"Sudah, lupakan saja!" Aku bergegas melewatinya.
Pada saat salah satu kakiku mulai menginjak anak tangga yang ada di bawahnya lagi, dia langsung menarik lenganku. Hingga membuat punggungku mendarat pada dadanya.
"Sebenarnya, kamu mau kuobati tidak?" Lengannya merangkul dadaku. Tatapan kami saling bertemu. Kemudian, garis senyumnya mulai tampak begitu jelas.
Aaahh ... Sepertinya aku salah tempat. Jantungku juga tidak bisa diajak kerja sama. Mungkin, kedua pipiku kali ini sudah merah merona dihadapannya.
"Sudah ah, Mama mau ke pasar ya, Ren. Jaga rumah dan adikmu juga," celetuk mama yang tiba-tiba sudah berpakaian rapi dengan aroma SCANDAL LOVE, sesuai dengan lekuk tubuh beliau.
Selang semenit dari perkataan beliau, Andra langsung mendorong tubuhku agar berdiri tegak, lalu melepaskan rangkulannya. Dan mama langsung melewati kami begitu saja. Seakan-akan tidak ada wujud kami di sampingnya.
Setiap pagi sampai sore, papa selalu di kantor, menghabiskan waktu setengah harinya di sana. Kebetulan hari ini hari libur, jadi mamaku bisa pergi ke mana saja, tanpa harus menjaga rumah lagi.
Ah, jadi ibu rumah tangga itu sangat susah dan penat. Banyak sekali pekerjaan yang harus mereka pikirkan setiap harinya. Meskipun kelihatannya santai, tapi dalam otaknya, dia terus berpikir sesuatu. Dan aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Hanya mereka saja yang mengetahuinya.
"Hei, ayo kita tutup lukanya!" ucap Andra yang tiba-tiba menggendong tubuhku di punggungnya.
Dan aku pun pasrah. Benar-benar pasrah. Sampai dia menutup lukaku di atas sofa ruang tamu setelah menuruni anak tangga dengan beban berat badanku.
Setelah menutup lukaku, kami langsung menghabiskan waktu bersama di dapur. Dan kebetulan, dia hobi memasak, sedang aku hobi menghabiskan makanan siapa saja yang tersaji di atas meja.
"Apakah kamu pernah makan masakan Itali, Ren?" tanya Andra. Terlihat, tangannya sangat lihai memotong bahan makanan dengan menggunakan pisau dapur.
Bahkan beberapa teknik memotong yang pernah kulihat pada chef di restoran, sudah sangat ia kuasai. Soal rasa, aku belum tahu pasti, karena benar-benar kali ini aku memiliki seorang teman pria yang nekat datang ke rumah.
Semenjak saat itu, tiap pulang sekolah, Andra selalu menyempatkan waktu untuk datang ke rumah. Entah itu hanya sekedar memasak dan makan bersama di pinggir kolam renang. Yang pasti, aku dan dia telah menjadi sangat dekat.
Hingga akhirnya, kedekatan kami berujung petaka.
***
Aku yang sedang memikirkan bagaimana caranya agar bisa tetap sekolah ini, tanpa sengaja harus mendengar kembali pertengkaran kedua orang tuaku. Kali ini, masalah berbeda dari biasanya.
"SUDAH KUBILANG, JANGAN PERCAYA PADA MEREKA!" salah satu kalimat yang kudengar dari mulut mama.
"Apa salahnya kita coba waktu itu? Lagi pula, kalau memang kesalahan mereka, mengapa dibulan pertama dan kedua ada hasil yang lumayan melejit?" ayah menegaskan dan mencoba membenarkan pernyataan mama yang menuduh ayah.
Semua pertengkaran itu telah membuatku muak dengan lingkungan rumah. Benar-benar muak akan sosok sebuah keluarga. Bahkan kepercayaanku tentang keluarga harmonis saat bergelimang harta, semua telah sirna. Bukan sirna, hanya saja aku terlalu percaya dengan semua kalimat-kalimat penenang itu.
Dengan perasaan yang menggebu-gebu ini, tanganku dengan lincahnya membanting setiap benda yang ada di sekitarku. Tak peduli apa benda itu atau sebagai apa fungsinya. Mungkin, suara bising yang telah kuciptakan ini telah sampai pada kedua gendang mereka. Bukannya keluar, mereka malah semakin mengencangkan suara masing-masing.
Akhirnya, aku memutuskan untuk mencari angin di luar rumah. Lebih tepatnya, taman belakang rumah. Kebetulan terdapat dua ayunan dan dua kursi taman, dan juga beberapa lampu taman yang menghiasi.
Aku duduk di salah satu ayunan dengan posisi bersebelahan. Hembusan angin taman mulai menyentuh kulitku, dengan sensasi dingin dan sedikit hangat. Beberapa daun tanaman pun ikut bergoyang karena ulah si angin. Namun, karena sapaan angin pantai ini, membuatku tersadar akan satu hal.
"Dunia tak selamanya berada di titik baik-baik saja. Dan kita, patut selalu bersyukur dengan apa yang kita miliki sekarang," gumamku dalam kesendirian, hanya ditemani keindahan alam.
Saat sedang asyik melamun tentang indahnya bumi ini. Permukaan kulit kakiku mulai terasa sedikit geli dan terasa seperti ada bulu-bulu halus yang menggores. Selang semenit, terdengar suara kucing di sekitar taman.
"Sejak kapan taman ini ada kucingnya?" seruku ketika mengetahui ada seekor kucing disela kedua kakiku.
Spontan kedua tanganku langsung mengangkat tubuhnya dengan sangat hati-hati, seraya berbicara padanya, seakan-akan dia mengerti bahasa manusia dan sebaliknya.
"Kau tahu tidak, Mpus? Dunia ini sangat kejam ya, bagi kita yang masih kecil ini." Telapak tanganku terus mengelus bulunya.
Usai berbicara random, reflek garis senyumku tercetak dengan jelas, kemudian kuangkat hingga menengadah ke atas. "Sudah gila ya, Ren?" seruku pada diri sendiri.
Meong!
"Loh ...? Kamu, Mpus?" Pandanganku kembali tertunduk, ke arah pangkuanku yang terdapat seekor kucing.
Meong! Meong! Eeeooong!!
Aku semakin gemas dengan suara dan tingkah lakunya ini, membuatku ingin membawanya ke dalam rumah. Tapi, rasanya tidak mungkin kalau kucing ini bisa masuk ke rumah. Ada banyak faktor yang tidak akan mengizinkannya.
Ahhh!!! Sungguh hal terberat ini. Membuatku merasa pusing dalam keadaan kepala menengadah sampai leher belakang bersandar pada sandaran kursi taman.
Dan setelah sekian lama memikirkan hal itu, akhirnya aku berhasil mengambil keputusan yang sangat sesuai dengan isi hatiku. Berharap keputusan ini akan baik-baik saja untuk ke depannya.
***
Di bawah terik matahari, aku berjalan sembari membopong seekor kucing yang kutemukan tadi. Jarak antara taman dengan rumah sangat jauh. Tapi, tetap dalam lingkungan sama dengan pagar tembok mengelilingi luas lebar tanah yang ayah punya.
Baru saja kedua kakiku tiba di teras rumah, telingaku sudah mendengar suara teriakan ayah dari dalam rumah. Teriakan itu sempat membuat detak jantungku berhenti beberapa detik saja. Dan untungnya kembali berdetak di waktu yang tepat.
"Memangnya ada apa sih, Yah? Dia kan makhluk ciptaan Tuhan juga, jadi harus ditolong," sahutku setelah berulang kali memberanikan diri.
"HEI, JANGAN MEMBANTAH YA! KALAU AYAH SUDAH BILANG TIDAK, YA TIDAK!"
Kemudian, beliau membanting pintu. Perbatasan antara teras dengan ruang tamu rumah. Hingga terdengar suara sangat nyaring di telinga.
'Untung jantung ini tidak copot.' Reflek tanganku mengusap dada.
Aku sebagai murid teladan, tidak pernah kehabisan ide. Setelah usai menerima hembusan angin dari pintu yang dibanting, kedua kakiku langsung melangkah keluar pagar. Satu yang ada dipikiranku. Yaitu, aku harus pergi ke rumah Andra.
Entah apa alasannya, namun aku memiliki firasat yang sangat baik tentangnya. Aku percaya, bahwa dia sangat menyayangi hewan berbulu imut.
Baru saja keluar dari gang rumahku, terlihat dengan jelas pagar berwarna hitam yang masih tertutup rapat. Tentu saja hal itu tidak akan mengurungkan niatku untuk meneruskan langkah kedua kaki mungilku.
Dan ya, aku bertemu dengan seorang wanita yang memakai kaos katun berwarna merah muda pastel (pink pastel) dipadukan dengan celana pendek berbahan kain dingin yang memiliki warna hitam. Wanita itu terlihat sangat kusam dibagian wajahnya dan dibagian lehernya mengeluarkan keringat yang begitu banyak. Seluruh rambutnya diikat satu dengan beberapa helai rambut bagian kedua samping wajahnya mulai berjatuhan, karena ikatannya yang tidak terlalu kuat.
Saat melihatku, wanita itu langsung menyapaku dengan sebuah senyuman, lalu mulai bertanya, "Sedang mencari siapa ya, Kak?"
Aku pun langsung membalas senyumannya, lalu menjawab pertanyaannya, "Ah, Andranya ada di rumah?"
Tangan kanannya yang sejak tadi memegang selang air berwarna biru itu pun mulai dilepas ke bawah. "Sebentar ya, Kak. Biar saya panggilkan dulu," ucapnya seraya mengusapkan kedua tangannya pada kaosnya itu.
Setelah kepergian wanita itu, tiba-tiba tanganku dicakar kucing yang sedang kubopong itu. Spontan membuatku langsung melepaskan tubuhnya yang mungil itu dan dia pun berlari jauh dariku.
bersambung ...