"Untuk hari ini kelas kita akhiri, jangan lupa tugas minggu depan. Terima kasih." Kalea menutup kelas yang ia ajar langsung karena salah satu dosen tidak bisa menghadiri kelasnya dan memberikan tanggung jawabnya pada asisten yang tak lain adalah Kalea. Gadis itu merapikan buku-buku yang menjadi materi di kelas tersebut. Ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Dua jam lagi, ia harus berada di tempat kerja yang kedua yaitu restoran keluarga.
Sudah dua hari setelah pertemuannya dengan Arthur, pria itu belum mengirimkan pesan apapun padanya. Kalea tak ambil pusing karena sadar dengan hubungan mereka yang hanya saling membutuhkan di hal tertentu. Ia pun tak akan menyinggung apapun, dan Arthur juga melakukan hal yang sama. Mereka tahu batas, itulah yang Kalea pikirkan sampai saat ini.
Kalea harus segera siap-siap berangkat ke tempat selanjutnya. Setelah ia meletakkan tugas para mahasiswa ke meja dosen, Kalea langsung bergegas menuju halte bus. Tak butuh waktu lama, bus telah datang dan Kalea menaiki bus tersebut lalu duduk di kursi paling belakang. Ia mengeluarkan earphone lalu menyalakan musik untuk menemani perjalanannya. Gadis itu memandang pemandangan jalan yang begitu banyak mobil berlalu lalang. Langit berwarna oranye dan kian menggelap. Namun, Kalea masih tetap beraktivitas tanpa kenal lelah dan waktu. Demi menghidupi seorang ibu yang tetap ia sayangi meskipun perlakuannya pada Kalea berbanding terbalik dengan apa yang selalu ia usahakan.
Butuh waktu satu setengah jam Kalea sampai di tempat restoran itu. Ia langsung berlari kecil menuju pintu belakang restoran dan menyapa para karyawan di sana.
"Hai, Lea! Kau sudah sampai?" tanya salah satu pelayan yang berprofesi sama dengannya. Kalea mengangguk pelan seraya tersenyum tipis.
"Ya, sepertinya hari ini tidak begitu ramai," balas Kalea. Ia mengedarkan pandangan pada meja-meja yang tidak begitu penuh oleh pelanggan.
"Kau seperti baru saja bekerja di sini. Restoran akan ramai saat di malam hari, artinya saat kau akan bekerja dari sekarang, haha!" ujar temannya itu seraya tertawa sedangkan Kalea tersenyum kecut. Padahal hari ini ia merasa sudah sangat lelah dan berharap restoran sedikit longgar oleh pengunjung. Namun, harapannya akan pupus setelah temannya itu menyadarkan akan fakta tersebut.
"Lea! Akhirnya kau sudah sampai! Ayo, ke loker! Kita harus bergantian," ajak seorang perempuan bersurai pendek lalu menggandeng lengan Kalea pergi menuju loker karyawan.
Kalea mulai mengganti pakaiannya dengan seragam pelayan. Ia pun sedikit berdandan dan menyemprotkan parfum sedikit pada tubuh dan pakaian tersebut. Membuat temannya itu sedikit tak percaya dengan apa yang dilihat, karena Kalea tidak pernah melakukan hal tersebut selama ini.
"Tidak biasanya kau berdandan, Lea."
Seketika Kalea terdiam, ia menoleh pada temannya itu dengan kikuk. "I—itu ... apa terlihat aneh, Quan?" tanya Kalea sedikit takut.
"Tidak! Sama sekali tidak! Aku hanya sedikit terkejut karena hal itu, haha! Aku pikir, kau juga semakin cantik," puji Quan tulus. Ia mengendus parfum yang melekat di tubuh Kalea membuat gadis bermata kucing itu tak nyaman. "Parfummu sangat harum, parfum apa yang kau pakai?"
"Hanya ... parfum biasa," jawab Kalea seraya meletakkan parfum tersebut ke tasnya. Namun, Quan sudah terlanjur melihat dan mengambil alih parfum itu dengan tidak sopan.
"Bukankah merk ini lumayan mahal? Aku tidak heran jika wanginya tercium seperti wanita berkelas!" Quan membuka tutup parfum itu lalu menyemprotkannya di pergelangan tangannya. Kalea hanya mengerjap, bingung harus merespon apa. "Kau pasti sangat berusaha keras menabung untuk mendapatkannya, ya?" tebak Quan seraya tersenyum dan menyerahkan kembali parfum tersebut kepada pemiliknya.
"B—begitulah ...," jawab Kalea sekenanya. Ia tentu berbohong, tidak mungkin mengatakan fakta sejujurnya apa yang ia alami akhir-akhir ini. "Q—quan, lebih baik kau segera pulang. Pasti kau lelah sekali hari ini," ujar Kalea mengalihkan topiknya.
Quan mengangguk tanpa curiga. "Kau benar, aku ingin segera cepat sampai ke rumah dan menyantap masakan ibuku," curhat Quan seraya memakai pakaiannya. Ia menepuk perutnya yang rata dengan wajah memelas. "Aku lapar sekali."
Kalea hanya tersenyum getir, ia sedikit iri karena ada seseorang yang menunggu kepulangan Quan bahkan temannya bisa menyantap masakan seorang ibu. Kalea bahkan sudah lupa merasakan hal itu, sudah sejak lama ia tidak memakan masakan dari ibunya sendiri. Gadis itu menutup pintu lokernya, ia memandang wajahnya di cermin kecil yang memang tertempel di pintu loker. Meskipun hanya memoles liptint di bibir dan menebalkan alisnya sedikit, Kalea sudah nampak cantik. Cantik yang natural, tetapi ia tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya yang sedih akan semua masalah yang menimpa dirinya.
"Aku duluan keluar, ya! Lebih baik kau juga menyusul, kau tahu sendiri kan sifat manager seperti apa?"
"Aku mengerti," balas Kalea seraya tersenyum pada temannya agar tidak khawatir. Setelah itu Quan keluar dari ruangan meninggalkan Kalea sendirian.
Setelah Quan pergi, Kalea menunduk, ja menghela napas berat lalu memaksakan untuk tersenyum karena pekerjaannya yang menomor satukan pelayanan yang ramah pada pelanggan. Apapun masalahnya, ia tidak boleh membawa perasaannya ke dalam pekerjaan. Sama halnya dengan menjadi sugar baby untuk Arthur. Hubungannya bukanlah hubungan yang melibatkan cinta sesungguhnya. Melainkan mencari keuntungan satu sama lain. Kalea tidak boleh terbawa perasaan pada pria tampan itu, apapun yang terjadi.
Setelah merasa sudah siap untuk bekerja, Kalea keluar dari ruangan karyawan dan mulai untuk bekerja. Berjalan ke sana ke mari melayani para keluarga yang datang ke restoran tersebut. Dan benar saja, semakin malam, pelanggan semakin banyak yang datang hingga membuat semua karyawan kewalahan. Tak jarang, bahkan Kalea mendapat pelecehan seksual dari para pria hidung belang.
"Baik, saya ulangi pesanannya ...," Kalea menahan diri untuk tidak menepis tangan-tangan kurang ajar yang meraba pahanya. Padahal pakaian pelayan di restoran tempat ia bekerja bukanlah rok mini ataupun baju yang memperlihatkan belahan dada. Namun, tetap saja ia selalu diperlakukan seperti itu.
"Ah, tolong bawakan vodka untuk kami," pinta pria yang berusia sekitar empat puluhan itu. Salah satu teman dari pria hidung belang yang masih asik meraba paha Kalea.
"Mohon maaf, kami tidak menyediakan alkohol," ujar Kalea berusaha untuk tetap sopan.
Pria itu tertawa remeh, seraya memandang bergantian dengan keempat teman-temannya itu. "Sayang sekali. Padahal kami ingin meminum bersama dengan Nona."
Kalea hanya tersenyum tipis meresponnya, padahal di dalam hati ia sudah mengumpat berkali-kali pada mereka. "Baik, jika tidak ada lagi, mohon ditunggu sebentar pesanannya," pamit Kalea cepat-cepat dan melepas tangan pria sialan itu dari pahanya. Ia segera berjalan menuju para chef dan memberikan catatan pesanan tersebut. Ia tidak bisa beristirahat barang sedetik pun, karena pasti ada lagi yang mengacungkan tangan untuk memesan makanan maupun permintaan lainnya.
Kalea sudah kebal dengan tatapan genit para pria kepadanya. Walaupun restoran ini adalah restoran keluarga, memang tak membuat orang-orang yang berprilaku bejat melakukan sesuatu yang menjijikan kepada para pelayan. Dan naasnya, Kalea pun tak bisa melaporkan hal ini pada siapa pun.
Ia pernah dengar, daripada kau melapor, lebih baik berhenti bekerja di sini karena tidak akan ada yang memihakmu. Miris sekali, tetapi Kalea pun belum sanggup untuk berhenti dari restoran tersebut karena terhalang finansial.