan, lebih baik memiliki satu mainan saja tapi berkualitas, bukan?" lanjut Dariel.
"Siapa yang bilang jika aku memiliki sugar baby, aku tidak bermain dengan wanita lain? Aku akan tetap menjadi Arthur Jefferson yang bermain dengan siapa saja," sahut Arthur tak acuh.
"Ah, terserah kalian saja aku lelah! Biarkan saja aku menderita dan tak lulus-lulus." Zeline meraih tasnya, berniat untuk pergi. Ia kecewa pada kedua pria itu yang tak dapat membantunya. Lengannya tertahan oleh Dariel, menduduki Zeline dipangkuannya. "Nanti dulu."
"Lepaskan! Aku benci kalian semua!" Zeline tampak gusar, ia memberontak sampai akhirnya Dariel melepaskan dan menggeser agar Zeline duduk kembali disampingnya. Wajah Zeline masih masam, tak mau menatap kedua pria tampan tersebut.
"Ya sudah, aku mau," final Arthur. Zeline menoleh ke arahnya dengan tatapan tak percaya.
"Sungguh?"
"Ya, tapi itu terserah padaku kan? Peraturan dan semacamnya," tanya Arthur memastikan, Zeline mengangguk walaupun sedikit ragu. Karena ia tahu Arthur bisa saja melakukan hal seenaknya jika tidak sesuai dengan yang diinginkan.
"Jika aku merasa tidak cocok, tidak apa kan kuselesaikan dengan cepat? Aku tidak mau berurusan dengan sesuatu yang merepotkan."
"Ya, ya terserah kau."
Arthur tersenyum miring, meminum Whiskey tegukan terakhirnya sebelum ia bersiap ke aktivitas selanjutnya. "Kalau begitu minggu ini atur pertemuanku dengan gadis itu."
"Siap laksanakan! Terima kasih, Daddy!" Zeline memeluk Arthur erat. Tak menyangka Arthur sungguhan menuruti permintaannya, walaupun belum tentu akan berjalan mulus atau tidak.
"Aku pergi dulu," pamit Arthur.
"Ke mana?"
"Makan," jawab Arthur seraya melangkah meninggalkan mereka berdua. Zeline hanya memutar bola matanya dengan malas, sedangkan Dariel tersenyum maklum. Karena 'makan' yang Arthur katakan diartikan dengan mencicipi wanita yang akan ia tiduri malam ini.