"Kenapa Serena?" teriak para murid cewek. Seakan-akan tidak mau terima kenyataan.
"Sudah-sudah. Biar dia memperkenalkan diri dulu," sahut Bu Evi.
"Baiklah. Namaku Andra Wijayanto. Kalian bisa memanggilku Andra. Khusus Serena, panggil sesuka hatinya saja. Oh ya, saya memiliki hobi bermain gitar. Jika kalian ingin belajar, datanglah ke rumahku, tentunya harus dapat izin terlebih dahulu dari Serena," kata Andra makin ke mana-mana.
Mendengar semua kalimatnya itu, aku langsung beranjak dari tempat dudukku. Punggung sedikit bungkuk dan kedua tangan kuletakkan di atas meja. Dengan berani dan penuh percaya diri, aku mulai mempertanyakan semua kalimatnya, "Kenapa harus aku? Kita kan baru kenal!"
"Iya, benar kata Serena," sambung beberapa wanita di belakangku yang tak kuketahui siapa orangnya.
"Sudah-sudah, jangan diributkan lagi! Karena tempat duduk yang kosong ada di samping kiri Serena, silakan kamu duduk di sana saja, Nak," potong Bu Evi.
Dan Andra langsung menghampiri bangkuku, lalu duduk di samping kiriku.
"Hai, kita bertemu kembali," sapanya tiba-tiba, membuat jantungku berdegup kencang.
'Tenanglah! Dia hanya menyapamu! Jangan sampai diriku baper olehnya!' Gumamku yang langsung memalingkan wajahku dari tatapannya. Berulang kali tangan kananku memukul pelan jantungku dari luar tubuh.
Ah, sial!
Di setiap jam pelajaran berlangsung, dia selalu curi pandang hanya sekedar melihat wajahku. Saat kupergoki, dia pun mengedipkan matanya padaku. Mau heran, tapi ini Andra.
'Tolong ya, ganteng. Kalau tidak punya perasaan apa-apa padaku, setidaknya jangan buat jantungku terus berdetak lebih cepat dari biasanya. Aku sungguh tidak tahan!'
Dan akhirnya, aku memutuskan untuk izin ke toilet pada saat jam ketiga yang baru saja dimulai. Kebetulan, guru pengajarnya sangat baik dan penyabar, jadi tidak masalah untuk meminta izin.
Namun, baru saja tubuhku berdiri dari posisi sebelumnya, tangannya langsung menarik tanganku ke bawah, hingga membuatku kembali dalam posisi sebelumnya. Yaitu duduk di sampingnya kembali.
"Ada apa ya, Serena?"
Sepertinya guru pengajar saat ini mengetahui tingkahku.
"Ah, sebenarnya tidak ada apa-apa, Pak. Hanya saja, aku ingin buang air kecil sebentar," jawabku sedikit ragu, sembari berpura-pura menahan sesuatu.
"Kalau begitu, silakan saja pergi ke kamar mandi ya!"
"Baik, Pak," pungkasku, lalu segera beranjak dari kursiku.
Namun, lagi-lagi dia mencegah langkahku yang baru saja tiba di bangku baris kedua, dengan mengatakan, "Jangan percaya, Pak! Dia hanya ingin kabur saat jam pelajaran bapak."
"Oh ya?" tanya guru pengajar saat ini yang sering dipanggil dengan sebutan pak Ridho.
"Iya, Pak."
Tiba-tiba pak Ridho meletakkan buku yang ada dalam genggamannya itu di atas meja, dan langsung berdiri. "Kamu anak baru di sini, sepertinya hanya sok tahu saja," tegasnya membuatku diam mematung.
"Untuk Serena, silakan ke toilet. Setelah itu, kembali ke kelas ya, Nak," tutur pak Ridho dengan penuh lemah lembut.
"Baik, Pak!"
Dan aku segera meninggalkan kelas. Tapi, aku tak tega saat melihat Andra ditegur pak Ridho. Setahuku pak Ridho itu orangnya penyabar, tapi enggak tahu kenapa beliau bersikap seperti itu di depan Andra. Aku juga baru mengetahui sikap aslinya.
Sebenarnya, niatku ke toilet hanya untuk menghindarinya. Namun, karena tak tega membayangkan dia yang bakal kena marah, akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke kelas.
"Loh, kenapa kembali lagi, Nak? Sudah selesai?" tanya pak Ridho yang pertama kali melihatku di ambang pintu kelas.
"Iya, Pak. Terima kasih ya," jawabku sambil membungkuk, lalu kembali ke bangkuku.
Dan pelajaran pak Ridho pun disambung kembali.
Tanpa terasa, bel sekolah yang menunjukkan jam istirahat pun berbunyi. Pak Ridho dan beberapa guru yang sedang mengajar di kelas lainnya itu, dengan terpaksa harus melanjutkan di keesokan harinya ketika ada jadwalnya.
Oh ya, setiap ke sekolah, aku selalu membawa bekal makan siang. Bukan karena tidak punya uang. Hanya saja, lebih sehat makan masakan rumah ketimbang beli. Lagi pula kita juga tahu bahan-bahan di rumah lebih higienis dan fresh.
Baru saja aku mengeluarkan kotak bekal makanku dari ransel, tiba-tiba lengan kananku ditarik. Siapa lagi kalau bukan pria tampan nan manis yang mampu memikat hati ini.
"Kita ke kantin bareng, yuk, Ren!" ajaknya dengan tatapan yang sulit dimengerti.
"Tidak!" Aku menggeleng, kemudian melanjutkan perkataanku, "Aku sudah bawa bekal makanan dari rumah, Ndra."
"Kutraktir deh," bujuknya dengan penuh harap.
Aku bergeming, sembari menatap wajahnya. Oh, shit!!! Jantungku mulai bekerja lebih cepat lagi. 'Ayo, Ren! Kontrol dirimu sendiri! Jangan bikin harga dirimu turun!'
"Kamu kenapa, Ren? Jantungmu sakit? Kenapa sering dipukul sendiri?" tanya Andra polos.
"Atau kita ke UKS saja?" sambungnya dengan tangan yang mulai mengulur padaku.
Dengan cepat, aku langsung menepis lengan itu agar tidak sampai menyentuhku.
"Tidak! Sana loh, ke kantin sama temen-temen lainnya! Masak mau sama aku," titahku, sembari membuka kotak bekal makan siangku dan berusaha mengabaikannya.
Namun, setiap kali aku mencoba untuk mengabaikannya, jantungku makin tidak karuan. Sepertinya minta disumbangkan langsung ke orang yang lebih membutuhkannya.
Percuma saja sih, walaupun aku terus memintanya pergi, kalau dia tetap ingin di sini, bersamaku. Lalu, apa yang bisa kulakukan?
Seketika aku terkejut saat dia mulai beranjak dari posisi duduknya yang ada di sampingku, sambil berkata, "Baiklah kalau begitu, aku akan ke kantin sendiri. Kamu, mau pesan apa? Biar kubawakan dari kantin."
Kupikir, aku akan bebas beberapa menit darinya. Tapi, ternyata, kali ini dugaanku salah. Bukannya pergi dariku, dia malah menunjukkan eksistensinya. Apakah sebelumnya dia juga seperti ini?
Untuk mempersingkat waktu, aku hanya menggeleng. Lalu, dia pun pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun.
"Akhirnya, aku bisa makan dengan tenang," aku berkata pada diriku sendiri, dengan kedua tangan sibuk mempersiapkan makan siangku sejak tadi.
***
Baru setengah dari makanan yang kubawa habis, terlihat oleh kedua bola mataku bahwa Andra sedang berjalan ke arahku sambil membawa sekantong kresek hitam berukuran sedang.
"Hai, Serena sayang ...! Apakah bekal makanan yang kamu bawa itu sudah habis?" sapanya basa-basi.
"Bagaimana mau habis, kamu tiba-tiba datang dan langsung berbasa-basi denganku," sahutku sangat jutek. Bahkan kotak bekal makanku langsung kututup.
Baru saja aku memasukkan kotak bekal ke dalam kantong kresek yang sempat kubawa dari rumah tadi, aku pun mendengar suara cewek-cewek yang berusaha menggodanya.
"Hai, Andra ... Bolehkah aku kenal denganmu lebih dekat lagi?"
"Maaf, coba langsung tanyakan pada Serena saja!" jawabnya simpel.
"Kenapa harus Serena?"
Seketika wajahku langsung menoleh, hanya karena ingin melihat ekspresi wajahnya.
"Karena dia kekasihku, sebelum aku pindah ke sini!"
Jantungku kumat kembali. Uhhh, rasanya seperti sedang melayang, tanpa beban dan pikiran terlalu banyak.
Apakah aku jatuh cinta padanya?
Bersambung ...