Kalea Orlin Loovata. Gadis bersurai panjang berwarna brunette, dengan mata hazel-nya yang berbentuk mirip seperti kucing, postur tubuh yang langsing dan tinggi serta ciri khasnya memiliki freckles di pipi kanan-kirinya. Kalea memiliki fisik yang menawan dan terbilang tak pasaran. Wajahnya memang sangat mirip dengan ayah kandungnya.
Sebelas tahun yang lalu ayahnya dengan tega bermain api di belakang ibunya, bahkan meninggalkan mereka berdua tanpa kata-kata. Hal ini membuat Freya sangat terpukul, terkhianati dan menjadi ketergantungan terhadap alkohol. Karena wajah Kalea yang mirip dengan mantan suaminya itulah, ia yang awalnya adalah seorang ibu yang lembut dan penuh kasih sayang menjadi sangat membenci dan tega menganiaya anak kandungnya sendiri. Karena saat melihat Kalea, bayang-bayang mantan suaminya muncul begitu saja.
Freya tak bekerja, mentalnya sudah terguncang dan sulit berpikir jernih karena itu semuanya menjadi tanggungan anaknya sendiri. Kalea harus memenuhi kebutuhan ibunya, tak terkecuali alkohol. Dari umur sembilan tahun, tepatnya sepeninggal ayahnya, Kalea bekerja kesana kemari bahkan terpaksa berhenti sekolah saat itu demi memenuhi kebutuhan hidup. Nasib baiknya adalah kadang-kadang ia menyisihkan uang hasil kerja kerasnya sampai bisa melanjutkan kembali sekolahnya hingga Sekolah Menengah Atas, dan dengan otaknya yang cerdas ia bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi lagi tanpa biaya sepeser pun karena mendapat beasiswa sepenuhnya hingga ia lulus sarjana.
Untuk saat ini, ia bekerja menjadi asisten dosen di kampusnya dan pelayan di salah satu restoran keluarga yang lumayan terkenal di kota. Itu pun ia merasa masih belum cukup untuk memenuhi keinginan ibunya dan sepertinya harus mencari lagi pekerjaan tambahan walaupun kegiatannya akan semakin padat.
Setelah insiden pertengkaran Kalea dan Freya yang berakhir dahi Kalea terluka, gadis itu tetap beraktivitas seperti biasa layaknya tak ada masalah yang mengganggu dirinya. Dengan percaya diri, ia membelah kerumunan orang-orang di kampus yang terkadang mencuri pandang kepadanya, heran dengan perban yang menempel pada dahinya.
Tentu saja Kalea tidak peduli, hal ini sudah biasa baginya.
Kalea memasuki kelas yang terjadwal pada hari ini, langsung menduduki kursi terdepan dekat dengan dosen. Bukan karena ia cari perhatian atau akan menjilat dosen, tapi ia merasa harus memanfaatkan semua kesempatan yang telah diberikan dengan sebaik- baiknya. Kalea tidak mau beasiswa kuliahnya sia-sia karena ilmu yang didapat tidak dicerna dengan maksimal.
"Ka—lea? Lea! Itu ... perban, kau kenapa?"
"Oh ... hai Luna!" sapa Kalea tanpa menggubris kekhawatiran sahabatnya.
Aluna yang baru saja datang dan melihat kondisi sahabatnya menjadi seperti ini padahal kemarin ia yakin mengantarnya pulang dengan selamat tanpa ada luka sedikit pun. "Ini ... karena ibumu?" tanya Aluna berbisik, tangannya meraih perban tersebut tetapi Kalea menghindar.
Tanpa diberitahu lewat mulut sahabatnya, Aluna tahu bahwa itu benar.
Matanya mulai berkaca-kaca, ia langsung memeluk Kalea dengan erat membelai punggung sahabatnya lembut. Sedangkan Kalea hanya bisa tersenyum. Mereka berdua tidak peduli dengan tatapan dari orang-orang sekitar.
Aluna tahu kondisi keluarganya, sahabatnya adalah satu-satunya yang mengetahui hal tersebut. Ia bersyukur masih ada seseorang yang peduli, setidaknya satu saja yang mengerti tentang dirinya, itu sudah lebih dari cukup.
Tepat pukul jam delapan pagi, dosen memasuki kelas dan memulai perkuliahan. Kalea memperhatikan apa yang diterangkan oleh dosen di depannya, tak jarang ia menjawab pertanyaan dari dosen bertubuh gemuk dan memiliki tahi lalat di pipi kirinya.
"Baik, sebelum perkuliahan saya tutup, saya akan memberikan tugas kelompok mengenai apa saja isu-isu global yang saat ini sedang marak diperbincangkan. Satu kelompok berisi dua orang, saya akan membagikan kelompoknya di portal kampus. Harap dilihat setelah perkuliahan ini saya tutup, minggu depan kalian presentasikan. Apa ada yang mau ditanyakan?"
Tidak ada yang membuka suara, menandakan semua sudah cukup mengerti dengan tugas yang diberikan.
"Kalau begitu saya tutup, terima kasih untuk hari ini," pamit sang dosen.
Setelah dosen keluar dari kelas, mayoritas anak mendesah lega bahkan ada yang sudah merencanakan untuk pergi ke kantin fakultas. Karena memang kelas akan dimulai kembali pada pukul satu siang. Kalea sendiri membuka ponselnya berniat untuk mencari lowongan pekerjaan kembali. Ya, ia benar-benar berniat mencari pekerjaan tambahan. Jemarinya asik menggeser layar mencari yang cocok dengan kualifikasi dirinya, dari waktu dan biaya tentu saja ia pertimbangkan.
"Kaleaaa! Apa kau sudah melihat daftar kelompok tadi?!" tanya Aluna dengan wajah seperti habis dikejar hantu dan membuat Kalea heran.
"Belum, kenapa?"
"Duh, lebih baik kau lihat siapa yang menjadi partner kelompokmu."
Karena suruhan Aluna, Kalea menutup laman lowongan pekerjaan tadi dan mengganti dengan portal kampusnya. Melihat daftar anggota kelompok, tetapi ia tidak melihat ada keanehan. "Apa ada yang aneh dari ini?"
Pertanyaan Kalea membuat Aluna menganga, tak percaya. "Apa kau tidak tahu rumor dari teman sekelompokmu nanti?"
"Memangnya kenapa dengan Zeline? Bukankah dia sangat cantik?"
Aluna memutar bola matanya malas, ia duduk di kursi yang entah milik siapa sebelumnya, mencondongkan tubuhnya ke arah Kalea. "Aku dengar dia simpanan om-om! Kau sendiri tahu walaupun dia secantik itu, tapi tidak ada yang mau berteman dengannya. Dia selalu terlihat sendirian, kan?" ujar Aluna sedikit berbisik. "Dan aku yakin dia akan menjadi beban kelompok untukmu." .
"Tapi itu hanyalah rumor, Luna. Jangan terlalu percaya sebelum kau melihatnya langsung, itu tidak baik." Kalea mulai merapikan buku-bukunya, ia masukkan ke dalam tas ransel kanvasnya.
"Ugh, tapi itu sudah rahasia umum! Memang bukan aku yang melihatnya, tapi beberapa anak lain, Lea!" Luna masih tidak mau kalah.
Kalea menghela napas lalu tersenyum. "Tetap saja, mau bagaimanapun aku akan bekerja sama dengannya. Aku tidak akan mempermasalahkan rumor itu karena tidak merugikanku."
"Lalu bagaimana kalau dia benar akan jadi beban untukmu?"
"Pertama, aku sendiri yang akan menegurnya. Kalau itu tidak mempan, tentu saja akan kuadukan pada Mrs. Diona. Jadi, jangan khawatir," ujar Kalea mantap membuat Aluna terkekeh. Benar juga, seharusnya Aluna tidak perlu sekhawatir itu, karena sahabatnya pasti bisa menghadapinya mau seperti apa pun masalah tersebut.
"Ayo kantin!"
"Ah, tapi aku sedang berhemat."
"Kutraktir."
"Deal?"
"Deal!"
Mereka tertawa seraya melangkahkan kakinya menuju kantin fakultas.
***
Hari ini perkuliahan telah usai, mahasiswa maupun mahasiswi kembali berpencar ke kesibukan mereka masing-masing. Ada yang mengikuti organisasi dan akan melakukan rapat hingga tengah malam, bekerja paruh waktu, ataupun sekedar mengunjungi cafe-cafe hits lalu diunggah di sosial media mereka. Sedangkan Kalea mungkin hanya akan mereview materi hari ini dan selaku asisten dosen ia juga akan menyiapkan bahan materi untuk kelas yang ia bawa.
"Lea, setelah ini kau mau apa? Aku mau karaoke bersama anak kelas sebelah, kau mau ikut?" tanya Aluna. Tangannya asik mencatok curly rambutnya dengan catokan yang selalu ia bawa.
"Hmm, sepertinya tidak. Aku mau menyiapkan materi untuk nanti. Oh, aku juga akan mengajak Zeline berbicara dulu mungkin."
Aluna menghentikan kegiatannya. "Kau yakin?" Kalea mengangguk.
"Mau kutemani?" tawar Aluna membuat Kalea terkekeh.
"Tidak perlu, kau duluan saja."
"Sungguh? Kalau begitu aku melihat dari kejauhan saja, kita jalan sampai lobby bersama. Deal?" final Aluna dan tidak akan bisa dibantah.
Sesuai kesepakatan, Aluna akhirnya menunggu di meja terdekat dengan pintu kelas, sedangkan Kalea menghampiri gadis bersurai pirang yang dibiarkan terurai panjang sepunggung dengan mata indah berwarna biru sapphire yang tengah asik memoles make up tipis di wajah yang sudah nyaris sempurna. "Zeline?" panggil Kalea.
Gadis tersebut mendongak ke arah Kalea, menaikkan alisnya dengan angkuh. "Siapa?"
"Aku Kalea Orlin Loovata, kau bisa memanggilku Kalea. Kita satu kelas dan kebetulan satu kelompok untuk mata kuliah Analisis Hubungan Internasional. Mohon bantuannya, Zeline," ujar Kalea seraya menampakkan senyum manisnya tetapi lawan bicaranya sayang sekali tidak membalasnya dengan baik justru kembali melanjutkan aktivitas berdandannya.
"Ehm ... begini Zeline, aku hanya ingin kita bisa bekerja sama dalam tugas ini. Kapan kau ada waktu dan di mana? Agar bisa cepat kita selesaikan." Kalea masih belum menyerah, tetapi nihil Zeline masih tak menanggapinya.
Tak lama, gadis pirang itu memasukkan alat kosmetiknya, lalu menghadap ke arah Kalea. "Kalau begitu sekarang. Aku yang tentukan tempatnya, bagaimana?"
"Oh ... hari ini? Boleh ..."
Gadis itu tersenyum miring. "Okay."