Usai pikiranku sedikit tenang dalam dekapan Bu Ani, akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti perintah ayah.
Di sini, aku diantar Bu Ani untuk membereskan semua barang-barangku di kelas, termasuk di loker samping kelas. Sebelum benar-benar pergi, aku hanya ingin teman-temanku tidak mengetahui kepergianku. Aku pun meminta tolong pada Bu Ani untuk menungguku sebentar di luar kelas. Dan Bu Ani menuruti permintaanku.
Di dalam ruang kelas ini, hanya ada aku sendirian yang menatap ke arah tiap sudut yang penuh terdapat banyak kenangan. Meskipun aku sering mengasingkan diri, tapi mereka selalu baik padaku. Tidak ada satu pun yang mengabaikanku.
Sebelum pergi meninggalkan kelas penuh kenangan ini, aku menulis surat yang kuletakkan di laci meja Andra saja. Satu surat itu sudah terisi salam perpisahan untuk teman sekelasku sekaligus permintaan maaf selama ada aku di kelas ini.
Di setiap tinta yang kugoreskan di atas kertas putih, terdapat air mata yang 'tak henti-hentinya jatuh. Kali ini benar-benar 'tak bisa kubendung lagi. Karena aku sudah merasa nyaman dengan kelas ini, meskipun teman beda kelas lainnya tidak menyukaiku, tapi masih ada yang mampu menghargaiku.
"Semoga Andra menemukan surat ini ya. Terima kasih atas semua kenangannya," gumamku pada ruangan kosong. Lalu, meletakkan kertas yang sudah terlipat-lipat di dalam laci meja Andra.
Soalnya, Andra sering meraba-raba laci mejanya saat jam pelajaran dimulai. Entah apa yang dia lakukan, intinya dia tidak pernah lupa untuk meraba-raba laci mejanya sendiri. Seperti seorang pecandu.
Kemudian, aku keluar dari kelas setelah puas menyendiri dalam kelas. Namun, saat kakiku baru sampai diambang pintu, aku melihat Andra yang sedang berbincang dengan Bu Ani. Kelihatannya mereka sangat serius membahas sesuatu. Karena tidak ingin mengganggu mereka, aku memutuskan untuk diam di tempat tanpa bersuara.
Semaksimal mungkin sudah kuusahakan agar mereka tidak mengetahui keberadaanku, tetapi Andra yang menyadarinya. Dia langsung menoleh ke arahku.
"Kamu mau ke mana, Ren? Kamu ingin meninggalkan semua di sini? Padahal aku pindah ke sini itu demi kamu," ungkapnya sembari mendekatiku, lalu memegang kedua lengan atasku.
Kami saling berhadap-hadapan dan beradu pandang tanpa mencetak garis senyum di samping hidung. Tatapannya padaku begitu dalam, bahkan sangat dalam dari biasa yang dia lakukan padaku tiap harinya.
"Maaf, Ndra. Tolong, kamu lupakan aku! Aku tidak bisa melawan takdirku, begitu juga dengan dirimu," aku memohon padanya. Permohonanku di sini bukan seperti orang yang sedang sembayang, hingga sujud ke lantai. Melainkan memohon dalam bentuk sebuah ucapan.
"Kata siapa nggak bisa? Buktinya aku bisa pindah ke sini tanpa izin orang tua," sahutnya, menolak pernyataanku.
"Aku mohon, Ndra. Lagi pula, banyak wanita yang lebih cantik dari aku."
"Tidak lebih baik dari kamu! Aku maunya kamu, dan hanya kamu! Biarkan aku ikut denganmu." Kedua tanganku ditahan olehnya.
"Andraaa ... Tolong kerja samanya ya! Bisa dibicarakan di luar sekolah saja. Ini masih di lingkungan sekolah," serobot Bu Ani yang tiba-tiba berdiri di samping kiriku.
Andra mulai menundukkan pandangannya, namun tetap membantah ucapan Bu Ani, "Tidak bisa, Bu. Biarkan aku ikut Serena pulang, ke rumahnya."
"Ya sudah, kalau itu keinginanmu. Ikutlah ke ruang guru. Izin langsung ke kepala sekolah!" tutur Bu Ani yang langsung melepaskan tanganku dari genggamannya, lalu beliau menggantikan tangannya.
Dan kami bertiga langsung menuju ruang guru. Setelah aku dikembalikan ke ayahku, Bu Ani langsung mengantar Andra ke ruang kepala sekolah. Tapi anehnya, mengapa ayah tidak segera pergi dari sekolah ini dengan mengikutsertakan diriku. Seakan-akan sedang menunggu sesuatu.
Di sini, aku hanya diam membisu seraya memperhatikan beberapa guru yang mulai sibuk setelah menghabiskan bekal makan siangnya. Padahal jam istirahat belum usai, tapi ada beberapa yang sudah menyiapkan buku yang akan dijadikan sebagai bahan materi saat mengajar nanti.
Dan tak lama kemudian, Andra memasuki ruang guru dengan membawa semua barangnya yang ada di kelas, termasuk surat yang telah kutulis tadi.
Tanpa kuduga, di hadapan ayah, Andra mulai mengutarakan perasaannya, "Maaf, Om. Saya izin ikut Serena pergi dari sini. Maksud saya, jika Serena pindah sekolah, aku juga akan ikut pindah."
Kalimat itu berhasil membuat seluruh guru yang ada di ruangan ini menoleh ke arah kami bertiga. Seakan-akan, mereka sedang menonton film aksi yang sangat menegangkan.
"Apakah kau yakin?" tanya pak Ridwan yang baru saja masuk ruangan ini.
Dan Andra pun langsung menoleh ke belakang, di mana sudah ada pak Ridwan yang berdiri di belakangnya. "Iya, Pak. Saya sangat yakin! Apa pun akan saya lakukan, agar bisa dekat dengan Serena setiap hari," ungkapnya membuatku cukup tercengang.
Bagaimana bisa, dia berkata seperti itu? Padahal, baru saja kami saling mengenal dan baru beberapa hari sering jalan bersama, meskipun hanya pergi ke kantin atau ke perpustakaan sekolah. Sunggu tidak dapat dipercaya. Kupikir, dia hanya bercanda soal perasaannya padaku, tapi ternyata. Ah, sungguh sulit ditebak!
"Apa kamu yakin?" tanya ayah.
Spontan membuatku menatap ke arah wajah ayah.
"Sangat yakin, Om. Jadi, tolong jangan pindahkan Serena! Biar aku yang menjaganya dan akan kupastikan, dia akan bahagia jika bersamaku," ungkapnya sekali lagi, kali ini sedikit ada sebuah Kalimat permintaan.
"Bagaimana dengan orang tuamu?" tanya ayah sekali lagi.
Kalau dilihat-lihat, ekspresi ayah tidak berubah sedikit pun. Tidak ada senyum atau mimik wajah yang menunjukkan rasa bahagia. Malah terlihat sedikit datar dan banyak sangarnya.
"Mereka tidak akan memarahiku kalau hanya masalah pindah sekolah saja, Om," jawab Andra santai dengan posisi yang sama. Berdiri tegap, tanpa mengubahnya sedikit pun.
Kemudian, ayah mulai beranjak dari tempat duduknya. Jadi mereka dalam posisi saling berdiri sambil berhadapan satu sama lain. Tiba-tiba ayah menggandeng lengan kananku dengan sedikit tarikan dari beliau — memintaku untuk berdiri tanpa memerintahkan dengan suara.
Setelah aku berdiri, beliau langsung membawaku pergi, melewati Andra yang masih berdiri tegap sembari menatapku dengan penuh kesedihan.
"Om ...!" panggil Andra yang membuat kami berdua berhenti di tengah jalan dalam lingkungan yang masih sama.
"Izinkan aku untuk membahagiakan Serena, Om! Aku janji, aku akan menjaganya dengan sangat baik, seperti om menjaga dan merawatnya dari kecil hingga dewasa dan secantik sekarang," dia memohon.
Padahal, masih banyak guru di sini. Apakah dia pantas berkata demikian?
Di luar dugaanku, ayah menghampiri Andra. Dan ya, sekali ayunan tangan kanan ayah, sebuah tamparan yang menyakitkan itu pun mendarat tepat di pipi kiri Andra.
Reflek aku berteriak, "AYAH ...!"
"Berani-beraninya kau berkata seperti itu! Sebaiknya tutup mulutmu sekarang!"
Seketika semua suasana menjadi hening.
Bersambung ...