Tubuhku yang mungil ini sudah terbalut oleh seragam putih abu-abu dan seragm yang kupakai sekarang ini, masih kulapisi dengan jaket kulit asli berwarna hitam yang ukurannya press body. Bagian kedua telapak dan punggung tanganku sudah kubalut dengan sarung tangan berbahan kulit yang memiliki warna serba hitam. Dari sekian banyaknya koleksi sepatu di lemari kaca, hatiku memilih sepatu sneakers berwarna putih polos tanpa gradasi warna apa pun.
Jangan lupa, di setiap lekukan tubuh terdapat aroma yang membuat semua orang pada terpikat. Ya, aku selalu menyemprotkan parfum sebanyak mungkin hingga tahan sampai pulang sekolah nanti. Untuk bagian wajah, aku hanya mengolesinya dengan skincare andalanku. No dempul dan no make up. Untuk bibirku yang mungil dan sedikit seksi ini, hanya perlu diolesi lip serum saja, karena sudah dari sananya berwarna merah muda. Sampai semua guru tidak percaya dengan warna bibir yang kumiliki. Tak lupa juga, aku mencangklong tas ransel hitam di bahu kiriku.
Setelah semua selesai, aku pun keluar dari kamar lalu menuruni anak tangga untuk menemui Andra yang ditemani mama di ruang tamu.
"Ayo kita berangkat, Ndra! Kita berangkat dulu ya, Mah," seruku dari atas anak tangga diurutan ketiga paling bawah.
"Iya, hati-hati ya!" tutur mama.
Lalu, aku menjabat tangan beliau dan langsung mencium punggung tangannya. Dan Andra pun mengikuti langkahku, dengan mencium punggung tangan mama.
"Tante, kami berangkat dulu ya," pamit Andra yang sudah kutinggal sejak tadi.
Aku bahkan sudah berdiri di ambang pintu sambil menunggu kedatangannya.
Oh ya, di sini rok SMA cewek memiliki ukuran panjang selutut saja. Karena aku sedikit tomboi dan sedikit nakal dalam berpakaian, panjang rokku jadi sedikit di atas lutut. Bagian tertentu di tubuhku, tidak terdapat aksesoris seperti murid lainnya, karena memang aku tidak menyukainya.
Tanpa kusadari, Andra sudah sibuk mengeluarkan motornya, dengan memberi tanda dengan cara mengejutkanku melalui pita suaranya. "Ayo! Nanti kita telat ...."
"Ah, iya ... Bye, Mama. Aku berangkat dulu ya!" pamitku sembari melambaikan tangan pada mama, lalu berlari kecil ke arah Andra yang sudah ada dua luar pintu gerbang.
Andra langsung menyodorkan helm full face warna merah muda itu padaku, ketika kedua kakiku baru sampai di sampingnya.
"Nih, dipakai ya! Biar sama-sama aman." Lirikan matanya yang menatapku dari bawah sampai wajahku, membuatku merasa sedikit aneh. "Jangan cemberut dong!" lanjutnya, lalu tersenyum padaku.
Padahal ekspresiku sudah cocok sama penampilanku ya, kenapa mesti disuruh senyum sih? Kan kurang afdol. Mau enggak mau, aku mulai tersenyum di hadapannya. Ingat! Hanya dihadapannya saja.
"Nah, gitu dong! Kan tambah cantik ...," dia memuji dengan sangat manis, membuatku tersipu malu di hadapannya.
Kemudian, aku segera meraih helm yang ada di tangannya itu dan langsung kupakai di kepalaku. Setelah itu, aku naik di bagian jok belakang yang masih kosong. Sempat kesulitan, karena memakai rok sekolah yang terlalu pendek, ditambah motor sport milik Andra yang terlalu tinggi untuk ukuran seorang Serena.
Bayangkan saja diriku ini seperti campuran tokoh anime dan drakor. Wajahku ini hampir mirip dengan tokoh Anya Forger yang kelewat imut dan tinggi tubuhku seperti artis Song Hye Kyo. Ah, bisa dibayangkan, bukan? Bedanya, bentuk hidungku yang kecil, mancung, dan sedikit runcing ini sering dijuluki sebagai Serena Pinokio oleh teman-temanku.
"Sudah naiknya, Ren?" tanya Andra tiba-tiba.
"Hah, iya ... Sudah. Yuk!" jawabku sedikit panik. Ternyata tadi hanya melamun.
Dan perlahan, kendaraannya mulai melaju. Kedua mataku pun sibuk menatap pintu rumah yang sudah tertutup. Kupikir, mama menatapku sampai aku tak terlihat lagi. Ternyata tidak.
Tak lama kemudian, kami baru saja keluar dari kawasan perumahan. Posisinya sudah ada di jalan raya kota. Banyak kendaraan yang melaju searah dengan kendaraan kami. Beberapa rambu lalu lintas mulai terlihat di bahu jalan. Lampu lalu lintas pun berfungsi setiap saat dan kali ini, diujung depan kendaraan kami terdapat lampu lalu lintas yang menyala pada lampu berwarna merah.
Karena kami murid teladan yang taat dengan ruang lalu lintas, Andra pun langsung menghentikan motornya sebelum melewati perbatasan lampu lalu lintas.
Sambil menunggu lampu hijau menyala, tiba-tiba Andra mengajakku mengobrol di tengah-tengah banyaknya orang yang ikut menunggu.
"Enggak ada PR kemarin kan?" se-random itu pertanyaannya.
"Seingatku enggak ada sih." Tanpa sengaja, lirikan mataku tertuju pada kaca spion yang kebetulan menampilkan wajah imutku di sana.
"Oh, aman kalau gitu."
"Iya," pungkasku dengan pikiran yang mulai tidak terfokuskan lagi karena sudah bertemu dengan sebuah cermin.
Tanpa kusadari, Andra mulai melajukan motornya lagi. Sekilas aku melirik ke arah lampu lalu lintas. Ternyata lampu hijau sudah menyala. Entah sejak kapan, yang pasti aku dan dia tidak menunggu lagi. Kali ini, Andra tidak mampir-mampir lagi ke minimarket.
Sesampainya di parkiran sekolah, Andra memintaku untuk jangan pergi lebih dulu. Seolah-olah dia ingin menyatakan sesuatu. Tapi, jangan kegeeran dulu.
Aku disuruh menunggu dirinya yang membelakangiku. Entah apa yang dia lakukan. Memang tidak ada otaknya sih. Bukannya cepat balik badan, dia malah semakin lama dalam posisi yang sama.
Namun, tak lama kemudian, tubuhnya mulai berbalik ke arahku. Perlahan langkahnya mulai mendekatiku. Semakin dekat, semakin tidak ada jarak diantara kami. Ujung kakinya yang terbalut dengan sepatu itu mulai menyentuh ujung depan sepatuku. Dada kami saling bersentuhan. Ahhh ...! Rasanya jantungku berdegup kencang.
"Kebiasaan! Helmnya dilepas dulu! Jangan manja!" celetuknya, membuat kedua kelopak mataku berkedip dua kali.
Dag! Dig! Dug!
Kali ini jantungku rasanya benar-benar ingin lepas dari tempatnya.
'Ahhh ... Siapapun, tolong aku!!! Ini terlalu tidak baik untuk jantungku!' gumamku dalam batin. Rasanya seluruh tubuhku tak berdaya.
Ditambah kedua tangannya yang mulai membuka helm yang kupakai ini secara perlahan, bahkan sangat hati-hati.
Huuh! Huuh! Ayo, Serena! Kendalikan dirimu!
Dengan sekali tarikan napas, aroma tubuhnya menerobos ke paru-paruku hingga terngiang-ngiang di pikiranku. Ditambah, hembusan napasnya yang wangi ini menabrak wajahku berulang kali.
"Nah, kalau dilepas, cantiknya jadi kelihatan," serunya, lalu mengunci helm itu di bagian samping motornya.
Karena tak sanggup lagi dengan perlakuannya, otakku menyuruh kedua kakiku untuk berlari secepatnya. Dari pada aku hilang kendali, lebih baik kuhindari dari sekarang.
"HEIIIII!!! KENAPA LARI? TUNGGU AKU, SERENA!" pekiknya, membuat kedua kakiku semakin berlari.
'Ayo, Ren! Ayo, Ren! Jangan toleh ke belakang! Kita lanjutkan saja sampai tiba di kelas!' gumamku menyemangati diri sendiri, sembari memegang dadaku yang semakin berdegup kencang.
"Hai, Serena ...."
Beberapa murid dari adik kelas dan juga seperantaranku, sibuk menyapaku. Namun, aku tidak membalas sapaan mereka, karena menghindari Andra yang sedang mengejarku.
Bersambung ...