Sudah lima hari berlalu dari perbincangan Kalea dengan Zeline dan belum ada kepastian mengenai pekerjaan tersebut. Kalea mulai sedikit gelisah, pikirannya kalut dan curiga apakah gadis angkuh itu menipunya dan membuat dirinya yang mengerjakan semua tugas kelompok itu sendiri. Kalea sangat butuh pekerjaan tambahan, ia tidak hanya menunggu dari Zeline tetapi juga telah menyebar surat lamaran pekerjaan di berbagai tempat. Namun, sayangnya sama sekali belum ada panggilan juga.
Hari ini ia berniat menagih janjinya pada Zeline, jika memang Zeline tak serius, mau tak mau gadis itu yang akan presentasi untuk lusa nanti. Tentu saja Kalea tidak mau rugi dan membiarkan Zeline seenaknya sendiri, ia tidak se naif itu.
Kelas terakhir hari ini berakhir pukul empat sore, kegiatan Kalea selanjutnya adalah bekerja di restoran keluarga yang lumayan jauh dengan kampusnya. Untuk sampai ke sana, ia harus menaiki bus selama tiga puluh menit. Sebelum itu, tubuhnya tergerak untuk menghampiri gadis yang sedari tadi asik memoles wajahnya.
"Zeline," panggil Kalea.
Zeline menghentikan kegiatannya, netranya beralih menatap Kalea, "Oh! Kau!" panggil gadis itu seakan teringat sesuatu yang ia lupakan. "Hari ini kau ikut aku," lanjut Zeline, tentu saja membuat Kalea mengernyit dahinya heran.
"Maksudmu?"
"Kau tidak lupa dengan tawaran pekerjaan itu, bukan?" tanya Zeline memastikan.
"Tidak, tentu saja tidak. Aku bahkan berniat bertanya tentang hal itu," jawab Kalea.
Zeline menggangguk, menutup alas bedaknya setelah merasa riasannya sudah mantap.
"Um ... tepat saat ini juga?" kini Kalea bertanya. Karena ia masih ada pekerjaan jadi waktunya terbentur dengan janji Zeline. Gadis pirang itu menatap layar ponselnya, jari lentiknya menggeser bubble chat mungkin saja dengan pria yang akan menjadi sugar daddy Kalea.
"Jam enam sih, tapi setelah melihat penampilanmu ...." Zeline menggantungkan kalimatnya, netranya menatap Kalea naik turun. "Aku tidak mungkin membawamu dengan penampilan seperti ini. Jadi kau harus pulang dulu, dandan yang cantik, pakaianmu juga. Aku akan menjemputmu nanti," perintah Zeline.
Kalea ikut menatap dirinya, ia sadar memang jika dengan penampilan seadanya mungkin tidak akan sopan. Namun, jika Zeline menyuruhnya berdandan cantik, ia tidak yakin bisa. Kalea bahkan tidak pernah berdandan jadi sudah pasti tidak memiliki peralatan make-up seperti gadis pirang itu. Untuk membeli pun ia tidak memiliki cukup uang.
Lengan Zeline menyibakkan poni Kalea, bekas luka di dahi itu masih ada. "Luka apa ini?" tanya Zeline yang langsung saja cepat-cepat Kalea tutupi. "Bukan apa-apa. Uh ... Zeline sebenarnya aku tidak memiliki peralatan make-up dan pakaian yang cukup bagus."
Helaan napas berat terdengar dari Zeline, ia sudah tahu dari wajah Kalea seakan keberatan dengan perkataannya tadi. "Kalau begitu kita ke Mall dulu, Zeline yang baik hati akan membantumu. Jadi kau banyak utang padaku."
***
"Maaf pak, untuk hari ini saya izin untuk tidak masuk karena ada hal mendadak. Baik, terima kasih banyak"
Tut!
Panggilan ponsel tertutup
Saat ini Kalea telah berada di sebuah salon mewah langganan Zeline. Gadis pirang itu sedari tadi menariknya ke sana ke mari, pakaian, tas dan sebagainya yang cocok untuk dirinya. Ia takjub pada Zeline karena saat mengambil pakaian sama sekali tak melihat tag harga dan hal itu adalah salah satu impian kecil Kalea. Walaupun saat ini ia sungguh tak enak hati karena barang-barang yang menempel pada tubuhnya saat ini adalah pemberian Zeline dan harganya tidak mungkin murah seperti yang ia miliki di rumah.
Untuk rencana dadakan ini pun Kalea sudah meminta izin karena tidak bisa masuk bekerja pada atasan restoran tempat ia bekerja. Ia sendiri sangat yakin akan diizinkan karena memang selama ini selalu masuk bekerja.
"Buat dia cantik tapi tetap terlihat natural, jangan terlalu menor. Oh iya, luka di dahinya harus tertutup," perintah Zeline pada salah satu pekerja salon.
"Bagaimana dengan freckles-nya, Nona?"
Zeline menurunkan majalah fashion-nya. "Tutupi saja."
Setelah menunggu sekitar satu jam, riasan Kalea selesai dengan hasil yang memuaskan. Kalea bahkan tak percaya sosok di depan cermin itu adalah dirinya. Luka dan freckles di pipinya kini telah menghilang. Rambut lurus yang selalu ia kuncir kuda, kini terganti dengan rambut bergelombang yang terurai dengan indah.
Tak mau berlama-lama, Zeline segera membayar dan langsung menarik Kalea lagi untuk pergi menemui pria sugar daddy-nya itu.
***
Jam tujuh tepat mereka telah berada di sebuah restoran bintang lima, dan ini pertama kalinya Kalea menginjakkan kakinya ke restoran mewah seperti ini. Restoran tempat ia bekerja tentu saja sangat berbeda jauh. Sosok yang ditunggu pun belum menampakkan batang hidungnya, jantung Kalea sejujurnya sedikit berdebar karena ia tidak tahu seperti apa sosok pria yang akan ia temani ke depannya.
"Haah ... lama sekali manusia itu," gerutu Zeline kesal.
"Ini baru sepuluh menit kita menunggu, mungkin macet," sahut Kalea menenangkan.
"Oh, itu dia."
Kalea menoleh ke arah Zeline yang mengangkat tangannya ke arah seseorang, lalu beralih menatap pria tersebut yang semakin mendekat ke meja yang mereka tempati.
Pria tersebut memeluk Zeline dengan santai, setelahnya menatap Kalea dan memeluknya. Walaupun Kalea sedikit kaget, tubuhnya seakan tersetrum ketika bersentuhan dengan pria tampan di depannya ini.
"Maaf lama, rapatku baru saja selesai."
"Ya ya, tak masalah. Kalau begitu aku to the point saja. Arthur, ini teman kampusku yang kuceritakan, Kalea Orlin Lovaata, dan Kalea ini Arthur Jefferson pria yang akan kau temani," ujar Kalea memperkenalkan mereka dengan asal. Arthur tersenyum kikuk mendengarnya, Kalea bahkan mengerjapkan netra hazel-nya.
Zeline menatap jam yang melingkar ditangannya, "Kalau begitu aku pamit duluan karena ada urusan lagi. Kalian kutinggal tidak apa-apa, kan?"
Netra Kalea membulat seraya menoleh ke arah Zeline, sungguh gadis ini akan langsung meninggalkannya? Yang benar saja, ia tidak mau hanya berduaan langsung dengan pria ini.
"Kau sungguh akan pergi?" tanya Arthur dengan alis mengkerut.
"Tentu saja aku akan pergi, tidak mungkin aku akan terus disini, bukan?"
"Ya, tapi—"
"Sudah ya, good luck kalian berdua!" pamit Zaline setelah menepuk pundak Kalea dan Arthur bergantian memberi semangat.
Kini hanyalah sisa mereka berdua, dengan penuh kecanggungan.
Kalea bahkan tak berani menatap pria di depannya, auranya begitu menakutkan. "Kita makan dulu, perkenalan lanjutnya bisa kita lakukan di hotel," ujar Arthur membuat Kalea langsung menatap pria tampan tersebut.
Hotel?
Tak ada kosakata tersebut di kesepakatan ia dengan Zeline! "Hotel? Kenapa hotel?"
Kali ini Arthur yang heran, "Ya ... karena kita akan melakukannya?"
"Melakukan apa? Bukankah aku hanya menemanimu di mall saja? Seperti membeli barang atau semacamnya."
"... hah?"
"Eh?"
Mereka terdiam kembali mencerna perkataan masing-masing. Arthur mencaci maki Zeline dalam hati, ia memang sudah curiga pasti ada sesuatu yang gadis itu sembunyikan walaupun di club menceritakan kronologisnya dari awal. Kalau seperti ini jadinya, mereka malah seperti menipu gadis polos dan menariknya ke jurang kemaksiatan.
Arthur kembali menatap netra hazel Kalea, walaupun perkataan setelahnya akan membuat ia merasa bersalah tetapi ini memang harus diluruskan. Pria itu menarik napas panjang, sebelum berkata, "Begini—siapa namamu tadi?"
"Kalea, Kalea Orlin Lovaata."
"Baik, begini Kalea, aku bukan meruntuhkan ekspetasimu atau semacamnya. Tapi apa kau tahu, kau nanti akan menjadi apa?"
"Menjadi ... apa?"
"Apa kau tahu sugar daddy atau sugar baby?"
Kalea mengerjap bingung. "Apa itu?"
Brengsek Zeline ... harus berapa kali ia menjelaskan pada temannya ini ....
"Kau bisa mencarinya dulu di internet," ujar Arthur seraya mengurut dahinya yang kian pening. Kalea langsung saja menuruti perintah Arthur, setelah mendapatkan apa yang ia cari, netra membulat dan mulut menganga yang ditutup dengan telapak tangan adalah reaksi pertama yang Arthur lihat.
"Simpanan om-om yang telah menikah dan memiliki anak?!" Kalea melirik ke arah Arthur tak percaya.
"Aku belum menikah!"
"O-oh ... Lalu ini bagaimana?"
"Ya seperti itu adanya. Kau akan mendapatkan uang, dan aku mendapatkan kepuasanku. Aku tidak akan puas hanya ditemani ke mall atau semacam itu saja, bukan?"
Kini Kalea mengangguk pelan tanda mengerti.
Melihat gadis di depannya ini lesu bagaikan tak diberi makan sepuluh windu membuat Arthur tak tega, ia menghela napasnya berat. Mengeluarkan secarik kertas yang telah ia persiapkan sebelumnya. "Untuk hari ini kita tidak perlu ke hotel, sepertinya kau mengalami syok berat setelah mengetahui kebenarannya. Kau bisa membaca ini dulu." Arthur menyodorkan kertas tersebut.
"Ini akan menjadi kontrak kita, kau tidak perlu menyetujui hari ini. Santai saja, tanyakan saja dulu apa yang membuatmu penasaran," lanjutnya.
"Apa aku boleh tahu berapa uang yang akan kudapatkan?" tanya Kalea to the point.
"Berapa pun yang kau inginkan. Biaya kuliahmu, aku akan membiayai itu."
"Tidak perlu, aku kuliah mendapatkan beasiswa gratis," ujar Kalea sedikit membuat Arthur terkesan.
"Aku akan memberikanmu apartemen mewah, pakaian dan sebagainya. Apa pun yang kau inginkan, aku akan berikan." Perkataan Arthur bukannya membuat Kalea tergiur, ia malah ragu. Kalea menyipitkan netra kucingnya.
"Uang tersebut sungguh milikmu? Kau tidak meminjamnya ke bank atau sebagainya?"
Pertanyaan Kalea sukses membuat Arthur tersedak Whiskey yang ia minum. Sungguh tak terduga.
"Wah ... kau meragukanku? Kau tidak tahu aku siapa?" Arthur sangat tak terima, bahkan gadis didepannya ini tidak mengetahui dirinya siapa. "Kau bisa cari siapa Arthur Jefferson di ponselmu."
Kedua kalinya ia menuruti perintah Arthur, layarnya menampilkan bahwa pria di depannya ini adalah pemilik perusahaan IT dan memiliki cabang di mana-mana. Setelah mengetahui informasi tersebut, ia kembali mengunci ponselnya. "Aku percaya," ujar Kalea dengan tatapan datar. "Ini ... masih bisa kupikirkan, kan?"
Arthur tersenyum, meletakkan gelas kosongnya. "Tentu saja, tapi aku tak bisa menunggu lama. Kuberikan waktu tiga hari."
Kalea mengangguk, jemari tangannya meraih pisau dan garpu, mulai memotong steak lezat yang sedari tadi ia abaikan.
Mereka kini sibuk dengan kegiatan makannya tanpa berbicara, pikiran mereka sama- sama berkecamuk.
Arthur mengelap mulutnya dengan sapu tangan yang tersedia, tanda ia telah selesai dengan makan malamnya. Disusul oleh Kalea, ia tak tahu setelah ini apa yang akan mereka lakukan, sama sekali tak ada perkiraan.
"Kalau begitu hari ini aku akan mengikuti ekspetasimu, temani aku berbelanja," ujar Arthur membuka suara lagi setelah mereka diam seribu bahasa. Setelah membayar tagihan restoran, ia menarik lengan Kalea untuk meninggalkan tempat tersebut menuju tempat lain. Kali ini benar-benar sesuai dengan ekspetasi Kalea. Ia menemani Arthur membeli jas, sepatu dan sebagainya yang pria itu butuhkan. Walaupun ia hanya mengikuti dari belakang seperti anak bebek mengikuti induknya. Arthur bahkan tak meminta bantuan yang mana yang cocok untuk pria itu.
Tumit kakinya mulai terasa sakit, Kalea izin untuk duduk di sofa yang memang dikhususkan untuk menunggu. Ia melepas sepatu haknya untuk melihat kondisi kakinya saat ini, dan benar saja memerah karena lecet. Kalea mendesis menahan sakit, seharusnya ia tidak memaksakan apa yang tidak biasa untuknya.
"Kakimu kenapa?"
Kalea mendongak mendapati Arthur yang kini menatap lurus ke kakinya, "Oh ... tidak apa-apa," jawab Kalea seraya memakai kembali sepatu haknya.
"Tidak perlu dipaksakan." Arthur berjongkok tepat didepan Kalea, melepaskan kedua sepatu hak tinggi yang membaluti kaki indah gadis itu. "Kau bisa berdiri?"
"B—bisa." Napas Kalea tercekat saat Arthur menatapnya, tatapan tajam yang baru pertama kali ia temukan. Kalea tak mau terus terhipnotis oleh pria tampan di depannya, ia sangat sadar dengan pesona tersebut. Kalea mencoba berdiri namun kakinya tak mau diajak bekerja sama dan hampir saja ia terjatuh. Namun, lengan kekar itu telah menahannya. "Sudah kubilang tak usah dipaksakan."
Netra Kalea membulat saat lengan tersebut mengangkat tubuhnya, menggendong ala tuan putri kerajaan. "A—apa yang kau lakukan?"
"Diam saja, anak kecil."
"T—tunggu sebentar! Bagaimana dengan belanjaanmu?"
Arthur melirik kantung belanjaannya. "Pelayan! Simpan belanjaanku, aku akan mengambilnya nanti."
"Baik, Tuan Arthur."
Pria tampan tersebut kembali menatap Kalea dengan santai. "Sudah, kan?" lalu mengeratkan gendongannya, melangkah keluar menuju toko sepatu wanita.
Kalea pening saat Arthur terus menunjuk satu persatu sepatu seakan semua yang ada di toko ini bisa ia beli.
"Aku butuh satu sepatu saja, tidak perlu seluruh barang di sini kau beli, Paman," ujar Kalea sedikit kesal, jari Arthur terhenti lalu menatap ke arah Kalea sama kesalnya,
"Kau bilang aku Paman?" Arthur menjentikkan jarinya ke dahi Kalea, "aku ini Daddy-
mu, walaupun belum resmi."
Ugh, Ia membayangkan akan memanggil pria di depannya ini Daddy saja sedikit menggelikan.
Memang pertama kalinya mereka bertemu, tapi Kalea sudah berani mengomeli pria CEO ini, karena setelah toko sepatu pun, Arthur tak berhenti membelikan ia barang-barang mewah. Bagaimana jika benar-benar mereka terikat hubungan daddy baby apalah itu menurutnya, bisa-bisa harta Arthur terkuras habis hanya untuknya. Walaupun sepertinya mustahil.
Kini Kalea telah berada di mobil sport mewah bersama dengan pemiliknya. Arthur bersikeras untuk mengantarnya pulang, karena memang sudah larut malam.
"Bagaimana kesan pertama bertemu denganku?" tanya Arthur, netranya tetap fokus dengan jalanan didepannya.
"Sungguh gila." Arthur tertawa renyah.
"Aku tertarik denganmu, jadi aku harap kau menyetujui hubungan kita."
Kalea menoleh pada Arthur tak percaya dengan apa yang ia dengar. "Maksudku tertarik sebagai Daddy-mu," lanjut Arthur meluruskan. Tak mau Kalea salah paham ke arah lain.
Mobil berhenti sesuai arahan Kalea, ia tak mau terlalu dekat dengan rumahnya karena akan sangat mencurigakan. "Terima kasih untuk hari ini, aku akan sangat-sangat memikirkan kontrak tersebut," ujar Kalea.
Arthur terkekeh seraya menganggukan kepalanya, tangannya terulur ke puncak kepala Kalea, mengelusnya dengan lembut. "Kalau begitu sampai nanti, Baby."
"Um ... ya ... Arthur?"
"Panggil aku Daddy."
"... nanti saja." Kalea langsung membuka pintu mobil pamit pulang meninggalkan Arthur yang terus tertawa karena berhasil membuat Kalea menjadi kikuk.
Sepertinya Arthur mendapatkan mainan menarik.