Chapter 3 - Tawaran

Setelah berpisah dengan Aluna di Lobby, kini Kalea mengekori Zeline dari belakang menuju parkiran mobil. Sebenarnya ia sadar selama dirinya berjalan bersama gadis ini, banyak orang menatap ke arah mereka berdua dengan aneh, tapi tentu saja Kalea tidak ambil pusing. Zeline menekan remote mobil di tangannya, lalu terlihat sebuah Mini Cooper mengedipkan lampunya yang berada di ujung deretan mobil lainnya.

"Masuk."

Kalea mengangguk, membuka pintu mobil belakang.

"Hei! Kenapa kau duduk di belakang? Kau anggap aku supir?" protes Zeline membuat Kalea panik.

"Tidak, tidak begitu maksudku, maaf ... "

Zeline memutar bola matanya malas, dagunya mengarah ke jok depan agar Kalea duduk di sampingnya.

Setelahnya, Zeline melajukan mobilnya keluar dari kawasan kampus menuju tempat yang ia tentukan sendiri.

***

Sampailah di sebuah mall mewah yang bahkan tidak pernah terpikirkan oleh Kalea akan menginjakkan kakinya ke tempat tersebut. Kalea tentu saja pernah masuk mall tapi kali ini desain interior dalam mall tersebut begitu mewah dan seperti berada di dunia yang berbeda. Ia terus menatap takjub dan tetap mengikuti langkah Zeline dari belakang, benar-benar seperti anak bebek yang mengikuti induknya. Langkah Zeline terhenti di depan coffee shop yang cukup terkenal, ia menoleh ke arah Kalea. "Disini saja, ya?"

"Boleh, aku ikut saja."

Mereka memasuki coffee shop itu, aroma kopi langsung menyeruak masuk ke indera penciuman mereka, aroma kafein yang begitu menenangkan. Tampak orang-orang asik dengan ponsel atau laptopnya masing-masing, sama seperti yang akan mereka lakukan. Zeline menatap menu yang terpampang diatas, tanpa pikir panjang ia langsung mengetahui apa yang ia inginkan. Berbeda dengan Kalea, ia bahkan tidak mengerti menu-menu di atas sana, Grande, Venti, Tall, istilah macam apa yang sedang ia baca ... tidak hanya itu pula, harganya terbilang mahal hampir membuat Kalea serangan jantung mendadak.

"Kau sudah memutuskan pesan apa?" tanya Zeline memecah kebingungan Kalea.

"Hmm, kau pesan apa?" Kalea bertanya balik.

"Caramel Macchiato dan New York Cheesecake."

"Ah ... Freshly Brewed Coffee saja." Sebenarnya Kalea sedikit ragu, karena ia sendiri tidak tahu apa yang ia pilih itu. Namun, setelah dilihat dari semua menu hanya minuman itu yang termurah.

Zeline menatap gadis bersurai brunette itu dengan heran. "Kau yakin?"

"Iya."

"Kalau begitu kau cari tempat duduk sana, aku menyusul."

"Ini uangnya." Kalea mengeluarkan uang lembaran namun yang ia dapat adalah tatapan sinis Zeline.

"Nanti saja."

Entah kenapa Kalea tidak bisa membantah, seperti ada aura menakutkan dalam diri Zeline. Atau mungkin ia belum terlalu mengenal gadis itu.

Kalea akhirnya mencari tempat yang kosong untuk mereka tempati, matanya terkunci pada salah satu meja di dekat jendela dan langsung ia duduki seraya menunggu Zeline selesai memesan. Ia mulai mengeluarkan laptop usangnya dan buku catatan, siap untuk diskusi yang akan dilakukan. Selang beberapa lama Zeline menyusul menghampiri Kalea. "Nanti akan dipanggil, kau yang ambil pesanan, ya?" ujarnya santai yang langsung disanggupi oleh Kalea.

"Kalau begitu kita mulai saja dulu, untuk—"

"Tunggu minumannya datang saja," potong Zeline seraya bercermin di kaca kecil yang selalu ia bawa. Kira-kira sepuluh menit mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Zeline yang asik ber-selfie ria di ponsel mahalnya dan Kalea yang tak henti-hentinya menatap Zeline. Jujur saja ia terpesona dengan kecantikan dari gadis pirang itu dan kemewahan yang melekat di diri Zeline. Entah mengapa timbul rasa keirian. Mungkin di masa lalunya Zeline berbuat mulia hingga kini mendapat segala kenikmatan tidak seperti dirinya yang begitu malang hidupnya. Kadang terbesit pikiran apakah dulu dia melakukan sesuatu yang tercela atau melanggar Tuhan hingga mendapat kehidupan yang kurang beruntung. Namun, walaupun begitu ia harus tetap bersyukur dan masih percaya bahwa semua akan indah pada waktunya. Mungkin belum sekarang, dirinya masih harus terus berjuang untuk kehidupan yang lebih baik.

"Freak girl!" panggil salah satu barista.

"Kau dipanggil. Tolong ambil pesanannya ya, Freak girl?" ejek Zeline tak lupa senyuman angkuhnya. Kalea ingin protes tetapi ia urungkan karena barista itu masih terus memanggil 'Freak Girl' yang ditujukan untuknya, lebih baik ia mengambil pesanannya terlebih dahulu. Setelahnya ia kembali ke tempat duduk mereka, Kalea merengut kesal bisa-bisanya Zeline saat ini tertawa puas mengejek dirinya.

"Kenapa nama tadi 'Freak girl'?" protes Kalea.

"Memangnya kenapa? Aku memang sering memakai nama aneh untuk mengambil pesanan. Kau pikir itu ditujukan untukmu?" jawab Zeline tidak acuh. Kalea menghela napasnya berat, ia menyudahi perdebatan itu karena tidak mau menjadi panjang walaupun Zeline masih menertawakannya. Kalea meraih minuman yang ia pesan tadi, lalu meminumnya. Berharap agar emosinya bisa mereda, tetapi wajahnya merengut aneh setelah menghirup kopi itu walaupun sedikit.

Pahit sekali!

Kalea tahu ia memang tidak begitu menyukai kopi, tapi tak pernah terpikirkan bahwa kopi yang ia pesan akan sepahit ini. Ia mulai mencari botol minuman dalam tasnya, berharap agar bisa meredakan pahit yang masih tersisa di mulutnya, tapi naas botol tersebut sudah kosong tanpa ada air setetes pun. Di lain sisi, tawa Zeline semakin pecah karena tingkah Kalea yang menurutnya lucu.

"Bisakah kau tidak terus menertawakanku? Kau pikir aku sedang bercanda?" Kalea mulai emosi.

"Pfft ... maaf ... aku pikir kau memang terbiasa minum kopi pahit ... haha."

Wajah Kalea sedikit memerah, sebenarnya saat ini ia benar-benar malu.

"Ini, minumlah." Zeline menyodorkan minuman red velvet pada Kalea, "Aku memang ragu saat kau memesan Freshly Brewed Coffee, jadi aku pesan minuman tambahan untukmu," lanjutnya.

Sungguh, pandangan Kalea terhadap Zeline seketika berubah, ternyata gadis angkuh itu bisa berbuat baik padanya.

Kalea mengambil minuman cup berwarna merah yang terlihat sangat lezat itu, sampai tersisa hanya setengahnya. Sebenarnya Zeline ingin tertawa, tapi ia tahan dengan menutup mulutnya menggunakan tangan.

"Terima kasih."

"Terima kasih juga untuk tontonan menariknya."

Kalea mendelik kesal pada Zeline, sedangkan pelaku hanya tersenyum usil. "Sudahlah, langsung saja untuk pembagian tugasnya," ujar Kalea mengalihkan topik.

Jarinya mulai mencari-cari jurnal yang mungkin bisa ia jadikan referensi. Ia juga mulai menjelaskan tugas apa yang akan mereka kerjakan karena Zeline dengan jujur mengatakan bahwa ia sama sekali tidak memperhatikan kelas Mrs. Diona pada pagi hari tadi.

Aluna benar, Zeline akan menjadi beban kelompok untuknya.

"Apa kau berhasil menemukan materi yang relevan?" tanya Kalea, karena Zeline sedari tadi malah asik memainkan ponselnya.

"Tunggu sebentar, daddy-ku membutuhkanku."

"Oh, okay." Kalea kembali mengetik bahan materi yang nanti akan ia pindahkan ke microsoft point untuk presentasi minggu depannya. Sesekali ia menyeruput minuman lezat yang sepertinya akan menjadi minuman favoritnya di mana pun dan kapan pun. Walaupun tidak mungkin di cafe ini karena harganya terbilang menguras dompet dan otak Kalea.

"Hei, bisakah kita lakukan di lain hari?" tanya Zeline memecah keheningan.

"Ada apa? Daddy-mu menyuruh pulang?" Kalea bertanya balik. Zeline mengangguk seraya mengeluarkan pouch make up-nya, mulai memoles wajahnya kembali padahal sama sekali tidak ada yang berubah dari terakhir ia memoles. Mau tidak mau Kalea pun menyudahi kerja kelompok ini karena orang tua memanglah tetap nomor satu, siapa tahu ayah Zeline saat ini sangat membutuhkan keberadaan anaknya.

Tak henti-hentinya Kalea memperhatikan tiap pergerakan yang dilakukan Zeline, walaupun anak itu menyebalkan tapi ia tidak bisa menyangkal Zeline sungguh mempesona. Hingga terbesit pikiran konyol apa Zeline pernah merasakan bekerja demi mencari sesuap nasi ya, tetapi tidak mungkin ia lontarkan.

"Kenapa daritadi kau menatapku seperti itu? Menyeramkan," sinis Zeline.

"Tidak kok, kau cantik."

"Haha, aku tahu."

Kalea terdiam sejenak. "Bolehkah aku bertanya?"

Zeline menaikkan alisnya menanggapi perkataan Kalea. "Um ... apa kau ada lowongan pekerjaan? Sebenarnya aku membutuhkan itu." tanya Kalea. Gadis itu tahu tahu ini tidak akan berhasil tapi tidak ada salahnya bertanya kepada siapa pun mengenai lowongan pekerjaan yang ia butuhkan.

"Hah? Apa tidak cukup menjadi asisten dosen sampai mencari pekerjaan lagi?" tanya Zeline sedikit mengejek.

"Jujur iya," jawab Kalea serius membuat Zeline tertegun. Zeline menutup lipstick-nya dan memasukkan kembali ke tempat asal, matanya menatap lurus ke arah Kalea.

"Kalau aku punya, kau mau tukar dengan apa?"

"Tukar?"

"Ya, tentu saja aku tidak akan memberikan dengan gratis pekerjaan itu, bukan? Dan aku juga tidak mau hanya mendapatkan kata terima kasih darimu. Jadi aku membutuhkan timbal balik," ujar Zeline menjelaskan. Kalea sedikit menimbang maksud dari perkataan Zeline, mungkin yang dikatakan gadis itu tidak salah dan tak bisa ia protes, bagaimanapun Zeline memegang kunci yang ia butuhkan.

"Tapi bisakah kauberi tahu apa pekerjaan itu? Agar aku bisa memberikan apa yang aku punya untuk menjadi alat tukar." Kalea sedikit mengajak negosiasi.

"Kau hanya perlu menemani seseorang ke mall ataupun tempat lain, dan dengan cepat uang akan masuk ke rekeningmu dalam jumlah besar."

Kalea mengerutkan alisnya. "Hanya menemani mendapat uang banyak?"

"Ya, mudah bukan?"

"Menemani dalam bentuk apa?"

"Jalan-jalan, menemani mereka belanja dan sebagainya."

"... sungguh semudah itu?"

Zeline mendelik kesal, kecurigaan Kalea terlalu menyebalkan untuknya walaupun hal tersebut sangatlah wajar. Zaman sekarang mendapatkan pekerjaan sangat sulit lalu tiba- tiba ditawarkan hanya menemani seseorang mendapat gaji besar tentu mencurigakan bagi kebanyakan orang. "Aku tidak akan menipumu walaupun kita tidak dekat, tapi yang aku katakan memang benar. Bukti konkretnya adalah aku sendiri."

"Eh? Kau?" Netra Kalea membulat.

"Ya, karena aku juga sama maka dari itu menawarimu. Aku tidak bisa memberitahu lebih detail, jadi cepat beri aku timbal balik!" ujar Zeline tak sabaran. Daddy-nya sedari tadi terus mengirimkan pesan untuknya.

Kalea berpikir cepat, hal apa yang bisa ia beri untuk kesepakatannya dengan gadis pirang ini. Kemampuan, kelebihan apa yang ia punya. "Oh, bagaimana jika tugas ini aku yang kerjakan semua? Presentasi juga," ujarnya setelah mendapat pencerahan.

"Hanya itu penawaranmu?" Zeline tersenyum meremehkan.

"Maaf, aku hanya kepikiran itu." Kalea menunduk, ia tahu itu tidak sebanding dengan pekerjaan yang akan diberikan oleh Zeline. Wajar saja kecewa, apa jangan-jangan Zeline menginginkan dirinya menjadi budak selama beberapa bulan? Tidak, tidak mungkin seperti novel-novel yang pernah ia baca.

"Haah ... sebenarnya aku ingin kau menjadi budakku di kampus selama dua bulan. Namun, melihat kau sebagai asisten dosen, aku kembali berpikir ulang. Jadi ya ... penawaranmu bisa kuterima. Bukankah aku begitu baik hati?" Zeline tersenyum angkuh merasa puas dengan perkataannya sendiri. Ia terkejut ketika pergelangan tangannya digenggam oleh Kalea, netra Kalea berkaca-kaca bahkan mulai menitikkan air matanya.

"Terima kasih banyak, kau dewi penyelamatku!"

"... a—apa-apaan kau, jangan menyentuhku!" Zeline melepaskan genggaman Kalea sedikit kasar. Menatap heran gadis bersurai brunette yang sedang menyeka air matanya, "ah, pokoknya pekerjaan ini tidak boleh kau beritahu siapa pun, tak terkecuali temanmu yang tadi."

"Ya, aku mengerti."

"Aku juga tidak menjamin langsung mendapatkannya, jadi jangan terlalu berharap."

"Tidak bisa, karena jaminannya presentasi minggu depan. Aku ingin kau cepat melakukannya."

"Argh! Ya, ya, cerewet!"

"Terima kasih." Senyuman manis yang tulus terukir di wajah Kalea. Jujur, Zeline terperangah dengan senyuman itu tetapi ia tidak mau mengakuinya. Ia memutar bola mata seraya menyibakkan surai indahnnya.

"Aku pergi duluan," pamitnya.

Kalea pun ikut bangkit dari duduknya. "Oh! Uang untuk tadi—"

"Tidak usah, aku traktir," potong Zeline seraya melangkah ke luar cafe itu meninggalkan Kalea.