Kupikir, semua kebahagiaanku akan berlangsung lama. Namun, ternyata tidak. Beberapa masalah mulai muncul dalam hidupku. Rasanya seperti sedang bermimpi.
Semua berawal dari, ketika aku selalu mendengar pertengkaran kedua orang tuaku di dalam kamarnya. Beberapa kata berhasil tertangkap oleh kedua telingaku. Sempat tertegun mendengar semua percakapan mereka.
Sebenarnya, apa yang terjadi?
Tanpa kusadari, aku hanya berdiam diri di depan pintu kamar orang tuaku. Entah berapa lama yang sudah kuhabiskan untuk mendengar pertengkaran mereka. Kurasa, hampir satu jam yang berlalu.
"Ah, sudahlah! Toh, mereka juga biasa melakukannya. Lagian, aku masih anak kecil, jadi tidak baik kalau ikut campur," gumamku seraya mulai menjauhi pintu kamar mereka, dengan mengambil langkah ke belakang secara perlahan-lahan.
"Eits, kakak dari mana?" tanya Leo, adik laki-lakiku.
Pertanyaan itu, sontak membuat tubuhku melompat kecil dan langsung berbalik arah.
"Ish, Leo ya ... Kebiasaan anak ini! Jangan bikin jantung kakak jadi lemah ya!" aku mengomelinya saking kesal.
Tatapannya yang sayu, membuatku tak tega dan langsung minta maaf padanya. Tubuhnya yang mungil itu langsung kudekap dengan erat.
"Kakak minta maaf ya, Le. Kakak tidak bermaksud untuk memarahimu," bisikku di samping telinganya.
Namun, tanpa kusangka, bagian leherku tiba-tiba terasa sakit setelah merasakan hembusan napasnya. Sontak membuatku teriak histeris dan langsung mendorong tubuhnya agar menjauh dariku.
"Kamu kenapa, Le? Kenapa kakak seperti ini?" protesku, berusaha menggunakan nada rendah.
"Kakak jahat! Kakak jahat!" Lalu, dia berlari menuju kamarnya dan langsung membanting pintu kamarnya dengan menimbulkan suara yang sangat keras.
Tak lama kemudian, mama keluar dari balik pintu kamarnya dan langsung bertanya, "Ada apa, Ren?"
Aku bergegas meninggalkannya sembari menutup bagian leherku yang terasa sakit. Dan setibanya di kamar, aku juga ikut membanting pintu kamarku.
Aku hanya duduk di pojok kasur, dengan kedua lutut bersentuhan dengan dagu, seraya menatap jendela kamar yang memperlihatkan suasana rumah sebelah. Dari sudut jendela yang nampak di depanku, memperlihatkan sebuah hubungan keluarga yang sangat harmonis. Di mana seorang ayah baru pulang kerja dan langsung disambut oleh kedua anaknya, sedangkan ibunya langsung menyiapkan meja makan untuk makan bersama nantinya.
Seketika kedua kakiku lemas tak berdaya. Rasanya hidup ini sungguh tidak adil. Mengapa? Karena, keluarga yang ada di depan mataku kini, terlihat sangat bahagia dengan keharmonisannya. Sedangkan, keluargaku sendiri lebih sering bertengkar, bahkan untuk makan bersama di satu meja makan pun, jarang dilakukan. Apalagi sampai bercanda gurau seperti keluarga mereka.
Beberapa saat kemudian, gendang telingaku sedikit bergetar karena mendengar suara pintu terbuka. Lalu, disusul dengan suara sedikit cempreng dan serak, khas mamaku.
"Mama sedang bertanya loh, Ren. Kenapa langsung pergi begitu? Enggak sopan nih!"
"Loh, bentar-bentar ... Itu kenapa lehermu mengeluarkan cairan kental yang banyak? Habis ngapain?" lanjutnya.
Aku semakin enggan menoleh ke arahnya. Dengan kesal, aku pun mulai menjawab pertanyaannya yang menyebalkan itu, "Tanyakan saja pada Leo, Mah! Ini ulahnya!"
Beliau langsung keluar dan melupakan untuk menutup pintu kembali
Dari kejadian ini, aku benar-benar tidak bisa menyimpulkan apa pun tentang keluargaku. Pikiranku terasa buntu dan kepalaku mulai memberi reaksi yang cukup kuat. Yaitu, rasa pusing yang amat pusing. Hingga rasanya cepat-cepat ingin berbaring di atas spring bed-ku. Dan akhirnya, aku benar-benar memilih untuk berbaring santai.
Beberapa suara teriakan khas emak-emak mulai terdengar di kamarku. Sepertinya Leo sedang dimarahin habis-habisan. Biarkan saja! Gara-gara dia, leherku jadi memiliki bekas yang cukup serius
Baru beberapa menit saja aku bersantai, mama muncul kembali dari balik pintu kamar yang tidak ditutup.
"Coba keluar, Ren. Ada temanmu tuh!" titah mama sambil mengedip salah satu matanya. Lalu, senyumpun mulai mengembang.
Biasanya kalau mama menggunakan kedipan mata, tandanya ada orang ganteng di sekitar. Seingatku, teman sekolahku tidak ada yang ganteng. Mengapa mama memberi isyarat itu? Karena penasaran, aku langsung beranjak dari tempat tidur. Meskipun berat hati, meninggalkan spring bed-ku yang penuh daya tarik ini, tapi aku tetap keluar dari kamar, karena gejolak di hati yang penuh rasa penasaran dengan siapa yang datang ke rumah saat ini.
Kedua kelopak mataku langsung terbuka lebar, ketika melihat seorang pria yang berulang kali menolongku di sekolah. Bukan hanya menolong, melainkan membuat hariku ikut sial.
"Andra?" spontan mulutku mengatup, menyebut namanya.
"Lehermu kenapa, Serena? Kenapa banyak cairan kental yang keluar dari sana?" Andra langsung berdiri dari posisi duduknya, lalu mendekatiku yang masih ada di atas anak tangga.
Pandanganku langsung menunduk. "Ah, tidak apa-apa, Ndra. Sana duduk kembali! Kubuatkan minuman untukmu ya," sahutku seraya menghindari sentuhannya.
Namun, semakin dihindari, dia semakin bersemangat untuk menyentuhkan telapak tangannya pada lenganku.
"Enggak usah menghindariku, Ren!" tegasnya, lalu tiba-tiba dia makin naik ke lantai dua, di mana ada mama yang tak jauh dariku.
"Maaf, Tante. Ada kotak P3K?" tanyanya dengan suara sangat lembut, bahkan terdengar sangat sopan.
Tunggu sebentar! Dari mana dia tahu alamat rumahku? Kompleks dan nomor rumahnya sangat jauh, mengapa dia bisa ke sini?
Saking sibuk memikirkan hal itu, sampai saat aku membalikkan tubuhku ke belakang, dia sudah tidak ada di belakangku lagi. Entah, dia pergi ke mana. Hanya ada mama yang berdiam diri di sana sambil memperhatikan gerak-gerikku.
"Ke mana pria tadi, Mah?" tanyaku dengan spontan.
"Dia ke ruangan yang ada di sebelah kamarmu. Katanya mau mengambil kotak P3K untukmu," jawab mama terdengar santai.
Beberapa keheningan mulai muncul di tengah-tengah kami berdua. Sempat bola mataku berkeliling ke arah atap. Beberapa corak atap yang bernuansa putih-gold itu terlihat jelas oleh kedua mataku. Karena sudah lama tidak memperhatikan atap.
Tak lama kemudian, Andra keluar dari ruangan yang disebutkan oleh mamaku tadi, sembari membawa kotak P3K yang memiliki ukuran sedang.
"Ayo turun, biar kita sembuhkan sekarang," serunya, bergegas pergi dari ruangan.
"Tapi—"
Tiba-tiba, tanganku yang mungil dengan sepuluh jari lentik ini langsung digenggam olehnya dan langsung menuruni anak tangga bersamaan.
"Sudah, kamu diam saja! Kalau tidak segera ditutup, nanti kamu bakalan kekurangan darah," sahutnya tanpa menoleh sedikit pun.
Model rambutnya dari belakang, kelihatan sangat rapi, meskipun sedikit panjang dari aturan yang ada di sekolah. Lehernya yang jenjang, berhasil membuatku menelan saliva yang diakibatkan oleh gejolak kecil, membuat tenggorokanku segera dibasahi.
Kupikir, hanya menelan saliva saja, semua gejolak itu segera menghilang, namun ternyata, beberapa gejolak lainnya mulai muncul dan membuatku makin tak tahan.
Spontan, aku mengibaskan salah satu tanganku yang berada dalam genggamannya, sambil berkata, "Sudah ah ... Aku tidak ingin mengikutimu!"
"Mengikutiku?" Dia langsung menoleh ke belakang, lalu sedikit dimiringkan ke kanan.
Bersambung ...