Kalea beberapa kali memperhatikan Zeline, gadis blonde yang selalu sendirian dan sibuk dengan ponsel atau cermin. Mulutnya terasa gatal ingin menceritakan apa yang terjadi akhir-akhir ini pada Zeline. Namun, ia belum memiliki waktu dan kesempatan ditambah lagi Aluna yang selalu bersamanya.
"Lea? Lea!" panggil Aluna karena Kalea tidak merespon apa yang sedang ia ceritakan mengenai kucing kesayangannya yang baru saja melahirkan.
"Y-ya?" sahut Kalea seraya tersenyum kaku.
Aluna menyipitkan matanya, ia berbalik ke belakang penasaran apa yang sahabatnya lihat sampai melamun seperti itu. "Apa yang sedang kau lihat, sih? Serius sekali," tanya Aluna heran. Ia tidak melihat sesuatu yang aneh di sana bahkan pria tampan pun tidak ada.
"Bu-bukan apa-apa. Jadi ada apa dengan kucingmu?" tanya Kalea mencoba alihkan topik lagi.
Aluna mendengus, Kalea benar-benar tidak mendengar ia bercerita. "Kucingku bertelur."
"Oh ... begitu, ya."
Gadis bersurai burgundy itu semakin merengut kesal. "Mana ada kucing bertelur! Otakmu pasti sedang konslet, Lea!"
"Ma-maaf!"
***
Setelah menyelesaikan kelas terakhir, Kalea tidak memiliki agenda penting hari ini. Ia hanya perlu mengerjakan tugas yang deadlinenya masih panjang atau mereview materi untuk ia ajarkan pada kelas yang ia pegang ketika dosen sedang sibuk penelitian, seminar atau semacamnya.
"Lea, apa kau sibuk sekarang? Anak-anak ingin hang out, kau mau ikut?" ajak Aluna, polesan wajahnya semakin mempesona karena perkuliahan telah usai. Sejujurnya, Kalea ingin sekali ikut, karena selama ini ia tidak pernah satu kali pun pergi bermain dengan Aluna atau teman lainnya. Apalagi keadaan finansialnya sudah jauh membaik karena mendapat suntikan dana dari Arthur, tetapi Kalea masih belum berani untuk mengeluarkan uang itu di depan Aluna. Sahabatnya pasti bertanya-tanya, ia sangat tahu bagaimana sifat Aluna. Dia gadis yang penuh penasaran.
Bahkan penampilan Kalea pun tetap seperti biasa saat di kampus karena takut ada yang menyadari perubahannya.
Kalea menggeleng sopan seraya tersenyum simpul. "Maaf, Luna. Banyak yang harus kulakukan," tolaknya tidak enak.
"Ah, benar juga. Aku selalu lupa, maaf!"
"Tidak apa-apa, Luna," balas Kalea seraya terkekeh geli.
"Ingat, jangan terlalu memforsir tubuhmu. Sekali-kali kau harus memanjakan diri entah shopping atau jalan-jalan. Nanti kau bisa stress." Aluna mengingatkan dengan begitu perhatian, ia tidak mau sesuatu yang buruk terjadi pada sahabatnya. Kalea hanya mengangguk dan setelah itu Aluna berlalu bersama anak-anak lain menuju kafe. Wajah Kalea berubah menjadi sendu, ia tidak pernah bermaksud untuk membohongi Aluna, tetapi ia tidak bisa membayangkan jika sahabatnya tahu pekerjaan apa yang ia lakukan sekarang. Kalea belum siap mengatakannya.
"Zeline!" panggil Kalea ketika gadis cantik itu melengos melewati dirinya dengan tidak acuh. Zeline menoleh, seperti biasa wajah cantik itu terlihat angkuh tetapi tetap begitu menawan. "A-apa hari ini kau sibuk? Ada yang ingin kubicarakan denganmu."
Zeline terdiam sejenak, ia melihat jam yang melingkar di tangannya. "Cepat, jadwalku padat," jawabnya ketus. Namun, itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Kalea tersenyum lebar.
Kalea mengikuti Zeline pergi, sampai di mana mereka masuk ke sebuah klinik kecantikan ternama dan langganan Zeline. Gadis itu benar-benar tidak pernah jauh-jauh dari merawat kecantikan wajah dan tubuhnya. Pantas saja secantik itu, biayanya pun pasti tidak murah. Kalea terlihat seperti orang linglung di sana karena bingung ia harus bicara bagaimana sedangkan Zeline sibuk dipijat oleh pelayan pijat. Kalea hanya diam memperhatikan treatment tersebut.
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Zeline, netranya terpejam menikmati sentuhan pijatan yang dilakukan pelayan itu. Kalea tidak yakin untuk membicarakannya di tempat seperti ini, karena ada orang asing di antara mereka. Bagaimana tanggapan pelayan itu jika mendengar cerita Kalea yang menjadi sugar baby dari CEO tampan bernama Arthur? Tunggu, tapi bisa saja tidak semua orang mengetahuinya. Dammit, otak Kalea menjadi pusing karena terlalu banyak berpikir. "Lea? Kau masih hidup, kan?" tanya Zeline lagi karena Kalea tidak menyaut dan terus diam.
"Y-ya, aku masih hidup."
"Lalu kenapa? Kau pasti ingin menceritakan tentang Arthur, kan? Apa kau sudah menyetujui kontraknya?" tanya Zeline tepat sasaran. "Bicara saja, apa yang kau takutkan, sih?"
Kalea tersentak, ia masih belum terbiasa dengan galaknya Zeline. "Ya, aku menyetujui kontrak itu."
"Aku sudah tahu itu. Lalu kenapa? Hanya itu yang ingin kau katakan?"
"Apa Arthur mengatakannya padamu?" Kalea bertanya balik.
"Tidak, Arthur bukan tipe orang yang menceritakan dirinya sendiri pada orang lain. Aku hanya menduga saja," jawab Zeline. Gadis itu bangun dari tengkurap dan menyuruh pelayan itu untuk keluar terlebih dahulu. Kini ia menatap Kalea dengan serius. Kalea terpesona dengan wajah Zeline yang begitu cantik, kulit putih bersih dan dada yang padat meski tidak sebesar miliknya. Zeline benar-benar seperti bidadari. "Kau sudah melakukannya dengan Arthur?" tanya Zeline.
"Me-melakukan apa?"
Gadis blonde itu memutar bola matanya malas. "Tidak usah pura-pura bodoh. Kau tahu maksudku."
Kalea mengangguk pelan, wajahnya berubah menjadi sendu. "Meski tidak sadar."
Zeline menautkan alisnya, tidak mengerti. "Apa maksudmu? Kau diperkosa olehnya?!" pekik Zeline dengan suara meninggi membuat Kalea berjengit, ia panik jika ada orang lain yang mendengar apa yang dikatakan gadis bersurai pirang itu.
"Bu-bukan begitu! Dia yang tidak sadar!"
Zeline semakin terbelalak kaget. "Huh? Jadi kau yang memperkosanya?!"
"Tidak begitu, bodoh!" elak Kalea sampai kelepasan berkata kasar.
"Katakan dengan jelas!"
Kalea mengatur napasnya dengan teratur, mulut Zeline sepertinya harus ditambal karena dugaannya yang terus salah itu, jika ada orang yang mendengar pasti akan berpikir yang tidak-tidak. "Dia melakukannya di saat mabuk, aku tidak bisa melawan karena tenaga dia lebih besar dariku," jelas Kalea begitu lesu. Hatinya kembali sakit saat mengingat apa yang terjadi malam itu. Ia pun menceritakan di mana Arthur di awal mengatakan untuk tidak menyentuhnya karena Kalea yang belum pernah melakukan hubungan ranjang sama sekali. Mereka yang hampir saja membatalkan kontrak tersebut tetapi nyatanya tetap berlanjut meski pada akhirnya terjadi hal yang tak diinginkan.
Zeline mendengar cerita Kalea dengan seksama, sebenarnya ada sedikit rasa bersalah karena telah membawa Kalea, seorang gadis pintar dan polos ke dunia gelap yang Zeline tekuni. Namun, Kalea sendiri yang menginginkan pekerjaan. Ia hanya bisa menawarkan hal itu, meski begitu Zeline pun mencarikan pria yang menjanjikan walaupun tidak sepenuhnya dapat dikatakan pria yang benar-benar baik. Untuk seukuran sugar daddy, Arthur adalah pilihan terbaik. Namun, jika menyangkut sebagai kekasih, Arthur adalah pilihan terburuknya.
"Hal itu sudah pasti akan terjadi. Kau sendiri tahu itu, kan?"
Kalea mengangguk pelan, setelah mencari tahu lebih dalam tentang sugar dating, tentu Kalea sudah menyiapkan kemungkinan terburuknya. Yang terpenting adalah uang, ia hanya membutuhkan itu saja.
Zeline akhirnya selesai dengan segala perawatannya. Kalea terus mengikutinya dari belakang, Ia menunggu Zeline selesai membayar seraya melihat-lihat apa yang ada di sana.
"Huh? Arthur?"
Tubuh Kalea membeku ketika mendengar Zeline menyebut nama itu. Ia berbalik ke belakang untuk memastikan apakah Arthur adalah pria yang ia kenal atau orang yang berbeda. Ia tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya yang terkejut melihat Arthur bersama dengan seorang wanita cantik, wanita itu begitu bergelayut manja pada lengan Arthur.