Chereads / MASA ABU-ABU / Chapter 5 - AWAL KISAHKU DENGANNYA

Chapter 5 - AWAL KISAHKU DENGANNYA

Di pertigaan jalan, sebelum keluar dari kawasan perumahan, seorang pria mengenakan seragam sekolah yang bukan satu sekolah denganku. Pria itu baru saja keluar dari halaman depan rumahnya, melewati pintu pagar yang terbuka lebar. Tentu saja bukan dengan jalan kaki, melainkan dengan mengendarai motor CBR150R yang sama dengan yang ada di dalam mimpiku.

Spontan pita suaraku mengeluarkan beberapa kata dengan nyaring, "HEI, TUNGGU AKU!"

Sepertinya dia tidak mendengar suaraku, karena kedua telinganya terhalang dengan helmnya dan suara kebisingan yang ditimbulkan dari knalpot motornya.

'Yah! Padahal aku hanya ingin nebeng sampai depan!' Aku berkata pada diri sendiri, lalu melanjutkan langkah.

Aku harus menempuh lima kilometer lagi untuk bisa keluar dari kawasan perumahan ini. Dan dari pos satpam, aku juga harus melewati seratus meter untuk bisa sampai di pemberhentian angkutan umum. Sungguh melelahkan. Aku harap, ada seseorang yang yang menawariku sebuah tumpangan.

Namun, saat aku selesai memikirkan tentang berapa meter yang harus kutempuh, tiba-tiba terdengar suara knalpot motor yang sama dengan motor tadi. Ternyata, memang pria itu kembali dan berhenti tepat di depanku.

"Mau berangkat sekolah denganku?" serunya dengan kedua tangan melepaskan setirnya dan menegakkan punggungnya.

"Sungguh?" tanyaku memastikan.

Lalu dia tersenyum. "Tentu. Ambil saja helmnya di belakang sebelah kiri ya!" titahnya.

Aku hanya mengangguk, lalu berjalan melewatinya untuk bisa berada di sebelah kirinya. Terdapat sebuah helm berwarna merah muda.

'Ah, mungkin helm ini milik kekasihnya. Makanya dia selalu membawanya.' Gumamku dalam hati sembari memakai helm itu pada kepalaku.

Setelah itu, aku perlahan mulai naik ke atas motornya bagian jok belakang. Sebelum mendaratkan pantatku, kedua lututku lurus dengan bertumpu pada kedua telapak kaki, hanya karena membenarkan rok seragamku yang terlalu pendek, agar tidak beterbangan, lalu duduk dengan tenang.

"Berpegangan dengan erat ya!" perintahnya yang tidak kugubris, karena merasa sangat canggung.

Tiba-tiba tubuhku terasa seperti ditabrak angin, berbarengan dengan suara motor mengeras sebentar dan kembali normal, membuatnya sedikit melompat. Karena takut jatuh, dengan cepat aku langsung mendekatkan dadaku pada punggunga, lalu melingkarkan kedua lenganku pada perutnya.

"Nah, begitu dong! Maaf ya!"

Usai mendengar kalimat tersebut, dia langsung mengemudikan motornya dengan kecepatan yang tidak biasa. Padahal masih dalam kawasan perumahan. Saat bertemu dengan polisi tidur, dengan sengaja dia tidak mengurangi gasnya, alhasil membuat pantatku sedikit terangkat karena ada sebuah dorongan yang terjal.

Sungguh sial! Seharusnya aku tidak ikut dengannya. Mengingat saat ini hampir jam tujuh, kurang sepuluh menit lagi, akhirnya aku tidak berani protes dengan apa yang dia lakukan padaku. Kalau dipikir-pikir, dia memang sedang mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Tidak ada angin, tidak ada hujan. Tiba-tiba dia menghentikan kendaraannya tepat di depan minimarket yang 'tak jauh dari kompleks.

"Tunggu di sini ya! Aku ingin beli sesuatu," serunya tanpa memintaku turun.

Karena melihatku yang 'tak kunjung turun, dia langsung menurunkan jagrak motornya ke samping, lalu dirinya mulai turun dengan sendirinya tanpa menyuruhku untuk ikut turun. Setelah itu, dia pergi tanpa berkata apa pun.

Di jalan raya, sudah 'tak terlihat beberapa murid yang berangkat. Kebanyakan malah beberapa pengendara motor dengan mengenakan jaket dan tas. Pakaiannya sangat rapi. Lebih rapi dari siswa-siswi sekolah di kota ini.

Apa mungkin hari ini hari libur? Ataukah, memang gerbang sekolah sudah pada tutup dan jam pelajaran dimulai? 'Ah, sial! Dia lama sekali. Sudah jam berapa ini?' Gumamku mengutuk.

Tak lama kemudian, pria itu keluar dari minimarket dengan kaca helm yang terbuka. Menunjukkan senyum manisnya padaku. Namun, kali ini aku tidak memiliki suasana hati yang bagus untuk membalas senyumnya.

"Buruan! Sudah sangat siang ini!" protesku dengan tetap duduk di jok belakang motornya.

"Iya-iya."

Langkah kakinya sedikit lebih cepat dari biasanya. Disepanjang langkahnya yang dia ambil, senyumnya pun mulai ikut pudar.

"Maafkan aku," celetuknya sembari duduk di bagian kemudi.

Mulutku bisu setelah mendengar kalimat itu. Ada rasa kesal dihati, karena waktunya kurang lima menit lagi. Mana cukup untuk menempuh perjalanan yang menurutku lumayan jauh? Tapi, dia malah sesantai ini.

Sebelum berangkat, dia sempat mengeluarkan beberapa kalimat dengan suaranya. "Berpegangan ya! Kita akan terbang."

Mendengar kalimat tersebut, aku langsung memeluknya dari belakang. Dan ya, dia langsung tancap gas dengan kecepatan yang tidak bisa dijangkau. Mungkin seluruh seragamku dibuat berantakan olehnya. Tapi, bukan jadi masalah. Yang terpenting aku harus tetap memeluk tubuhnya sampai tiba di depan gerbang sekolah.

Setibanya di sekolah, pintu gerbang sudah tertutup rapat. Aku juga tidak melihat satpam sekolah di pos penjagaan.

"Sekarang hari apa?" tanyaku.

Terlintas dipikiranku tentang jadwal kegiatan pagi setiap harinya di sekolahku. Biasanya satpam tidak pernah meninggalkan pos penjagaan melainkan ada kegiatan upacara di hari Senin.

"Sekarang hari pertamaku pindah sekolah," jawabnya tanpa merasa bersalah.

'Sebenarnya, dia terlalu polos atau emang pengin bercanda sama aku ya?' Gumamku dalam hati, sembari memperhatikan gerak-geriknya.

"Sudahlah! Ditanya apa, jawabnya juga apa. Capek!" pungkasku, lalu berjalan mendekati pintu gerbang setelah turun dari motornya.

Apa aku yang lupa ya? Kenapa halaman depan sekolahan tampak sangat sepi? Ah, memang aku saja yang terlambat hari ini. Tapi, kenapa pria ini tidak mau pergi? Bukannya dia harus pergi ke sekolah barunya?

"Jangan bilang, kalau dia pindah ke sini." Tanpa sadar pita suaraku mengeluarkan beberapa kalimat.

"Hah? Dia siapa?" spontan dia bertanya setelah mendengar suaraku.

Aku hanya menggeleng tanpa berani menoleh ke belakang. Detak jantungku mulai 'tak beraturan. Semoga saja dia melupakan apa yang kukatakan tadi.

Sentuhan tangan seseorang di pundak, membuatku sedikit melompat dan jantungku hampir lepas dari tempatnya.

Reflek, kepalaku langsung menoleh ke belakang dan melihat siapa yang telah mengejutkan. "Hufft! Untung itu kamu. Sudah kubilang, lupakan saja! Lagi pula, perkataanku tidak terlalu penting," saranku.

"Tidak. Aku hanya ingin memberitahumu sesuatu, kalau hari ini adalah hari Senin. Kemungkinan semua guru dan siswa sedang upacara di lapangan. Bukan begitu?" ungkapnya dibalik sikapnya yang suka mengagetkanku.

"Pantas saja! Lebih baik kita tunggu di sini," pintaku agar dia tidak melakukan tindakan di luar nalar.

Namun, apa dayaku ketika tangannya mulai menarik tanganku dan berlari ke arah samping kiri sekolah. Kedua kakinya terus melangkah hingga tiba di belakang sekolah yang dikelilingi pagar tembok. Lalu, dia melepaskan tanganku setelah menghentikan langkahnya.

"Kamu lihat ada celah di situ?" Jari telunjuk kanannya menuding ke arah pagar yang memiliki lubang.

Entah dia tahu dari mana. Tapi, yang pasti, selama aku sekolah di sini, aku tidak mengetahui lubang itu. Apa itu karena aku hanya pergi ke kantin dan sekitarnya saja ya? Tapi kenapa malah dia yang mengetahuinya? Batin dan pikiranku terus bercekcok tentang permasalahan kecil ini.

"Hei! Jangan melamun di sini!" gerutunya sembari mengibaskan tangan kanannya di depan mataku.

"Ah, maaf."

"Oke, lupakan saja! Aku hanya ingin memberitahumu, kalau jalan satu-satunya agar kita tidak terlambat, ya hanya melewati pagar yang berlubang itu. Apakah kau sanggup?"

Dari pada aku telat datang ke sekolah, lebih baik lewat jalan pintas. Tapi ... Bukannya itu kegiatan dilarang oleh Tuhan ya? Kalau ketahuan, bisa kacau hidupku! Aku selalu bertengkar dengan pikiranku. Antara yang baik atau yang buruk, mana yang harus kupilih demi kebaikanku?

Bersambung ...