Kalea menggeliat ketika pipinya terus ditepuk beberapa kali. Ia membuka matanya dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah tampan bak pangeran, tidak lain adalah Arthur. Pria itu tersenyum manis melebihi madu dan auranya lebih cerah dibandingkan matahari yang besinar terang.
"Pagi, Sweeatheart," sapa Arthur.
"Pagi ...." Gadis itu bangun dari tidurnya, nyawa Kalea masih belum sepenuhnya terkumpul.
"Segera bersiap-siap, aku telah menyiapkan pakaian untukmu hari ini," ujar Arthur seraya beringsut turun dari ranjang. Pria itu seperti biasa sudah rapi dan harum maskulin yang memenuhi sudut ruangan yang ada di sana. Kalea masih tidak mengerti apa maksud Arthur. Ia masih terdiam melamun, dan kembali menarik selimutnya untuk tidur. "Hei, gadis nakal. Siapa yang menyuruhmu untuk tidur lagi?" tegur Arthur merebut selimut tersebut.
"Memangnya kita mau ke mana? Kau tidak memberitahu apa pun padaku," protes Kalea karena Arthur menganggu jam tidurnya.
"Benarkah? Sepertinya aku lupa," sahut Arthur seraya tersenyum cengengesan. Kalea mendengus kesal. "Kau akan tahu setelah berada di sana. Jadi sekarang kau harus mandi atau kau ingin aku yang memandikanmu?" Arthur menawarkan, senyum nakal sudah terpatri di wajahnya.
Kalea dengan segera turun dari ranjang menuju kamar mandi tanpa menghiraukan godaan pria itu. Arthur hanya tertawa renyah, ia akan menunggu di ruang tengah seraya membaca berita yang muncul hari ini.
Tak lama dari itu, Kalea muncul hanya mengenakan handuk putih yang membaluti tubuh indahnya. "Arthur, kau bilang telah menyiapkan pakaian untukku. Pakaian yang seperti apa?" tanya Kalea.
Arthur memandang Kalea tanpa berkedip, meski sudah mengetahui dengan jelas apa yang ada di balik handuk tersebut tetapi tetap saja membuat Arthur tergoda. Seakan mengetahui apa yang sedang dipikir dan dibayangkan Arthur, Kalea merengut kesal. "Singkirkan otak mesummu itu dan jawab pertanyaanku, Paman," tegur Kalea agar Arthur kembali sadar.
"Paman? Kau memanggilku paman lagi?" protes Arthur.
"Kenapa kau fokus pada hal yang tidak penting sih ...."
"Sekarang kenakan pakaian yang membuatmu nyaman saja, kau akan mengganti pakaian setelah berada di sana" jawab Arthur seraya kembali fokus pada ipadnya. Ia tidak mau terlalu lama memandang Kalea, bisa-bisa ada sesuatu yang bangun dalam dirinya.
Kalea menurut dan kembali ke walk in closet miliknya untuk mengenakan pakaian. Setelah semuanya telah siap, ia menghampiri Arthur. "Ayo."
Arthur mematikan ipadnya dan menoleh pada penampilan Kalea yang sekarang. Gadis itu benar-benar tidak pernah mengecewakannya. "Kau selalu menakjubkan, Lea," puji Arthur, tatapannya belum lepas dari gadis itu. Memandang dari atas kepala hingga flatshoes yang dikenakan Kalea.
"Kau juga," balas Kalea sedikit malu.
"Aku kenapa?"
"Selalu ...." Kalea menggigit bibir bawahnya, ia sedikit tidak sudi jika harus mengakui ketampanan pria itu. Arthur pasti akan semakin besar kepala.
"Aku tampan? Aku tahu itu."
Apa Kalea bilang, Arthur sangat narsis.
***
Kalea tidak menyangka jika Arthur akan membawanya ke sebuah tempat pelatihan berkuda. Olahraga untuk kalangan atas lagi, sebenarnya ada berapa kegiatan mewah yang Arthur lakukan? Arthur menyuruhnya untuk mengenakan pakaian yang ia berikan. Kalea hanya menurut, ia mengenakan pakaian khusus berkuda yang berwarna maroon dan celana hitam yang ketat. Tak lupa sepatu khususnya. Setelah itu ia kembali pada Arthur yang sudah lebih dulu selesai mengganti pakaian.
Arthur tengah berbincang dengan seorang pria yang memiliki jenggot tipis di sekitar rahangnya. "Kemarilah," ujar Arthur menyuruh Kalea mendekat.
"Kekasihmu?" tanya pria itu tetapi Arthur hanya tersenyum dan pria tersebut tak lagi bertanya lebih lanjut.
"Lea, ini temanku." Arthur memperkenalkan mereka satu sama lain.
"Max," ujar pria itu seraya mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
Kalea menerima jabatan tersebut, ia tersenyum tipis. "Kalea."
"Jadi aku mengajaknya untuk mencoba menunggangi kuda. Apa kau bisa memberikan kuda yang cocok untuknya?" pinta Arthur.
"Tentu. Ayo," ajak Max menuju tempat kuda-kuda berada. Lagi-lagi Kalea mendapat hal baru dalam hidupnya. Ia antusias saat masuk ke dalam dan melihat banyaknya kuda yang beraneka ragam.
Sampai mereka berhenti di depan kuda berwarna putih yang sedang makan. Max mengelus kuda itu dengan lembut. "Namanya Elice, dia penurut dan lebih pendiam dari teman-temannya."
"Mirip seperti Lea," gumam Arthur membuat Kalea langsung melirik padanya.
"Tapi dia sedikit sensitif, jadi harus diperlakukan dengan sangat baik dan lembut," lanjut Max. "Kau tertarik menungganginya?" tanya pria itu pada Kalea.
"Eh? Apa ... aku akan baik-baik saja?" tanya Kalea polos membuat Max mengerjap. Ia sedikit takut karena ini adalah pertama kalinya ia akan menunggang kuda. Jujur saja, Kalea menyukai hewan tetapi entah kenapa setiap kali ia mendekat dan ingin menyentuh, hewan-hewan itu selalu takut dan melindungi diri mereka. Pernah saat itu ia ingin menggendong seorang kucing, hewan itu justru mencakar tangannya.
Berkali-kali ia selalu ditolak oleh hewan imut tersebut, membuat Kalea trauma.
Arthur terkekeh geli, ia mengusak surai Kalea yang dikuncir kuda itu. "Selama kau tidak banyak tingkah, Elice akan baik padamu," sahutnya menenangkan.
"... kapan aku banyak tingkah?"
"Karena itu kau tidak perlu takut."
Max tertawa pelan melihat interaksi kedua orang itu. "Kuda sangat tahu niat apa yang ada di dalam hati kita, tenang saja. Meskipun nanti kau terjatuh, ia tidak akan menginjakmu asal kau tidak berdiri di belakangnya. Kemungkinan kau akan ditendang," ujar Max dengan senyum manis. Pria itu mungkin bermaksud untuk menenangkan Kalea, tetapi justru semakin membuat Kalea takut.
Akhirnya Elice lah yang dipilih. Kuda tersebut dikeluarkan menuju arena berkuda. Max tidak mendampingi karena Arthur sendiri yang akan mengajari Kalea. Elice telah siap dengan berbagai peralatan yang sudah menempel di tubuhnya.
"Tidak perlu panik, kau harus tetap tenang saat di atas punggung Elice," ujar Arthur seraya memasangkan helm pada Kalea. Kuda Arthur tidak jauh dari mereka, berwarna hitam pekat dan bernama Nat.
"Kudamu tampan, Arthur," puji Kalea seraya memandang kuda milik Arthur.
"Tentu saja, seperti pemiliknya."
Kalea langsung menyesal memuji pria itu.
"Kau ingin langsung mencoba naik sendiri atau diangkat olehku?" tanya Arthur.
"Mana yang lebih baik?" Kalea bertanya balik.
"Aku akan membantumu naik, setelah itu kau harus belajar naik sendiri," jawab Arthur, ia nampak serius.
"Baiklah. Tunggu, apa aku boleh bertanya sesuatu?"
"Tentu, ada apa?"
"Apa ... kau juga mengajak wanita-wanita lain ke tempat seperti ini?" tanya Kalea sedikit ragu tetapi ia sangat penasaran.
"Tidak pernah, hanya kau yang mendapat perlakuan spesial dariku," jawab Arthur dengan mulut manisnya seperti biasa.
Kalea memandang malas pria itu. "Ya, ya. Aku percaya saja."
"Aku serius. Yang aku lakukan dengan yang lain hanya bermain di ranjang atau menghabiskan uang untuk barang branded yang mereka inginkan," lanjut Arthur. Kalea sedikit terkesan jika memang pria itu berkata apa adanya. Ada rasa sedikit bangga karena hal itu, meski ia tidak boleh terlalu menganggap serius apa yang terlontar dari mulut Arthur.
Arthur mengangkat tubuh Kalea pada pelana yang ada di tubuh Elice. Kalea seberusaha mungkin untuk tenang karena tidak ingin membuat Elice takut padanya.
"Posisikan tubuhmu senyaman mungkin, sebaiknya kau bicara dari hati ke hati dengan Elice," lanjut Arthur.
"Huh? Apa harus?"
Arthur mengangguk.
Kalea mendekatkan wajahnya pada Elice, ia mengelus kuda itu dengan lembut. "Namaku Kalea, senang bisa bertemu denganmu, Elice. Aku berharap kita bisa menjadi partner yang baik dan aku berjanji tidak akan menyakitimu," bisik Kalea pelan. Ia tidak mau Arthur mendengarnya karena sedikit memalukan. Gadis itu berdeham. "Sudah kulakukan."
Lalu Arthur memberitahu apa yang harus Kalea lakukan, ia terus mengatakan untuk jangan ragu dan panik karena Elice pasti akan mengetahuinya. Setelah merasa sudah siap, Kalea mencoba untuk mengajak Elice berjalan. Gadis itu terus berpikir positif untuk mengusir rasa takutnya. Semua terasa berjalan baik-baik saja.
Sampai akhirnya Kalea menjadi panik ketika Elice berjalan semakin cepat dan ia tak sadar merapatkan pahanya lebih kencang membuat Elice pun terkejut dan memberontak. Gadis itu kehilangan keseimbangannya dan terlepas dari tubuh Elice langsung terhempas jatuh ke tanah.
"Lea!" teriak Arthur.