Beberapa kali aku mendengar suara ayam jantan berkokok. Bukan hanya itu saja, beberapa suara kicauan burung ikut bersahut-sahutan, membuat kedua kelopak mataku reflek terbuka lebar. Beberapa pantulan cahaya matahari sudah mendarat di sebagian dinding, bahkan hampir sepenuhnya terkena pantulan cahayanya, namun karena masih tertutup gorden tebal, jadi tidak terlalu menyeluruh.
Sentuhan udara pagi yang menyapa permukaan kulitku, membuatku semakin enggan untuk bangun. Ujung selimut yang turun sejak semalam, perlahan kutarik kembali hingga menutupi ujung kaki sampai batang leherku. Seluruh tubuhku menekuk ke arah samping kiri. Berulang kali sebuah barang membangunkanku dengan suaranya yang nyaring.
'Tumben mama tidak membangunkanku?' aku bergumam pada diriku sendiri sembari menarik ujung selimut hingga menyembunyikan kepalaku.
Saking nyamannya di bawah selimut, mataku sempat terpejam beberapa menit. Namun, aku sempat tersadar kembali ketika mendengar suara dering ponselku. Karena masih sangat malas, aku hanya mengeluarkan lengan kananku untuk meraba-raba meja yang ada di sebelah ranjangku. Kebetulan letak ponselnya tidak terlalu jauh, jadi masih bisa dijangkau walau dalam keadaan mata tertutup.
Aku melihat ada tulisan nomor yang tak kukenal di atas layar ponselku.
"Apakah ini penting?" ucapku, lalu mengabaikan panggilan masuk tersebut dan meletakkan ponsel di samping tubuhku.
Setelah beberapa detik kuabaikan, ponselku pun langsung hening. Kupikir gangguan ini akan terus-menerus. Sedetik setelah mempunyai pikiran seperti itu, ponselku pun kembali berdering untuk kedua kalinya. Ah, sial! Seharusnya aku tidak mempunyai pikiran seperti itu. Akhirnya aku menyerah dengan langsung mengangkat panggilan masuk di ponselku.
"Selamat pagi, Cantik ... Ayo bangun! Aku sudah ada di depan rumahmu," sapa seseorang dari seberang ponsel. Suaranya terdengar tidak asing lagi bagiku.
Namun, karena baru bangun tidur, otakku masih loading, jadi harus butuh beberapa waktu untuk sadar.
"Siapa yah? Tahu dari mana nomorku?" tanyaku dengan spontan.
"Ya Allah, aku Andra. Bukannya kemarin kamu yang memberiku nomormu?" jawabnya berusaha mengingatkanku.
Spontan tangan kananku menepuk jidatku sendiri hingga menimbulkan suara. "Maaf ya, aku lupa kalau masih pagi begini."
"I—iya ...."
"Apah ...? kamu sudah ada di depan? Sepagi ini?" Sontak aku langsung bangun dari tempat tidurku dan berlari keluar kamar dalam keadaan ponsel masih di samping telingaku.
Di sepanjang langkah kakiku yang cepat, aku terus berteriak hingga membuat seluruh orang yang ada di rumah bangun.
"MAAHH ... KENAPA TIDAK MEMBANGUNKANKU? AKU KESIANGAN, MAH!"
Tiba-tiba wajah mama nongol dari celah pintu kamarnya.
"Kamu hari ini tidak usah ke sekolah saja ya," seru mama membuatku langsung berhenti.
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
"Mulai besok kita pindah rumah," jawabnya santai.
"Pindah? Bukannya ini rumah kita sendiri, Mah? Kenapa harus pindah?"
"Nanti malam biar papamu yang menjelaskan. Jadi, bersantai lah di rumah!" Beliau langsung masuk dan tak lupa menutup kembali pintu kamarnya.
"Kenapa pindah?" Suara dari seberang ponsel berhasil membuatku lompat kecil dan jantungku langsung berdegup kencang.
Kemudian aku mengelus dadaku ketika sadar bahwa ponselku masih terhubung dengan ponsel Andra. Dan segera kujawab, "Aku akan segera turun. Kita bicarakan di teras rumahku saja ya."
"Oke," pungkasnya, lalu panggilan telepon ini berakhir dari pihak sana.
Hanya membutuhkan waktu dua menit saja, aku sudah berada di teras rumah menuju halaman untuk membukakan pintu gerbang untuknya. Kali ini, aku benar-benar tidak memperhatikan penampilanku. Aku bahkan masih memakai sandal berbulu motif kelinci yang sering kupakai di kamar dan ruangan lainnya di rumah.
"Ya Allah, maaf ya, Ndra. Jam berapa sih sekarang?" tanyaku dengan napas yang berangsur-angsur.
Andra pun menatap jam tangan yang ada di tangan kirinya. "Masih jam enam sih. Mending hari ini kamu pergi ke sekolah deh. Kan besok pindahnya," jawabnya sekaligus memberikan saran.
Jujur, aku tidak tahu apa rencana keluargaku ke depannya. Tiba-tiba diajak pindah sekeluarga, tanpa rembukan terlebih dahulu.
"Ayo masuk dulu! Kita bicarakan di teras," ajakku sembari mendorong pintu gerbang agar terbuka lebih lebar lagi.
"Oke deh."
Dan dia pun memasukkan motornya ke dalam gerbang. Lalu, duduk di kursi kayu teras rumah. Kebetulan ayah menyediakan kursi di teras. Sudah lama sih. Dan aku duduk di sebelahnya dengan dibatasi sebuah meja bundar yang berdiameter sedang.
"Sebenarnya, aku juga ingin pergi ke sekolah hari ini. Apa kita izin bareng-bareng saja ya? Sekalian sarapan bareng," usulku dengan senyum manis agar dia mau mengikuti perkataanku.
"Boleh sih, tapi aku malu kalau langsung bertemu mamamu." Pandangannya langsung menunduk saat menyebut kata mama.
Kupikir dia tidak pernah punya rasa malu, soalnya sikapnya yang blak-blakan ini cukup membuatku percaya kalau dia selalu siap menghadapi apa pun.
"Ya, kita hadapi sama-sama. Lagi pula mamaku tidak galak."
Andra sempat terdiam sejenak. entah apa yang dia pikirkan saat ini. Tak lama kemudian, dia seperti sedang tersengat listrik, tubuhnya sedikit gemetar, lalu menatapku cukup lama.
Sesudah itu, tiba-tiba tanganku digenggam olehnya dan menariknya ke dalam rumah.
"Ayo, kita katakan sekarang saja," serunya dengan semangat yang membara.
Aku nggk tahu dia kesurupan dari mana, tapi yang pasti, sikap inilah yang kukenal saat pertama kali bertemu dengannya. Sok pemberani dan siap menghadapi tantangan baru di depannya.
"Baiklah. Mari kita lakukan!"
Akhirnya, kamu sama-sama melakukannya.
Sesampainya di depan pintu kamar mama, jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Seakan-akan menghadapi masalah besar atau musuh yang lebih besa dari kita. Jelas! Soalnya tahta tertinggi dalam kekuasaan adalah emak-emak.
Ingat sendiri kan, bagaimana emak-emak menaiki sepeda motor di jalan raya? Ya begitulah, tidak perlu dijelaskan lagi.
Tok! Tok! Tok!
Siap enggak siap, tangan Andra sudah mengetuk pintu kamar mama dan tak lama lagi, mama akan keluar dari kandangnya.
"Ada apa?" seru mama dibarengi dengan terbukanya pintu kamar.
"Selamat pagi, Tante ...."
Seketika kedua mataku langsung melotot ketika melihat Andra yang tiba-tiba menggunakan suara lembut yang bukan khasnya.
"Pagi. Kamu Andra ya?" tanya mama yang terlalu basa-basi.
"Iya, Tante. Aku Andra. Saya boleh minta izin nggak?"
Di sini, detak jantungku makin tidak bisa dikontrol lagi. Aku takut respon mama tidak akan sesuai dengan ekspektasinya.
"Boleh, asal jangan bawa Serena kabur dari rumah." Mama langsung tertawa kecil.
Ah, syukurlah! Biasanya kalau mama sedang marah, responnya bukan begini. Tapi, untungnya suasana hati mama sedang membaik.
Dan dari sini, aku mencoba mengambil ahli untuk mengobrol dengan mama. Karena yang tahu sifat mama tiap harinya adalah aku, anaknya.
"Ma, biar aku saja yang menggantikan bicaranya ya. Kita bicara empat mata di dapur saja." Aku langsung menggandeng lengan kiri mama dan mengajaknya pergi ke tempat yang sudah kubicarakan.
Pandangan kami saling bertemu, seakan-akan saling menyapa satu sama lain.
Dengan tarikan napas panjang, aku pun mulai berbicara sembari menghembuskan napas perlahan, "Mah, hari ini izinkan aku datang ke sekolah untuk terakhir kalinya! Please ...!"
Bersambung ...