Chereads / MASA ABU-ABU / Chapter 15 - HARUS BERPISAH

Chapter 15 - HARUS BERPISAH

Masa pengejaran Andra berhenti, ketika salah satu guru kesayangan seluruh murid SMAN 01 Darmawangsa menegur kami berdua.

"Hei, kalian bukan anak TK lagi. Tolong, jaga sikap kalian berdua!"

Dalam posisi berdiri yang berdampingan di depan Bu Ani, pandangan kami berdua langsung tertunduk.

"Maafkan kami, Bu," spontan aku dan Andra bersuara berbarengan. Sekilas pandanganku menatap wajah Bu Ani yang terlihat sangat sabar dan penyayang.

Kemudian, aku merasakan sentuhan tangan di atas kepalaku. Perlahan telapak tangan itu mulai mengusap, sampai membuat rambutku sedikit acak-acakan.

"Baiklah. Kali ini, ibu maafkan. Tapi, kalian harus janji, untuk tidak mengulanginya lagi!" tutur Bu Ani.

Spontan aku mengangguk sekali, kemudian telapak tangan yang nongkrong di atas kepalaku itu pun mulai pergi dari sana dengan diikuti kepergian Bu Ani yang menuju ke ruang guru.

***

Akhirnya, tepat pukul dua belas siang, bel sekolah pun berbunyi dengan sangat nyaring, menandakan bahwa jam istirahat dimulai. Selama ini, aku hanya menghabiskan jam istirahatku di kelas sambil menyantap bekal makan siangku, karena memang diriku lebih suka menyendiri. Namun, kali ini, tiap jam istirahat dimulai, Andra selalu mengajakku ke kantin. Meskipun sering ditolak, tetapi dia terus mencoba. Bukannya enggak pernah ke kantin, hanya saja aku malas ketika disuruh mengantre panjang.

"Ayolah, Seren! Kita makan di kantin. Kamu enggak perlu ngantre deh. Cukup duduk di tempat pilihanmu, nanti aku dan makanan yang datang padamu. Gimana?" bujuknya dengan berbagai penawaran.

'Sepertinya seru juga kalau aku duduk manis, eh tahu-tahu makanan sudah datang. Okdeh!' Aku berbicara pada diriku sendiri sembari cengengesan.

Kemudian, aku mengangguk-angguk, sambil merespon tawarannya, "Baiklah! Tapi, aku bawa bekal makan siangku ya. Mubazir kalau enggak dimakan."

"Oke, Cantik. Ayo!" Dia langsung mengulurkan tangannya.

Dag! Dig! Dug!

Setiap di sampingnya, jantungku rasanya sudah tidak aman. Karena tidak ingin berdebar terus-menerus, aku memutuskan untuk memalingkan wajahku dan meninggalkannya. Namun, langkahku yang belum jauh darinya ini, mendengar gumamannya.

"Ah, sungguh tertantang diriku untuk mendapatkannya."

Kalimat itulah yang kudengar dengan jelas, membuatku tersenyum dalam keadaan kedua kaki tetap melangkah.

Baru saja tiba di depan pintu kantin, hampir seluruh murid sedang mengantre panjang, bahkan suara mereka terdengar sangat nyaring, seperti sedang terjadi kegaduhan. Bola mataku terus mencari-cari dan terakhir, aku menemukan satu kursi kayu panjang dan juga meja kayu dengan ukuran panjang yang sama. Seakan-akan kursi itu paling bercahaya diantara banyaknya gerombolan murid-murid yang sedang menyibukkan diri di sekitarnya.

"Ayo kita ke sana," seruku sembari berlari ke arah meja tersebut.

"Tunggu, Ren. Jangan lari-larian! Nanti jatuh," tutur Andra, sepertinya ikut belajari di belakangku.

Untung saja perkataannya tidak jadi kenyataan. Buktinya, pantatku sudah mendarat terlebih dahulu di atas permukaan kursi panjang yang kuincar ini.

Baru juga duduk, tiba-tiba seluruh murid yang ada di dalam kantin ini terdiam, ketika mendengar suara sound sekolah yang mulai berbunyi.

"Test ...! Test ...! Apa kalian bisa mendengarkan saya?" seru Pak Ridwan atau yang sering disebut bapak si penjaga mic. Suaranya pun bergema di setiap sudut ruangan sekolah.

Spontan seluruh murid yang ada di kantin ini berteriak dengan sangat nyaring, "DENGAAAR, PAK!!!" Entah suara ini bisa sampai ke ruangan pak Ridwan atau enggak, tapi semua di sini sudah merespon dengan sangat baik.

"Oke, oke ... Suara kalian terdengar jelas di sini. Baiklah. Di sini bapak ingin memanggil salah satu murid cantik yang selalu jadi idola. Pasti kalian sudah tahu dong, sepertinya enggak perlu disebutkan lagi," kata pak Ridwan membuatku sedikit emosi.

Murid-murid yang lainnya juga mulai memprotes ketidak-jelasan pak Ridwan. Namun, tiba-tiba, pak Ridwan tertawa dengan sangat nyaring. Untung saja tawanya tidak berlangsung lama.

"Baiklah. Kali ini bapak mulai serius. Untuk murid yang bernama Serena Wijaya, harap datang ke ruang guru, karena ada urusan penting. Terima kasih," pungkasnya, lalu sound sekolah dimatikan secara manual.

"Ciee ... Yang dapat julukan murid cantik dan idola di sekolah ini," goda Andra yang tidak jadi memesan makanan. Dia malah duduk di seberang kursiku, berhadapan denganku.

"Apa-apaan sih. Padahal enggak gitu," sahutku malas, lalu membereskan bekal makan siangku.

Sebelum beranjak dari kursi, aku pun berpamitan padanya, "Kutinggal dulu ya, Ndra. Sampai ketemu di kelas nanti." Tangan kananku senantiasa melambai padanya.

"Eits, tunggu dulu!" —Dia mencegahku–yang tiba-tiba berdiri di hadapanku— "Bekal makan siangnya boleh untukku?"

Kupikir kenapa. Ternyata hanya meminta bekal saja. Karena sudah diminta, aku pun langsung menyerahkan padanya sembari tersenyum tulus. "Tapi, jangan sampai ada yang tersisa ya! Nanti mereka nangis," gurauku, dan dilanjut pergi begitu saja setelah dia menerima bekalku.

Belum juga jauh dari kantin, kedua telingaku mendengar gosip dari banyaknya mulut yang ada di sekitarku. Kalau tidak salah, mereka berkata, "Pantas saja dibilang cantik dan idola, orang bapaknya sering menyumbang di sekolahan ini, bahkan sumbangannya itu lebih besar dari beberapa wali murid yang menyumbang."

Ada yang berkata seperti ini, "Tapi, dia memang cantik. Jadi, pak Ridwan tidak salah dong!"

Ya Allah ... Jujur, aku benci situasi seperti ini. Aku hanya ingin ketenangan tanpa mendengar gosip apa pun tentang hidupku. Enggak di rumah, enggak di sekolah, semua sama saja.

Meskipun aku membatin, tapi kedua kakiku terus melangkah, seakan-akan mengabaikan semua gosip-gosip itu, atau bahkan seperti tidak sedang mendengar apa pun.

Setibanya di ruang guru, aku disambut baik oleh beberapa guru yang ada di ruangan itu. Sisanya mungkin ada yang sedang melakukan salat (bagi guru yang beragama muslim). Saat kedua mataku mencari-cari sesuatu yang bisa mengundangku ke sini, tiba-tiba mereka berhenti di sudut ruangan. Apakah mereka tidak salah melihat?

"Ayah? Sedang apa ayah kemari?" tanyaku, mengabaikan semua guru.

Pria yang memiliki jabatan sebagai ayah itu pun mulai mendekatiku perlahan, seraya berkata, "Aku menjemputmu, Nak. Hari ini kamu harus pulang! Dan ayah harap, kamu bisa beradaptasi di sekolahan barumu nanti."

Tunggu! Pindah sekolah?

"Kenapa hari ini? Bukannya kata mama, besok ya, Yah? Aku masih ingin menghabiskan hari terakhirku di sini," sahutku dengan kedua kaki yang perlahan melangkah ke belakang.

"Memangnya kenapa kalau sekarang? Kan sama saja! Sudah, jangan bantah lagi! Ikuti semua ucapan ayah!" tegasnya membuatku langsung tertunduk.

Kemudian, dari belakang tubuhku, seperti ada seseorang yang merangkulnya dari sana. Rangkulan itu seakan-akan ingin menghibur kekesalanku. Tapi, percuma saja. Aku terlanjur kesal.

Namun, saat aku mendengar suara wanita yang begitu lembut. Seakan suara itu mendekap erat perasaanku. Tapi, sayang, suara itu hanya kudengar sangat lirih.

"Ikuti kata ayahmu, Nak! Ibu jamin, semua akan baik-baik saja. Bukannya Serena gadis baik dan cantik! Harus semangat ya!"

Reflek aku berbalik arah dan memeluk tubuh dari pemilik suara itu.

"Ibuuuu ...." Tanpa kusadari, air mataku jatuh.

Bersambung ...