[Halo?]
Kalea mengigit bibir bawahnya, ia memejamkan matanya sekejap. "Halo."
[Hei, ini belum tiga hari kau sudah menghubungiku. Apa kau menyetujui kontrak kita?]
"Iya," jawab Kalea singkat. Ia memegang kepalanya yang semakin pusing.
[Kalau begitu aku minta nomor rekeningmu]
"Uh ... sebentar." Kalea mengambil tasnya yang berada di atas ranjang. Setelah itu, ia membacakan nomor rekeningnya pada Arthur.
[Apa sudah masuk?]
"Eh? Secepat itu?" tanya Kalea sedikit kaget. Ia mendengar suara tawa yang begitu sopan masuk ke dalam indera pendengarannya.
[Kau bisa mengeceknya kalau tidak percaya]
Kalea segera memeriksa di aplikasi banknya. Ia menganga melihat nominal yang baru saja dikirimkan oleh pria itu. "S—seratus ribu dollar?! A—apa kau tak kelebihan nol, Paman?" tanya Kalea masih tak percaya.
[Tidak, itu sudah benar. Aku akan memberikan uang setiap sebulan sekali. Aku juga sudah menyiapkan satu unit apartemen untukmu dan jangan memanggilku paman lagi!]
"B—baiklah ...," lirih Kalea masih memandang layar ponselnya. Ia sama sekali tak pernah memiliki uang sebanyak itu, dan sekarang ia akan mendapatkannya setiap bulan.
[Apa ada lagi yang ingin kau minta?]
"T—tidak ada, ini sudah sangat cukup. Terima kasih banyak, Arthur," ujar Kalea dengan tulus. Rasanya ia ingin meneteskan air matanya.
[Kalau begitu aku akan menjadwalkan kapan kita bertemu lagi. Sampai ketemu, Darling]
Tubuh Kalea sedikit merinding kala Arthur memanggilnya dengan panggilan sayang seperti itu. Namun, hubungannya dengan pria itu kini menjadi kenyataan dan ia pun mau tak mau menuruti apa yang diinginkan Arthur. "S—sampai ketemu, Arthur," balasnya. Ia masih sangat canggung dengan pria itu.
[Daddy, panggil aku daddy]
"... Daddy."
[Wow ... sounds cute, haha. Kalau begitu, aku tutup. Sampai nanti]
Kalea menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia meringis, hari ini begitu banyak yang ia lalui sampai dirinya harus menyetujui kontrak dengan pria itu. Kalea memandang kamarnya yang masih berantakan, raut wajahnya begitu sendu. Meskipun rekeningnya penuh akan uang, tetapi ia masih merasa ragu dengan pekerjaan yang akan ia lakukan. Namun, mau bagaimana lagi. Restoran tempat ia bekerja kadang kala telat memberikan gaji, menjadi asisten dosen pun upahnya tidak seberapa.
Mungkin jika dirinya hanya tinggal seorang diri atau ibunya tidak bersikap jahat padanya, semua yang selama ini ia kerjakan tidak akan terasa kurang.
Kalea menghela napas berat. Ia harus membereskan kamarnya. Belum lagi tubuhnya yang luka dan harus ia obati.
Di sisi lain, Arthur tersenyum puas setelah Kalea menghubungi dan menyetujui kontraknya. Ia meraih sebatang rokok lalu menyalakannya dan menghisap rokok tersebut. Jujur saja, Arthur memang lumayan tertarik dengan gadis seperti Kalea. Ia tidak merasa rugi jika menghabiskan uangnya untuk seorang gadis polos dan penurut itu. Ya, Arthur sudah merasa jika Kalea akan patuh terhadapnya.
Arthur melirik pada seorang wanita yang baru saja tidur dengannya. Wanita itu tergeletak di ranjang empuk nan mewah itu, tak memakai sehelai benang pun di tubuhnya, terlihat puas akan permainan yang dilakukan bersama Arthur. Pria itu sudah memantapkan hati, walaupun Kalea menjadi sugar babynya, ia tetap akan bermain dengan wanita mana pun.
***
Kalea melewati hari-hari seperti biasanya. Ia tidak terlalu menggunakan uang Arthur untuk foya-foya atau sesuatu yang tidak penting. Tingkahnya terlihat biasa saja, memberikan ibunya alkohol tanpa berlebihan. Sampai di mana ia mendapatkan gaji dari dua pekerjaan halalnya, ia akan menyimpan uang dari pria itu tanpa menyentuhnya sama sekali terkecuali kebutuhan darurat. Kalea pun tak mengatakan apa pun pada Zeline, ia belum siap memberitahukan hal itu pada Zeline. Dan gadis blonde itu pun tak pernah berbicara padanya. Kalea pikir, Arthur juga belum memberitahukan tentang hubungan mereka pada Zeline.
Saat Kalea baru saja selesai kelas, ponselnya berbunyi. Gadis itu sedikit panik, tak menyangka Arthur tiba-tiba menghubunginya. Ia sedikit menjauh dari keramaian untuk mengangkat panggilan tersebut. "Ya?" bisik Kalea pelan seraya berjaga-jaga tidak ada yang mendekati atau mendengarnya.
[Apa kau sudah selesai kelas?]
Dahi Kalea berkerut, heran. "Bagaimana kau tahu?" Gadis itu bisa mendengar suara tawa dari seberang telepon.
[Kemarilah. Aku menunggu di apartemen. Kita belum bicara lagi setelah pertemuan pertama kita]
Kalea menelan salivanya sedikit kasar. Suara Arthur terdengar berat dan membuat Kalea merinding. Pikirannya sudah jauh ke mana-mana. "D—dimana?" tanya Kalea gugup.
[Aku akan mengirimkan lokasinya. Atau kau mau kujemput?]
"Tidak perlu. Aku saja yang ke sana," jawab Kalea cepat. Ia tidak mau orang-orang melihat dirinya menaiki mobil bersama seorang pria asing. Apalagi dirinya selalu berjalan bersama dengan Aluna sampai lobi kampus.
[Baiklah. Kutunggu, Honey]
Arthur menutup panggilannya. Kalea masih saja merinding jika pria itu memanggilnya dengan panggilan sayang. Sungguh, apa mereka perlu melakukan hal seperti itu? Bukankah mereka tidak berpacaran dan tidak memiliki perasaan cinta satu sama lain? Kalea tertegun akan benaknya tadi. Ia bahkan akan menyerahkan tubuhnya pada pria asing hanya demi uang semata.
Tak lama Arthur telah mengirimkan lokasi apartemennya, Kalea menganga saat membaca nama apartemen tersebut. "Bukankah ini apartemen termahal di kota?" gumam gadis itu sampai menutup mulutnya. Kalea segera bersiap menuju ke sana dengan terburu-buru ketika Arthur mengirimkan pesan lagi padanya.
[Jangan lama, ya. Kalau tidak, kau akan kuhukum]
Entah hukuman seperti apa, tetapi Kalea tidak mau hal itu terjadi. Sejujurnya, paman itu sedikit membuat Kalea takut.
Dua puluh menit berlalu, Kalea telah sampai di apartemen yang dikirim oleh Arthur. Ia menganga tak percaya karena ini pertama kalinya Kalea akan memasuki suatu bangunan mewah, besar, menjulang tinggi seperti apartemen yang kini berada tepat di hadapannya. Kalea bahkan memandang penampilannya saat ini, menerka-nerka apakah ia akan diusir karena penampilan lusuhnya sekarang.
Tunggu, Kalea baru sadar. Saat pertemuan pertamanya, penampilannya dibantu oleh Zeline karena itu ia bisa begitu menawan di hadapan Arthur. Lalu bagaimana jika pria itu melihat dirinya yang sekarang? Tanpa make up dan pakaian yang bagus. Oh, tidak, Kalea tak sempat memikirkan hal itu! Bagaimana jika Arthur menyesal membuat kontrak dengannya lalu memutuskan kontrak tersebut dan menarik uang yang telah diberikan untuk Kalea?!
Kalea menggigit jarinya, bimbang setengah mati. Ia melirik bangunan di sebelah apartemen mewah itu, di sekitar sana ternyata banyak pusat perbelanjaan dan arena hiburan lainnya. Benar, Kalea harus berdandan dan menggunakan uang Arthur untuk mengubah penampilannya. Ini masih sore, sedikit alasan telat yang logis mungkin masih bisa ditoleransi oleh pria itu. Kalea mengangguk seraya mengepalkan tangannya mantap. Ia melangkahkan kakinya ke sebuah salon yang terlihat mahal itu.
Pertama-tama, ia harus memoles wajah dan rambutnya. Setelah itu membeli pakaian, cukup satu saja. Hanya untuk terlihat menawan di harapan pria yang sedang menunggunya.