Arthur bangun dari tidurnya, ia memegang kepala yang masih sedikit pening karena bekas mabuk belum sepenuhnya hilang. Ia mengedarkan pandangannya karena merasa ini bukan tempat yang selalu ia tuju. "Ugh, aku di—" Arthur mengerjap ketika baru sadar ia berada di sebelah seorang wanita.
Terlebih wanita yang tidak memakai busana dan menatapnya dengan mata yang berlinangan air mata. Arthur masih mencerna apa yang terjadi, ia melihat dirinya pun yang bertelanjang dada dengan resleting celana yang terbuka. Dua menit ia terdiam, menatap Kalea dan dirinya secara bergantian.
"Kalea, apa aku hanya mimpi? Ini tidak seperti yang kupikirkan, kan?" tanya Arthur seraya tersenyum hambar. Namun, Kalea bergeming. Ia memalingkan wajahnya ke samping. Arthur menelan salivanya dengan kasar. "Kau tidak benar-benar telanjang, kan?" Arthur bertanya seraya membuka selimut yang sedari tadi menutupi tubuh gadis itu. Kalea sontak berteriak karena aksi spontan pria itu, netra Arthur membulat sempurna karena ternyata tubuh Kalea sungguh tidak dibaluti dengan pakaian, bahkan satu helai benang pun tidak.
"Kalea—"
"Aku tidak ingin melihatmu mabuk di hadapanku lagi," potong Kalea seraya mengeratkan selimutnya. Ia tak sudi untuk menatap pria itu.
"Tunggu, apa kita benar-benar melakukannya? Aku sudah membuatmu tidak virgin?" Arthur masih sedikit tidak menyangka dan berpikir ini masih mimpi.
"Menurutmu? Sudahlah, kau pergi saja. Aku mau ke kamar mandi," usir Kalea dengan ketus.
"... kau marah padaku?" Lagi-lagi Arthur bertanya retoris membuat Kalea semakin kesal. Kenapa pria di sampingnya ini yang semalam baru saja melakukan hal yang menyerempet ke arah pemerkosaan kini terlihat bodoh? Sepertinya tingkat kebencian Kalea pada orang-orang yang mabuk semakin meningkat pesat. "Aku minta maaf," ujar Arthur dengan wajah sendu, ia memegang pundak Kalea yang langsung ditepis oleh gadis itu.
"Pergilah, aku ingin keluar."
"Kalea ..., kau benar-benar marah padaku? Aku tidak sadar jika aku datang ke sini dan melakukan ...." Arthur tidak melanjutkan kata-katanya karena merasa tidak enak. Ia tentu takut karena Kalea tidak membalas perkataannya. "Lea ... apa yang harus kulakukan agar kau tidak marah padaku?" cicit Arthur kini seperti anjing yang terbuang dan di simpan di dalam kardus menunggu seseorang yang baik hati untuk merawatnya.
"Kembalikan diriku yang sebelumnya," jawab Kalea masih membelakangi Arthur.
Dahi Arthur berkerut, sedikit tidak mengerti apa yang dikatakan gadis itu. "Apa yang kau— oh. Itu ... tidak mungkin bisa ..., kan?" sahutnya dan terus memohon agar Kalea menoleh padanya. Ia pun tidak tahu kenapa begitu tidak ingin jika Kalea marah dan bersikap dingin padanya.
Kalea menghela napas berat, ia tidak terus meratapi nasibnya. Bagian bawahnya masih terasa sakit dan ia ingin sekali ke kamar mandi. Namun, Arthur masih tetap berada di satu ranjang yang sama dan terus merajuk padanya. Sungguh, Kalea sudah tidak peduli apa pun lagi. Lagipula, pada dasarnya ia pun akan melakukan hubungan seperti itu dengan Arthur dan mungkin tadi malam sudah menjadi waktunya. Meskipun dengan cara yang tidak sadar.
Kalea terkejut ketika Arthur kini berada di atasnya. Tatapan pria itu begitu serius meski raut wajah sedihnya masih ada di wajah tampan pria dengan tahi lalat di bawah matanya. "Kalea, jangan terus mendiamiku," protes Arthur.
Jantung Kalea kembali berdebar, ia tidak bisa berlama-lama membalas tatapan Arthur. Gadis itu memalingkan wajahnya kembali tetapi Arthur memegang dahunya dan memaksa gadis itu kembali menatapnya. "Aku serius," lanjut pria itu.
"L—lepas, aku ingin ke kamar mandi."
"Silahkan."
Kalea merengut kesal, Arthur sungguh tidak peka. "Kau harus pergi."
"Untuk?" tanya Arthur dengan bodohnya. Meskipun sebenarnya ia tahu apa maksud perkataan gadis yang terpaut usia sepuluh tahun di bawahnya.
Kalea malas untuk berdebat dengan Arthur. Membuang tenaga, dan pria itu memiliki seribu alasan dan perkataan yang dapat membalikkan ucapannya. "Kalau begitu minggir dari hadapanku. Aku ingin bangun," ujar Kalea tidak ada sopan-sopannya dengan pria yang berusia jauh di atasnya dan seseorang yang menjadi sugar daddynya itu.
Arthur menurut, ia kembali ke posisi semula. Pria itu mengerjap ketika Kalea bangun dan pergi ke kamar mandi dengan dibaluti selimut putih. Kalea seperti tidak ingin memperlihatkan tubuh indahnya pada Arthur. Pria itu terkekeh pelan, dan menyenderkan tubuhnya ke punggung ranjang. Terdiam dan berusaha mengingat apa yang terjadi di malam tadi. Ia hanya mengingatnya samar-samar dan sedikit menyesal. "Sial, aku tidak bisa mengingat dengan jelas ekspresi bagaimana yang Kalea tunjukkan saat aku menjamah tubuhnya," gumam Arthur seraya berdecak kesal.
Pria brengsek memang, yang ia sesalkan ternyata hal seperti itu.
Arthur bangun dari ranjang lalu berjalan-jalan di sekitar kamar. Ia tertegun saat melihat jendela yang tidak tertutup gorden dan pakaian mereka yang berserakan di atas lantai. "Aku sungguh melakukannya, huh," ujarnya seraya memungut pakaian-pakaian tersebut. Ia terdiam dan memperhatikan celana dalam Kalea yang ikut tergeletak di lantai. Benda itu berwarna merah muda dengan pita kecil di bagian depan. "Lucu sekali." Arthur sedikit kaget ketika benda itu direbut dari tangannya. Ternyata Kalea sudah keluar dari kamar mandi.
"J—jangan sentuh barangku," protes Kalea, gadis itu masih terbalut dengan handuk dan tetesan air di surai brunettenya terus menetes. Arthur tersenyum kecil, tanpa basa-basi dan tidak mempedulikan Kalea yang masih marah padanya, ia menggendong gadis itu dan membawanya ke ranjang. "L—lepaskan aku!"
"Aku lepaskan. Jangan marah-marah begitu nanti kau cepat tua," sahut Arthur seraya menyentuh hidung mancung Kalea.
"Aku tidak marah."
Arthur tersenyum miring. "Memangnya aku percaya?"
"Sudahlah, aku ingin memakai baju," ujar Kalea masih bernada ketus dan sebisa mungkin tidak menatap mata tajam milik pria itu.
"Kau diam di sini, biar aku yang ambil."
"A—apa?! Tidak perlu!" tolak Kalea dengan cepat.
"Jangan menolak atau aku akan melakukan hal serupa seperti malam tadi," ancam pria itu langsung membuat Kalea bergeming. Arthur tersenyum miring karena gadis manis tetapi kaku itu menjadi penurut hanya karena kata-katanya. Ia lalu berjalan menuju walk in closet milik Kalea dan membawa beberapa potong pakaian yang ia pilih sesuka hati. Setelah itu, Arthur kembali dan memberikannya pada Kalea. "Pakailah."
Kalea memandang datar pada pakaian yang dibawa oleh pria itu. Ia membuka lebar-lebar baju berwarna merah yang pendek dengan bagian dada yang sangat terbuka dan dapat memperlihatkan dada dan perutnya lalu celana pendek yang bahkan hanya sedikit beberapa cm dari pantatnya, mungkin. Kalea bahkan merasa tidak memiliki baju seperti ini. Gadis itu semakin berekspresi jijik ketika memegang pakaian dalam berwarna hitam yang benar-benar sangat terbuka dan memiliki rumbai di sekelilingnya. Kalea menoleh pada Arthur dengan tatapan tajam. "Apa maksudmu membawa pakaian seperti ini?"
"Kenapa? Pakailah, sangat cocok untukmu," jawab Arthur seraya tersenyum manis tanpa berdosa sama sekali. Empat buah siku-siku muncul di dahi Kalea, pria itu terus saja membuatnya kesal.
Kalea melempar pakaian yang menurutnya senonoh itu. "Mana mungkin aku memakainya!"