Seperti biasa, aku selalu diam membisu saat berada di hadapannya. Rasanya bibir ini tidak mampu berkata-kata lagi dan jantungku berdegup kencang. Aneh! Tapi, inilah yang kurasakan saat ini.
"Wooiiii ...! Jangan bengong saja dong!" tegurnya membuatku menggeleng sekali dan berkedip berulang kali.
"Maaf ...." Sebuah kata penenang sekaligus bisa dijadikan sebagai kata senjata.
Tak lama kemudian, seorang pelayan kafe ini datang membawa nampan yang berisi dua gelas minuman dan juga beberapa camilan yang sudah dipesan. Untuk makanan, biasanya sedang dimasak dan membutuhkan waktu sekitar dua puluh hingga empat puluh menit lamanya, tergantung menu apa yang dipesan.
"Oh ya, Ren ..." —Dia meletakkan ponselnya di atas meja depan dadanya— "Bisakah aku memiliki nomor ponselmu? Jarak rumah kita terlalu dekat, jadi kita berangkat bersama saja," serunya dengan seribu modal dusta.
Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, ucapannya itu ada benarnya juga. Kalau aku sakit, bisa langsung mengabarinya, sekalian titip surat izin tidak masuk sekolah.
Lalu, aku meminta ponselnya untuk langsung kusimpan nomorku. Dengan mudahnya, dia langsung memberikan ponselnya padaku. Bahkan ponselnya tidak dikunci dengan keamanan ekstra.
Baru saja layar ponsel itu menyala, aku melihat fotoku yang terpampang jelas di depan mataku.
'Bukannya foto ini diambil ketika Class Meet? Kan dia belum pindah ke sini. Dapat dari mana dia ini?' gumamku yang penuh dengan rasa curiga.
Sejujurnya aku tidak berani bertanya tentang apa pun. Namun, kali ini rasa penasaranku mengalahkan segalanya. Dengan tekad yang bulat, aku pun bertanya, "Dapat dari mana fotoku yang ini?" Seraya menunjukkan layar ponselnya.
"Oh itu. Kebetulan aku akrab dengan salah satu guru di sini. Beliau sering membawa kamera saat ada kegiatan," jawabnya dengan penjelasan yang mudah dipahami.
"Oh, pak Rendra?" tebakku sambil mengacungkan jari telunjuk.
"Ya, dia orangnya. Baik banget orangnya. Kemarin aku yang minta fotomu itu pas ketemu di minimarket dekat perumahan itu." Punggungnya tak lagi bersandar, malah kedua siku tangannya bertumpu di atas meja dengan tubuh sedikit condong ke depan.
"Iya. Dia kalau lagi ngajar di kelas tuh, jarang banget ngasih tugas rumah. Jadi, semua tugas harus selesai sebelum jamnya habis. Kadang dilanjut jam ngajar di hari berikutnya," ungkapku terasa nyaman saat ngobrol dengannya. Rasanya aku mulai cocok dengannya.
"Enak dong. Tapi, ada rasa khawatirnya itu. Kan kejar waktu."
"Pasti dong," pungkasku sambil tersenyum.
Dan tanpa kusadari, ponsel Andra sudah berada di atas meja. Untung tidak ada yang mengambil dari tempat itu. Aku baru sadar ketika dia mulai menegurku karena terlalu lama mengetikkan nomor ponsel. Ya, tahu sendirilah! Wanita bisa melupakan apa saja ketika sedang mengobrol sesuatu yang mengasyikkan.
"Mana nomornya, Ren?"
"Ah iya, maaf ya ...."
Karena tidak enak, aku segera mengetik nomorku dalam kontak ponselnya, lalu segera mengembalikan pada pemiliknya.
"Ok, terima kasih," pungkasnya, kemudian dia mengotak-atik layar ponselnya. Sepertinya sedang mengubah sesuatu.
"Permisi ...."
Seorang pelayan yang berbeda dengan tadi itu datang kemari sembari membawa sebuah nampan yang berisi makanan yang sudah di pesan. Bahkan, beberapa makanan masih ada di dapur karena tidak muat jika hanya sekali diantar.
Aroma mie ayam yang dipadukan dengan kuah kaldu sapi, benar-benar membuat isi perutku bergoyang. Bukan hanya itu saja, lidah ini rasanya ingin segera menikmati setiap bumbu yang meresap ke dalam makanan tersebut. Ah, sial! Aku tidak bisa menahannya lagi.
"Ini yang level iblis itu, Mas?" tanyaku sebelum meraih semangkok mie ayam itu.
"Iya benar, Mbak. Apakah ada yang salah?" jawabnya terlihat sedikit kebingungan.
"Oke, tidak ada yang salah kok. Terima kasih ya," pungkasku dengan diakhiri cengengesan.
Dan si pelayan cowok ini pun membalas senyumanku dengan senyuman yang paling manis.
"He'em ...!"
Aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah Andra setelah mendengar dehamannya. Ya, kupikir Andra tidak akan menyukai gadis yang suka tebar senyuman, jadi langsung kuhentikan begitu saja.
Tak lama kemudian, seorang pelayan yang sama datang kembali untuk membawakan pesanan yang masih ada di dapur. Pria kembali tersenyum padaku setelah meletakkan pesanan pelanggannya di atas meja.
"Silakan dinikmati ya ...! Have a nice day ...," serunya, reflek membuatku tersenyum kembali.
"Ok ... Ok!" respon Andra membuatku sedikit heran.
Tak habis pikir. Kenapa Andra bisa sejengkel itu ketika melihatku tersenyum lembut pada pria lain?
Saking penasarannya, aku langsung bertanya padanya, "Kamu kenapa, Ndra? Sepertinya kamu tidak suka dengan pria itu?"
Terlihat, dia menghela napas panjang. "Bukannya tidak suka sih, hanya saja ...." Dia menggantung ucapannya.
"Apa!?" Kedua alisku berkerut.
"Lupakan saja. Mari kita makan!"
Dengan kesal, aku mengalihkan pandanganku ke arah lain sambil berkata, "Jangan berusaha mengubah topik pembicaraan!"
Setelah itu, aku mengambil sumpit yang terpisah dengan mie ayamnya. Perlahan kuaduk mie ayam itu hingga semua bumbu tercampur rata. Sebelum kunikmati, aku selalu mencicipi cita rasa yang ada di dalam mangkuk tersebut. Karena, jika kurang sedikit saja garamnya, akan mengubah segalanya.
Sluuurrpp!
Mulutku berulang kali mengecap setelah bumbu yang bercampur kuah kaldu sapi itu menyentuh lidahku.
"Heemmmmm ... Nikmatnya ...," seruku, spontan membuat kepalaku bergoyang ke kiri dan ke kanan.
Selang beberapa detik, suara tawa Andra mulai terdengar di telingaku.
Lirikan mataku langsung tertuju padanya dan langsung bertanya, "Kenapa kau tertawa?"
Seketika dia menghentikan tawanya dan langsung mengubah tatapannya menjadi sayu tanpa senyum. Lalu, dia membenarkan posisi duduknya.
"Tidak ada. Aku ketawa karena kamu lucu tadi. Maaf ya," jawabnya dengan tatapan penuh penyesalan.
"Baiklah, lupakan saja."
Setelah menghabiskan beberapa jam di dalam kafe, akhirnya aku memutuskan untuk pindah tempat. Kali ini aku ingin pulang malam, meskipun tahu bahwa tidak ada seorang pun yang akan mencariku nanti. Dari pada di rumah, mending kuhabiskan waktuku di jalan bersama Andra hingga larut malam.
Tepat pukul sembilan malam, saat duduk berdua di kursi taman kota, Andra sempat menatap wajahku yang membuat tatapanku langsung beralih ke wajahnya.
"Pulang yuk!" Kalimat pertama yang keluar dari mulutnya, setelah melewati suasana canggung.
Dalam genggaman tangan kami masing-masing, terdapat satu cone ice cream dengan varian rasa sesuai selera masing-masing.
"Enggak ah. Aku masih ingin di sini, Ndra. Capek di rumah," jawabku malas, lalu menjilat ice cream dalam genggamanku yang hampir meleleh.
Aku merasa, dia makin menggeser pantatnya agar lebih dekat lagi denganku. Namun, aku hanya pura-pura tidak mengetahuinya. Dan tanpa kusadari, lengan kanannya sudah merangkul pundakku.
"Memangnya kenapa kok capek di rumah? Ada masalah?" tanyanya penasaran.
Tapi, aku tidak mempedulikan pertanyaannya. Bahkan aku mulai mengubah topik pembicaraan kami. Karena aku tidak ingin terlihat lemah di depan siapa pun. Biarkan aku dan Tuhan saja yang tahu semuanya.
Bersambung ...