Terbiasa dalam pengasuhan keluarga kaya raya, aku yang bernama Serena Wijaya ini terpaksa harus menjalani hari-hari berat saat semua harta keluarga Wijaya dinyatakan habis tak tersisa. Hanya ada kasur tipis dengan memiliki panjang dua ratus sentimeter dan lebar seratus sembilan puluh sentimeter saja. Lebar kasur itu tidak dapat menampung seluruh tubuh anggota keluarga besar kami, yang kebetulan memiliki kepala lima pada masing-masing tubuhnya.
Kami terpaksa tinggal di rumah gubuk pinggir jalan, yang kebetulan tidak berpenghuni sekitar lima tahun terakhir.
Pertengkaran hebat, selalu kudengar dari mulut kedua orang tuaku. Dan yang selalu mereka ributkan hanyalah masalah kebangkrutan keluarga, yang membuat isi kepalaku rasanya ingin pecah.
Karena 'tak tahan, kali ini aku membawa dua adikku keluar dari rumah gubuk itu untuk menghindari pertengkaran antar orang tua, sekaligus mencari udara segar.
Di ujung jalan, aku melihat pedagang ice cream yang berhenti di depan rumah orang. Dan di sekitar gerobak motor ice cream itu sudah dikelilingi beberapa anak kecil yang menanti ice cream-nya. Aku yang sudah berusia belasan tahun saja, pengin menikmati ice cream di bawah sinar matahari yang sangat terik, apalagi kedua adikku yang masih kecil ini.
Namun, dugaanku selalu benar. Selang beberapa detik, kedua saku celanaku rasanya seperti sedang ditarik-tarik, lalu disusul dengan suara menggemaskan dari mereka berdua.
"Kak, minta ice cream dong!" seru Leo Wijaya yang berusia empat tahun.
"Aku juga, Kak!" timpal Selen Wijaya, adik bungsuku yang hanya berjarak satu tahun saja dengan Leo.
Wajah mereka terlihat sangat polos dan menggemaskan sekali, apalagi saat meminta sesuatu, pasti kedua pipinya langsung memerah.
Karena tidak segera dituruti permintaannya, mereka semakin brutal menarik kedua tanganku sambil berteriak. Bahkan, Leo saat ini nekat berguling-guling di jalan paving.
Tapi, apa dayaku? Saat kedua tanganku terlepas dari genggaman mereka, kedua tanganku langsung merogoh saku celana kulot berwarna merah muda salem yang sedang kupakai saat ini, secara bergantian. Namun, aku hanya berhasil menemukan selembar uang kertas yang memiliki nilai dua ribu rupiah saja.
Seketika buliran bening, jatuh dari kedua mataku. Rasanya 'tak sanggup lagi melihat mereka terus merengek-rengek.
Teringat masa, dimana saat aku masih kecil. Semua kebutuhan sudah tersedia di dalam kulkas. Mulai dari susu, ice cream, jajan yang terbuat dari susu pilihan, dan masih banyak lagi. Hingga beberapa stok itu harus dibagikan saat sudah dua bulan lamanya tinggal di dalam kulkas. Selain betah karena banyak makanan, suasana kamarku juga sangat menyenangkan. Beberapa asisten rumah tangga yang ada di rumahku dulu, selalu menyediakan makanan bagi setiap orang yang berkenan datang ke rumah.
Bukan hanya makanan saja yang terpenuhi, tetapi ada banyak macam mainan yang berkeliaran di sekitar ruang bermain. Bahkan, papa sampai membuatkan ruangan khusus untuk menyimpan semua mainanku. Sampai-sampai, anak tetangga betah bermain di rumah.
Rasanya semua itu tidak akan berakhir. Tapi ternyata salah! Aku dan adik-adikku sekarang harus menahan keinginan untuk membeli jajan, hanya karena tidak memiliki uang yang pas untuk dibuat beli jajan. Jangankan uang pas, sepeserpun tidak ada padaku.
Kepalaku saat ini rasanya ingin pecah, tiap mendengar suara rengekan anak kecil yang tidak segera dituruti permintaannya. Dengan tekad, aku berusaha membujuk mereka sambil duduk jongkok di tengah-tengah mereka berdua.
"Tunggu abang ice cream-nya ke sini ya, Dik! Nanti kita beli. Kalau ke sana, ice cream-nya cair, Dik." Aku mengusap punggung mereka masing-masing, lalu memeluk tubuhnya.
"Benar ya, Kak? Jangan bohong!" sahut Leo 'tak percaya padaku, karena sering kali kukibuli masalah dia yang terus merengek saat ingin jajan.
Aku mengangguk, memejamkan kedua kelopak mataku sebentar, sambil berdeham.
Tak lama kemudian, aku melihat beberapa anak kecil yang berkerumun di sekeliling penjual ice cream itu mulai berkurang dan hanya tersisa satu anak saja yang menunggu pesannya.
Tiba-tiba Leo berjingkrak-jingkrak sambil berteriak memanggil abang ice cream dengan kencang, dan diikuti dengan Selena yang ada di samping kananku.
"Bang ....! Kemari! Aku mau beli!!" teriak Leo sambil melambaikan salah satu tangannya.
"Iya, Bang. Selen juga ingin beli ice cream," sambung Selena terdengar lirih, tidak sama seperti Leo yang sekali teriak membuat abangnya langsung menoleh.
Dari ujung jalan sana, terlihat si abang yang mulai tersenyum pada kami bertiga. Lalu, si abang ice cream mulai mengendarai motornya ke arah kami dengan laju sedang.
"Adik mau beli ice cream apa?" tanya si abang ice cream ketika sepeda motornya berhenti di depan kami dengan jarak kurang lebih satu meter.
Pertanyaannya itu membuatku langsung berdiri dari posisi duduk jongkokku, lalu mendekatinya.
"Maaf ya, Bang." —Pandanganku mulai menunduk— "A—aku hanya punya uang dua ribu saja. Apakah bisa dapat dua ice cream untuk kedua adikku ini, Bang?" seruku sambil memberitahu uang kertas yang sudah kupegang sejak tadi.
Setelah beberapa detik terjadi suasana hening, tiba-tiba aku mendengar suara tawa yang begitu nyaring di depanku. Membuat pandanganku sedikit terangkat, lalu melihat si abang ice cream yang ternyata sedang menertawakanku.
"Aduh, si Eneng ... Mana bisa seperti itu, Neng? Ini bukan dari modal nenekmu, jadi tidak bisa seenaknya seperti itu," jawabnya yang membuatku sedikit kecewa.
Memangnya tidak bisa berbagi sedikit untuk orang yang tidak mampu sepertiku?
"Ya sudah, Bang. Kalau begitu, saya beli ice cream seharga dua ribu rupiah saja ya. Maaf sebelumnya," ujarku setelah menelan semua rasa pahit yang ia ucapkan tadi.
"Ok."
Kemudian, si abang mengeluarkan satu kemasan ice cream cone rasa coklat.
Karena tidak sesuai dengan harganya, aku memberanikan diri untuk memprotesnya, "Loh, Bang ... Bukannya ini seharga lima ribu rupiah ya?"
"Ah, iya benar. Sini kembalikan!" Pria itu langsung merampas ice cream cone yang sudah kupegang tadi.
Tiba-tiba Abang ice cream itu menyerahkan dua kemasan ice cream cone dengan rasa coklat padaku.
"Ini untuk adik-adikmu ya!"
"Ta—tapi, Bang ...."
Lalu, si Abang mulai mendekatkan wajahnya ke samping wajahku, sambil berbisik, "Kalau tidak punya uang untuk beli, jangan berkata seperti itu ya, Neng. Minta saja, nanti akan kuberikan secara gratis."
Aku langsung memeluk tubuh si abang, meskipun terhalang oleh kotak besar yang berisi banyaknya ice cream.
"Suatu saat nanti, aku akan membayarnya, Bang. Maaf telah membuatmu rugi kali ini," sahutku dengan berbisik di samping telinganya.
Air mataku tidak dapat kubendung lagi. Aku menangis sejadi-jadinya dalam pelukanku pada tubuh pria yang 'tak kukenal.
Ternyata masih ada orang baik di dunia ini, meskipun kelihatannya sangat kejam.
Dari belakang tubuhku, tiba-tiba dua anak kecil itu mulai sibuk menarik bajuku dengan berkata, "Kakak jangan peluk-peluk! Nanti dimarahi papa loh!"
Aku tersenyum dan langsung menghapus air mataku yang ada di sekitar kedua pipiku, lalu melepaskan pelukanku dan segera melambaikan tangan pada si abang ice cream, sambil mengucapkan banyak terima kasih. Setelah itu, aku menggandeng kedua lengan adikku dan menuntunnya sampai ke depan rumah gubuk yang sedang kami tinggali saat ini.
Bersambung ...