Arthur melakukan makan malam bersama klien penting di salah satu restoran keluarga. Itu adalah permintaan dari kliennya yang memang sangat menyukai restoran tersebut. Meskipun begitu, restoran keluarga itu memiliki VIP room. Sebenarnya, Arthur tak begitu mempermasalahkan di mana tempatnya, yang terpenting pekerjaannya cepat selesai dan ia bisa melakukan hal apapun sesukanya.
"Menurutku ini sudah cukup. Aku akan sangat mengandalkanmu, Mr. Arthur," ujar Jacob, salah satu investor di perusahaan IT milik Arthur. Pria yang berusia tidak jauh dengannya dan cukup mudah dalam berbisnis. Sasaran empuk yang sangat Arthur sukai.
Arthur tersenyum manis. Ia mengulurkan tangannya bermaksud berjabat tangan. "Tenang saja, kau pasti akan puas."
Setelah selesai, mereka memutuskan untuk pulang. Arthur izin untuk pergi ke toilet dan mempersilahkan Jacob lebih dahulu pulang. Ia pun menyuruh Juan, sekretarisnya untuk mengantar Jacob sampai lobby restoran. Arthur menyelesaikan urusannya dan kemudian mencuci tangan di wastafel. Saat ia mencari ponsel untuk menghubungi Juan, ia tak menemulan ponselnya di mana pun. Di saku jas, celana, sama sekali tidak ada. Arthur kembali mengingat-ingat, ia pun berniat untuk kembali ke ruangan privat yang sebelumnya mereka tempati. Namun, ia lupa dengan pasti di mana ruangan tersebut. Akhirnya dengan ingatannya yang samar, ia pun mulai menebak di mana ruangan yang sebelumnya ia masuki. Arthur sedari tadi sudah mencari-cari pelayan agar dapat meminta bantuan. Namun, tak ada satu pun pelayan yang lewat.
"Sepertinya ruangan ini," gumam Arthur seraya memandang pintu yang tak berbeda jauh dengan pintu lainnya. Pria itu tanpa ragu membuka pintu tersebut, tatapannya menjadi datar saat melihat ada sepasang kekasih yang sedang bercumbu mesra. Ia tak dapat melihat dengan jelas wajah wanitanya, tetapi ia pun tidak peduli karena bukan urusannya. Arthur tak mau menganggu seseorang yang sedang dikuasai nafsu, akhirnya pria itu menutup pintu dengan hati-hati tanpa ada suara.
"L-lepaskan!"
Arthur menghentikan tangannya setelah mendengar suara yang tidak terdengar seperti mendesah tetapi justru meronta tak suka. Arthur sangat paham jenis-jenis suara saat sedang bercumbu. Dan suara wanita tadi, bukanlah termasuk dari jenis suara tersebut. Pria itu memperhatikan sepasang kekasih itu, sepertinya ia salah menduga.
Mereka bukanlah sepasang kekasih. Dari seragamnya, itu adalah seragam pelayan di restoran ini dan ... netra Arthur membulat saat melihat wajah wanita yang sangat ia hafal. Tanpa sadar tangannya terkepal dengan kuat, ia berjalan menghampiri mereka dan langsung menginjak punggung pria brengsek yang sudah melecehi Kalea.
Ya, wanita itu adalah Kalea. Si sugar baby miliknya.
"Huh? Siapa kau-"
Arthur tak membiarkan pria berkumis itu untuk mengeluarkan satu patah kata pun dari mulut hina tersebut. Ia terus menginjak-injak pria itu sampai akhirnya tak berdaya. Napas Arthur tersengal-sengal, ia masih belum puas memukulnya. Netra berkilat penuh kebencian, ia ingin menginjak leher pria itu tetapi Kalea mendorongnya agar menjauh.
"Sudah cukup!"
Perasaannya tak terima saat melihat pakaian gadis itu berantakan, warna lipstiknya pun memudar. Kalea menarik lengannya untuk keluar dari ruangan tersebut. Arthur dapat merasakan tangan Kalea yang gemetar. Ia tahu jika gadis itu terus berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja. Setelah merasa aman, Kalea melepas tangan Arthur dan berbalik menghadap pria itu.
"Apa yang kau lakukan dan kenapa kau bisa ada di sini?" tanya Kalea yang justru membuat Arthur semakin kesal.
"Hah? Dari ucapan terima kasih yang beragam, perkataan itukah yang keluar dari mulutmu? Dan harusnya aku yang bertanya begitu!" balas Arthur terlihat sangat marah.
"Aku ... itu ...," Kalea tak sanggup menjelaskan apapun karena rasa takutnya yang masih menguasai diri. Tubuhnya gemetar, netranya mulai berkaca-kaca. Tentu ia sangat berterima kasih pada Arthur yang sudah menolongnya. Ia bahkan tak menyangka jika pria itu yang akan datang. Bulir air mata mulai membasahi pipi gadis itu. "Terima kasih ... Arthur," lirih Kalea, ia pun sampai beringsut duduk di lantai karena kakinya sudah terlalu lemas.
Arthur memandang gadis itu. Emosinya masih belum turun. Pria yang memiliki tahi lalat di bawah mata itu kini berjongkok di hadapan Kalea. "Kenapa kau ada di sana? Siapa dia?"
"A-atasanku," jawab Kalea begitu lirih. Ia terus menyeka bibirnya yang dilecehkan oleh John. Jijik, sangat jijik. Kalea tak pernah menyangka jika manajernya pun akan melecehkannya sama seperti beberapa pelanggan brengsek itu.
"Berhenti dari pekerjaan ini," final Arthur membuat Kalea terbelalak. Ia mendongak menatap pria itu.
"K-kenapa?"
"Kau masih tanya? Apa yang sedang kau alami ini tidak akan hanya sekali! Dia atasanmu, kan? Yang seharusnya melindungimu tetapi justru melecehkanmu," balas Arthur seraya tersenyum remeh. Pria itu membantu Kalea bangun. "Kau kuantar pulang."
"T-tapi aku-"
"Kau masih ingin bekerja di saat sudah seperti ini? Dengar, Kalea, aku benar-benar sangat marah sekarang. Lebih baik kau tidak membantah."
Kalea sedikit merinding melihat wajah Arthur saat ini. Pria itu sungguh tidak main-main dengan perkataannya. Tidak peduli apa yang orang-orang lihat, Kalea terus menunduk dan membiarkan Arthur menuntunnya menuju mobil. Gadis itu sedikit terkejut saat melihat ada seorang pria yang duduk di kursi penumpang.
"Arthur, siapa yang-"
"Juan, kau pulang menggunakan taxi saja," ujar Arthur seraya menyeret sekretarisnya keluar dari mobil.
"A-apa?!" pekik Juan semakin tak mengerti. "Tunggu, daritadi aku menunggumu, tapi tiba-tiba kau membawa wanita?!" Juan sangat paham dengan kebiasaan bosnya, tidak hanya sekali dua kali Arthur bertindak semena-mena. Namun, dibandingkan wanita yang selama ini ia lihat, wanita yang saat ini dibawa Arthur masih terlihat kekanakan.
"Akan kujelaskan nanti. Nih, kuberikan ongkos," sahut Arthur seraya memberikan uang pada sekretaris yang sudah sangat ia anggap seperti saudara sendiri. "Hati-hati di jalan, Juan."
Juan hanya bisa memandang tak percaya saat Arthur melajukan mobil dan sungguh meninggalkannya di sana sendirian. "Sabar, Juan. Kau memang harus sabar menghadapi pria maniak wanita itu."
"Arthur, kenapa dia harus diturunkan? Aku merasa tak enak," ujar Kalea bahkan terus memandang ke belakang.
"Tidak perlu kau pikirkan. Itu sudah biasa untuknya," sahut Arthur sangat santai. Kalea mengerutkan dahinya ketika pria itu menghentikan mobil ke pinggir jalan. Ia sedikit takut karena pasti Arthur ingin melanjutkan pembicaraan yang tadi. Dan benar saja, Arthur kini memandang Kalea begitu dalam, sorot mata abu-abu yang seakan dapat menghipnotis siapa pun yang membalas tatapannya.
"Jawab aku, sudah berapa kali kau mengalami hal seperti tadi?" tanya Arthur.
Kalea menggigit bibir bawahnya lalu menunduk. "Ini pertama kali olehnya ...."
"Olehnya? Memang siapa lagi yang melecehkanmu?! Pekerja yang lain?" Arthur terus bertanya.
"Tidak! Teman-temanku sangat baik. Mereka tidak melakukan itu ...."
"Lalu siapa?"
"Beberapa ... pelanggan," jawab Kalea dengan nada tertahan. Ia dapat mendengar embusan napas berat dari Arthur.
"Dan kau masih ingin bekerja di sana? Sudah kukatakan terakhir kali kita bicara, aku ingin kau berhenti bekerja. Dan sekarang ini yang kau dapat," omel Arthur. Jujur, ia pun tak mengerti kenapa sebegitu emosinya saat menyangkut tentang Kalea.
"Karena sebelumnya aku tidak sanggup membayar penalty! Jika aku resign, aku harus membayarnya. Aku juga tersiksa, Arthur. Tolong jangan terus mengomeliku," lirih Kalea, ia sekuat tenaga untuk tak menangis lagi di hadapan pria itu.
Hati Arthur melunak, ia langsung membawa Kalea ke pelukannya. Meminta maaf berkali-kali karena sudah membuat gadis itu semakin tertekan. "Maaf, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku kesal pada diriku sendiri karena tak menyadari dengan cepat jika ternyata kau yang sedang disentuh pria bajingan itu," ujar Arthur seraya mencium puncak kepala Kalea. Gadis itu mulai kembali tenang, meskipun hubungannya dengan Arthur pun bukanlah hubungan yang dipandang baik oleh orang sekitar. Hanya saja, Kalea merasa aman saat berada di sisi pria itu.
"Kenapa kau ada di sana?" tanya Kalea, sungguh penasaran.
"Aku memang makan malam di restoran itu. Dan ponselku tertinggal tapi aku lupa meninggalkannya di mana," jawab Arthur, bahkan ia sampai lupa tujuan awalnya apa.
"Apa ponselnya sudah ketemu?"
Arthur menggeleng. "Masa bodoh, itu hanya satu ponsel dan sudah tak berharga lagi."
"Bisa-bisanya kau bicara seperti itu di depan gadis miskin sepertiku," sahut Kalea seraya merengut kesal membuat Arthur semakin bersalah.
"Bukan begitu maksudku! Aku hanya memiliki kontakmu di ponsel itu, maka dari itu aku tetap mencarinya. Karena kau kini bersamaku, aku tidak perlu peduli lagi dengan yang lain," jelas Arthur agar Kalea tak salah paham.
Kalea merasa seperti ada kupu-kupu yang berterbangan di perutnya setelah mendengar penjelasan pria itu. Ia tahu, Arthur memang pria yang pandai berbicara manis, tetapi ia pun tidak bisa mengelak bahwa perasaannya sedikit senang.
"Kembali ke topik. Memang kau harus membayar penalty berapa? Apa uang dariku tidak cukup?" tanya Arthur.
"L-Lebih dari cukup ... tapi, manajer tadi bilang akan menaikkan gajiku. Aku memang sudah lama meminta padanya, tetapi baru kali ini ia ingin mengabulkan permintaan itu," jawab Kalea menjelaskan kronologi awal. "Tapi ternyata, ia pun ingin meminta sesuatu dariku. Gajiku akan dinaikkan jika aku setuju untuk tidur dengannya."
"Apa? Tidur denganmu? Aku saja belum melakukannya! Brengsek ...," umpat Arthur membuat Kalea sedikit terkejut. "Ah ... maaf, lanjutkan."
"Karena itu aku berusaha menolak sampai akhirnya kau datang menolong," lanjutnya.
"Besok kau ajukan resign pada pria bau tanah itu. Biar aku yang membayar penaltynya," putus Arthur dan sudah tak bisa diganggu gugat.
"Tidak apa-apa, Arthur. Aku saja yang bayar, aku tidak mau membuatmu-" Kalea tak dapat melanjutkan perkataannya tatkala Arthur mencium bibirnya tanpa aba-aba.
"Aku paling tidak suka jika terus ditolak. Aku juga tidak merasa kerepotan," potong Arthur, tatapannya begitu serius membuat jantung Kalea berdebar dengan kencang.
Kalea semakin menahan napasnya ketika Arthur terus memandang seraya mengusap bibirnya. "Sepertinya aku harus terus menciummu agar bekas manajer brengsekmu itu hilang."
"E-eh?"
Arthur sungguh tak main-main. Ia terus melumat bibir ranum gadis itu dan sesekali menggigitnya. Pria itu tak membiarkan Kalea mengambil pasokan oksigen. Namun, Kalea menyukainya.