Arthur melepas ciuman itu, ia mengerjap ketika melihat wajah Kalea yang berekspresi datar. Padahal sebelumnya Kalea begitu manis dengan rona merah di pipinya. Ia pikir, gadis itu berdebar kencang karenanya.
"Kau senang sekali menciumku?" tanya Kalea tanpa malu.
Arthur tersenyum manis hingga matanya ikut tersenyum bagai bulan sabit. "Aku suka."
Kalea hanya geleng-geleng kepala lalu berniat untuk bangun tetapi lagi-lagi Arthur menahannya. Sampai akhirnya gadis itu kesal. "Jika kau terus menahanku, aku akan telat ke kampus," ujar Kalea seraya mendelik kesal, lama-lama ia jengah dengan sikap Arthur.
"Jam berapa kelasmu dimulai?"
"Jam sepuluh."
"Masih ada waktu tiga jam, kenapa kau buru-buru sekali?" tanya Arthur heran, lengannya masih melingkar di pinggang ramping Kalea. Gadis itu menepuk pelan tangan Arthur ketika semakin menjalar ke atas menuju dadanya.
"Tidak ada yang salah dengan berangkat lebih awal," ujar Kalea seraya menahan lengan Arthur agar tidak nakal.
"Lebih baik di sini dulu bersamaku, kita tidak banyak menghabiskan waktu bersama," balas Arthur.
"Kenapa? Kau menyesal menghamburkan uang untuk gadis sepertiku? Terlebih lagi kita jarang bertemu," tuduh Kalea. Ia meringis kesakitan ketika Arthur menyentil dahinya.
"Selalu saja berpikir negatif tentangku," dengus Arthur. Pria itu bangun dan memeluk Kalea dari belakang. Membenamkan wajahnya pada leher gadis itu. Sesekali ia mencium dan mengigit leher Kalea membuat gadis yang memiliki mata seperti kucing itu meronta.
"Arthur, geli."
"Hm? Kau tidak menyukainya?" tanya Arthur dan kembali mencium leher gadis itu.
"Jangan buat kiss mark di sana," pinta Kalea. Ia tidak ingin ketika berangkat ke kampus ada tanda merah di lehernya dan membuat orang-orang berpikir aneh padanya. Gadis itu mengigit bibir bawahnya, menahan agar tidak mengeluarkan suara desahan yang pasti akan membuat Arthur semakin menjadi-jadi. Kalea merasa ada sesuatu yang semakin membesar di belakangnya, ini tidak bisa dibiarkan. Ia bisa telat ke kampus jika terus seperti ini.
"Kau dapat merasakannya?" bisik Arthur dengan suara berat dan serak. Tangannya menyelusup masuk ke dalam piyama Kalea dan mulai meremas dada gadis itu.
"Ah ...." Kalea dengan segera menutup mulutnya karena kelepasan mendesah akibat sentuhan pria itu.
"Jangan ditahan, aku suka desahanmu," ujar Arthur seraya membuka seluruh kancing piyama Kalea. Namun, ketika kancing terakhir hampir saja terlepas, Kalea menahan tangan itu. Ia menggeleng lemah.
"Aku harus mandi," ujar Kalea kembali menutup dadanya yang hampir terbuka sempurna karena ulah Arthur.
"Kalau begitu ayo mandi bersama," ajak Arthur nakal.
"Tidak," tolak Kalea yang langsung membuat pria itu kecewa. Kejantanan Arthur pun tidak sekeras tadi akibat penolakan mentah-mentah dari gadis itu.
"Kau membuat milikku turun lagi," ujar Arthur seraya mengelus miliknya dari luar celananya. Wajahnya begitu sedih karena tidak mendapat apa yang ia inginkan. Kalea melirik bagian bawah pria itu, dan langsung memalingkan wajahnya. Terlalu vulgar jika ia terus melihat itu. "Lea," panggil Arthur dengan suara memelas.
"Bukankah kau sudah melakukannya dengan wanita kemarin? Apa kau tidak puas?" tanya Kalea heran.
Arthur menggeleng, kini ia seperti anak kecil yang tidak mendapat mainan kesukaannya. "Aku belum melakukannya denganmu," jawabnya sangat santai.
"Sebentar, aku ingin tanya." Kalea berbalik dan kini berhadapan dengan Arthur. Pria itu menarik lengannya untuk menyentuh kejantanan Arthur tetapi Kalea langsung menepisnya. Manusia ini benar-benar sangat mesum.
"Tanya apa?"
"Kau selalu menggunakan pengaman, kan? Ketika berhubungan intim."
Arthur terdiam sejenak, seperti sedang mengingat-ingat. Kalea menjadi was-was. Apa yang terjadi padanya jika Arthur selalu melakukan sex bebas tanpa pengaman dan ternyata pria itu mengidap penyakit hiv atau penyakit seksual lainnya? "Ka—kau tidak memakainya?" tanya Kalea lagi karena Arthur masih belum menjawab.
Arthur mengangguk tetapi terlihat masih kurang meyakinkan. "Aku pakai. Tapi, saat aku mabuk sepertinya tidak."
Shit, ia sadar. Arthur mabuk dan tidak sadar lalu melakukan itu dengannya. "Apa itu pertama kalinya?"
"Ya, tenang saja. Itu pertama kalinya aku mabuk sangat berat dan kelepasan sampai seperti itu. Aku selalu menggunakan pengaman dan memeriksa ke dokter setiap bulan," jelas Arthur. Ia paham Kalea takut jika dirinya memiliki penyakit seksual menular. Pria itu mencium sekilas bibir Kalea lalu tersenyum miring. "Aku bersih, Lea. Hanya denganmu aku melakukannya tanpa pengaman saat itu. Jadi, kau lebih suka aku pakai atau tidak?" goda Arthur.
Kalea memalingkan wajahnya. Jika Arthur sedang tidak waras, ia tidak boleh ikut gila seperti pria itu.
"Lea, karena aku belum puas, jadi ayo kita lakukan satu jam sebelum kau pergi ke kampus," ujar Arthur seraya menarik pinggang gadis itu untuk semakin dekat dengannya.
"Aku akan telat," sahut Kalea dengan wajah datar.
"Aku akan mengantarmu."
Kalea menghela napasnya, ia mengangguk lemah. Arthur tersenyum lebar dan mulai melancarkan aksinya. Ia membaringkan gadis itu, Arthur membuka kaosnya dan nampaklah tubuh indah dan kekar milik pria itu. Arthur semakin mendekatkan wajahnya pada Kalea. Ia menjilat bibir seakan ia akan menyantap makanan yang lezat.
"Lakukan dengan cepat," ujar Kalea seraya memegang bahu pria itu.
"Yes, Baby."
***
Arthur benar-benar mengantarkan Kalea ke kampus. Meskipun bagian selangkangannya masih terasa sakit, ia tetap harus hadir kelas. Selama perjalanan, Arthur terus menggenggam lengan Kalea, ia hanya melepasnya saat melakukan rem tangan. Tidak bisa dipungkiri memang Arthur sering kali melakukan sesuatu yang manis. Setelah melakukan hubungan intim pun, Arthur menggendong Kalea ke kamar mandi. Pria itu sangat tahu bagaimana memperlakukan wanita dengan lembut.
"Masih sakit?" tanya Arthur.
"Jangan tanya," jawab Kalea sekenanya. Arthur mengelus punggung tangan Kalea dengan lembut menggunakan ibu jarinya.
"Aku mengirim uang padamu, pakai uangnya jangan disimpan sampai membusuk di sana," ujar Arthur.
"Kau mengirim lagi? Bukankah kau bilang sebulan sekali?" tanya Kalea bingung.
"Tidak apa-apa. Lagipula tidak banyak, untuk bersenang-senang dengan temanmu," balas Arthur santai. Pandangannya tetap fokus ke depan.
Akhirnya mereka telah sampai di area kampus Kalea. Arthur sengaja tidak menghentikan mobilnya tepat di gerbang. Ia menepikan mobil di tempat yang lumayan sepi. Kalea sudah curiga, apa lagi yang ingin Arthur lakukan padanya.
Arthur menoleh pada Kalea dengan senyum tampan yang menghiasi wajahnya. "Sudah sampai."
Kalea memandang pria itu sedikit curiga, ia mengangguk pelan. "Terima kasih sudah mengantar. Aku kuliah dulu," ujar Kalea seraya melepas seat beltnya dan mulai membuka pintu mobil. Namun, Arthur menahan dan menarik lengan Kalea sampai gadis itu kembali menoleh pada Arthur. Pria yang memiliki tahi lalat di bawah matanya itu dengan cepat mencium bibir Kalea.
"Sepertinya aku akan menambah peraturan baru," ujar Arthur seraya memegang dagu Kalea. Netranya masih memandang bibir merah gadis itu.
"Pe—peraturan apa lagi?"
"Setiap kita bertemu dan berpisah, kita harus berciuman," jawab Arthur seraya tersenyum sangat manis.
Kalea menggigit bibir bawahnya, sedikit salah tingkah. Ia menjauhkan wajahnya dari pria itu. "Se—sesukamu saja, bye," pamit Kalea dan langsung cepat-cepat keluar dari mobil. Ia berjalan sedikit tergesa-gesa dan beberapa kali merutukkan nama Arthur.
Lama-lama ia merasa menyesal menjalani sugar dating dengan Arthur. Karena pria yang memiliki nama lengkap Arthur Jefferson itu sangatlah mesum dan hyper. "Pria gila," gumam Kalea seraya menggeleng kepalanya cepat.