Keputusan ayah sudah sangat bulat. Kami sekeluarga benar-benar dipindahkan. Saat tiba di depan rumah, semua barang-barang sudah siap di dalam mobil. Dan aku segera turun dari motor untuk memastikan semua barangku.
Lalu, aku berlari masuk ke rumah. Setibanya di kamarku, hanya ada ranjang tanpa kasur di sana dan meja belajarku, selain itu, semua sudah diangkut. Ini cukup aneh.
Akhirnya aku menghampiri mama yang sudah menunggu di samping mobil kesayangan kami.
"Mah, kita mau pindah ke mana?" tanyaku sembari melihat sekitar mobil.
"Loh, motorku ke mana, Mah?" tanyaku sekali lagi setelah memperhatikan dengan sangat teliti.
Bukannya tadi masih dipakai untuk menjemputku ya?
"Ayo, Nak! Kita tidak punya banyak waktu lagi," titah mama yang tidak kuketahui kapan masuk ke mobilnya.
"Jelaskan dulu padaku!" Aku bersikukuh untuk tetap meminta penjelasan dari mereka.
Tiba-tiba ayah keluar dari mobil dan langsung menghampiriku. Lalu, beliau membopong tubuhku dan memaksaku untuk cepat masuk.
"Sudah, cepat masuk sana!" tegas ayah, lalu menurunkan tubuhku dalam posisi berdiri di samping pintu mobil yang sudah terbuka.
Mau enggak mau, aku pun masuk dengan banyak pertanyaan di otakku. Pertanyaan itu seolah-olah butuh jawaban segera. Bukan itu saja, ada satu hal yang membuatku ganjal.
"Kita mau pindah ke mana, Ayah?" tanyaku yang langsung dibarengi dengan suara mesin mobil menyala.
Brumm!
Kami berempat benar-benar pergi meninggalkan istana kami. Ya, meskipun ukuran bangunan itu tidak terlalu luas seperti istana pada umumnya. Tetapi, aku sudah menganggapnya sebagai istana pribadiku.
Bunyi klakson mulai terdengar saat kami melewati pos keamanan di perumahan ini. Rasanya jadi rindu dengan kejadian waktu itu. Dimana saat itu aku dan Andra baru pertama kali bertemu.
Haah ...! Ternyata indah juga masa itu ya. Rasanya tidak ingin segera berakhir. Tapi, sudah sebulan terakhir saat pertama bertemu dengannya. Gumamku antara sadar dan melamun.
Sekilas saat aku melamun, aku melihat jalan yang sangat asing bagiku. Sepertinya jalan ini bukan berada dilamunanku, melainkan kenyataan yang ada di depan mataku.
"Mah, kita mau pindah ke mana sih?" tanyaku celingak-celinguk.
"Nanti juga kamu pasti tahu. Sabar saja!"
Tak lama kemudian, tiba-tiba mobil yang dikemudikan ayah ini berhenti tepat di depan gubuk bambu yang sudah lama tak berpenghuni.
"Segera turun ya! Kita sudah sampai," seru ayah sembari menari tuas rem tangan.
"Kita tinggal di rumah gubuk, Ayah? Kan kita masih punya rumah toh," protesku merasa aneh.
"Lupakan tentang rumah itu. Kita mulai dari awal lagi!"
Why? Ada apa sebenarnya? Kenapa tiba-tiba seperti ini? Bukannya perusahaan ayah sudah sukses? Bukannya rumah itu mau diberikan padaku? Sebenarnya apa yang terjadi? Gumamku terus bertanya-tanya. Kali ini sungguh membuatku pusing.
Gimana enggak pusing, semua yang kulihat hari ini, sama seperti yang ada di mimpiku. Tinggal di rumah gubuk. Posisinya berada di paling ujung pemukiman. Jika ayah meneruskan perjalanan ini, rasanya seperti tidak ada pemukiman lagi.
"Sudah, jangan kebanyakan mikir! Kita langsung beres-beres saja biar enak nanti, tinggal istirahat," ayah menegurku dalam keadaan dirinya yang sedang mengangkat beberapa barang.
Akhirnya aku mulai membantu mereka. Walaupun dipikirkan berjam-jam pun, yang mengetahui jawabannya adalah ayah sendiri. Jadi, percuma saja jika ayah tidak memberitahuku.
Saat tubuh ini tiba di ambang pintu, aroma tanah dan debu mulai tercium. Udara yang lembab, dingin, dan ada banyak sarang laba-laba yang menggantung di tiap-tiap sudut dan atap. Benar-benar sebuah gubuk yang tidak layak huni.
Seperti ruangan hampa yang tidak bisa dihuni lagi.
Kenapa kusebut gubuk? Karena rumah ini terbuat dari anyaman bambu. Tiap malam pasti banyak udara yang masuk melalui lubang-lubang dari rongga bambu yang dianyam.
"Jangan berdiri di depan pintu dong, Ser. Jadi terhalang jalannya nih!" lagi-lagi ayah menegurku.
"Iya, Ayah. Hmm ... Kenapa mesti pindah ke sini ya, Yah? Kan ayah masih bisa kontrak rumah yang layak atau beli rumah yang lebih kecil dari rumah kita," aku masih sempat bertanya disela-sela kesibukan ayah.
"Uangnya bisa untuk keperluan lainnya, Serena. Sudah! Ikuti saja kata ayah!" jawab ayah terlihat jengkel.
Sekitar tiga jam lebih kami lewati bersama untuk bersih-bersih sekaligus menata beberapa barang, akhirnya selesai juga. Karena dikerjakan oleh tiga orang dewasa, sisanya entah main ke mana.
Kami bertiga duduk bersila, dengan beralaskan tikar saja. Karena gubuk ini hanya memiliki satu ruangan saja. Kebayang nggak sih, bagaimana keadaannya?
Dari sini, kami saling menatap satu sama lain. Tatapan ayah mulai terlihat sangat serius. Mungkin, beliau ingin berkata sesuatu.
"Buat Serena dan anak-anak ayah lainnya, ayah minta maaf ya, karena sudah membuat kalian susah. Semua ini di luar kendali ayah. Maksudnya, bukan rencana ayah. Intinya, perusahaan ayah bangkrut. Rumah kita disita bank dan motor kesayanganmu, terpaksa ayah jual, buat biaya makan bulan-bulan berikutnya. Maaf ya, jika ayah belum bisa sewa rumah yang layak. Ini saya kita tinggal dengan gratis," ungkap ayah. Ada sebuah penyesalan di raut wajah ayah.
"Kalau begitu, Serena tidak perlu ke sekolah baru, Yah. Biarkan aku bekerja saja," pintaku dengan polos.
"Tidak!" Namun, ayah langsung menolaknya. "Kamu harus tetap sekolah. Kebetulan di sekitar sini ada sekolahan negeri yang sangat ringan biayanya. Jadi, biarkan ayah mencari pekerjaan agar kamu bisa melanjutkan sekolahmu," tuturnya yang tidak pernah menerima pendapatku.
"Baiklah."
Namanya juga anak, hanya bisa pasrah, tanpa harus mengeluarkan drama. Padahal, dengan aku tidak sekolah, aku bisa membantu kebutuhan keluarga tiap bulannya dengan bekerja pada salah satu toko yang ada di sini. Itu sudah lumayan banget, bukan.
Apa aku sembunyi-sembunyi saja ya. Mengatakan tetap sekolah, tapi kepergianku tiap pagi itu malah untuk bekerja? Ya, lebih baik aku seperti ini, dari pada harus berdebat di sini.
Hampir menjelang sore, kami dan sekeluarga belum bisa mandi. Karena belum tahu di mana letak sumber mata air. Di gubuk ini tidak ada kamar mandi, hanya ada keran air di belakang rumah. Dan keran air itu pun tidak menyala sama sekali. Mungkin, hanya sebuah pajangan saja.
Akhirnya, kamu memutuskan untuk menata kasur-kasur kami agar berbaris dengan posisi sejajar. Alhasil, seluruh ruangan ini dipenuhi dengan kasur. Bahkan sampai tidak bisa menutup pintu karena dihalangi oleh kasur busa milik adikku.
"Ya, seperti ini sudah sangat aman. Mari tidur, biar besok, bangunnya lebih cerah lagi wajah kita," seru ayah.
Selama di dalam gedung ini, mama tidak pernah membuka mulutnya. Entah apa yang terjadi padanya. Aku juga tidak bisa memaksa mama untuk membuka mulut. Mungkin, beliau belum bisa menerima keadaan saat ini.
Bersambung ...