"Buruan, angkat kaki kananmu ke telapak tanganku ini! Cepat!" pintanya dalam badan sedikit membungkuk di sampingku, dengan kedua telapak tangan membentu ayunan, yang saling menguatkan.
"Kau yakin?" tanyaku memastikan ucapannya.
"Ya! Cepat! Kita tidak punya banyak waktu!"
Kaki kananku mulai bergetar saat kuangkat, bahkan sampai saat permukaan telapak kakiku mulai menyentuh telapak tangannya. Sepertinya kakiku ini tidak bisa diajak kerja sama.
"Buruan, nih! Keburu upacaranya selesai," serunya membuat kedua kakiku bergetar hebat.
Namun, tetap kupaksa. Waktunya juga tinggal sedikit lagi. Pemimpin upacara juga mengucapkan hormat pada sang merah putih dengan suara lantang. Itu tandanya, kegiatan upacara pun akan berakhir dalam beberapa menit ke depan. Dengan tekad yang kuat, aku memberanikan diri untuk manjat pagar sekolah dari belakang, dengan menggunakan kedua telapak tangannya.
Buugghh!
Tubuhku mendarat dengan baik pada hamparan rumput yang berada di halaman belakang sekolah. Lalu, disusul dengan dia yang tiba-tiba sudah berada di atas pagar, dan ya, hanya sekali lompatan saja, dia sudah mendarat tepat di sampingku.
"Kalau tidak salah, kita harus ke kiri," serunya, lalu menarik lenganku tanpa memberi aba-aba.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanyaku yang terus mengikutinya dari belakang.
"HEI, JAWAB DULU!" Dengan ekstra tenaga, aku berhasil membuatnya membalikkan tubuhnya menghadap ke arahku.
Namun, saat berhadapan langsung dengannya, detak jantung begitu kencang. Apalagi ketika kedua bola matanya menatapku dengan sangat teliti. Rasanya ... 'Ahh, ingin meleleh!'
Kedua kelopak mataku langsung melebar, ketika wajahnya mulai mendekati wajahku, dan selang beberapa detik, bibirku mulai terasa hangat dan sedikit basah dibarengi dengan suara kecupan indah. Apakah aku sedang bermimpi?
"Hei, sedang apa kau? Jangan kebanyakan melamun deh! Ini kita belum dalam situasi aman loh." Kedua pipiku berulang kali ditoel-toel.
'Apakag aku benar-benar bermimpi? tapi bibirku masih basah. Bagaimana ini?' Gumamku sambil meraba-raba bibirku , sampai tidak memperhatikannya.
"Sudah ah!" serunya, lalu kembali menarik lengan kananku dan mengajak kembali berlari.
Saat berlari pun, pikiranku masih tetap tertuju pada kejadian tadi. Beberapa pertanyaan yang sering melintas di otakku, membuat diriku terus memikirkannya. Kalau memang aku bukan sedang bermimpi, lalu kenapa dia benar-benar menciumku? Tapi, bukannya aku dan dia baru pertama kali bertemu yah?
"Lebih cepat lagi dong! Capek tarik setengah dari berat badanmu yang malas berlari," ucapnya membuat pikiran anehku hilang seketika.
Kaki-kaki ini terus menyusuri setiap lorong belakang kelas. Di sini, aku mulai berharap agar tidak ketahuan, karena jika kami ketahuan, maka dikenakan sanksi yang sangat berat. Sanksi ini bukan sekedar tentang bayar denda, melainkan kedua orang tua dipanggil untuk datang ke sekolah. Karena tidak ingin terjadi hal seperti itu, maka aku nekat mengikuti cara pria seumuran denganku ini, menerobos masuk tanpa pengetahuan siapa pun.
Tak jauh dari pagar sekolah yang memiliki celah, kami menemukan sebuah pintu yang kebetulan berada di salah satu kelas dari banyaknya kelas yang berjejer.
"Kita selamat!" serunya sembari menoleh ke arahku, lalu mulai membuka pintunya setelah bertatap muka denganku.
Satu-persatu dari kami mulai masuk secara perlahan tanpa menimbulkan suara apa pun. Karena aku dan dia belum tahu siapa yang akan berjaga mengawasi setiap kelasnya. Meskipun semua ikut upacara, namun ada salah satu guru yang nantinya akan ditugaskan untuk berkeliling di teras kelas untuk mengecek satu-persatu.
"Kita sembunyi di sini dulu ya," bisiknya setelah menutup pintu dengan hati-hati.
Aku hanya mengangguk, lalu kembali mengikutinya yang mulai berjalan mendekati bangku bagian belakang sendiri.
Saat duduk bersebelahan di bawah meja, aku mulai memberanikan diri untuk bertanya padanya.
"Kalau boleh tahu, namamu siapa?" Pertanyaan pertama setelah beberapa menit yang lalu sempat kutahan.
Dia hanya tersenyum, kemudian mendekati wajahku bagian samping. "Andra. Namaku Andra. Jangan sampai lupa ya!"
Suaranya yang lembut dan sedikit ngebass itu, rasanya sangat nyaman untuk didengar dan membuat jantungku ini sedikit tenang karena sedari tadi sudah sangat cemas. Sampai membuatku tidak sadar dengan kalimat yang dia sebutkan.
"Siapa?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan.
"Ah, lupakan saja. Belum semenit loh ini, sudah lupa. Apalagi nanti, tambah enggak ingat," jawabnya dengan wajah cemberut dan bibir sedikit monyong.
Kriiiiiingg!
Sedetik setelah mendengar jawabannya, terdengar suara bel sekolah yang menandakan bahwa kegiatan upacara tiap hari Senin telah usai. Semua guru dan staff mulai bubar dan hanya tinggal barisan murid yang belum dibubarkan oleh ketua kelasnya masing-masing.
"Lebih baik kita segera keluar dari kelas ini," serunya sembari menggenggam salah satu tanganku.
"Yap!" Aku mengangguk, kemudian beranjak dari tempat duduk, mendahuluinya.
Saat tubuhku mulai berdiri tegak, pundakku rasanya seperti sedang ditekan ke bawah dari arah belakang tubuhku, sontak membuat bibirku berteriak, "HEEEII ... Emmmmhh. ...!"
"Diamlah! Ada pengawas datang!" suara bisikan itu mulai terdengar di telingaku.
Jantungku langsung berdegup kencang saat tangan kanannya mulai menutup mulutku.
"Kalian yang ada di dalam kelas, segeralah keluar! Atau nanti hukumannya akan bertambah," seru pengawas sembari menegaskan kalimat yang dia ucapkan.
Andra semakin menarik tubuhku ke belakang. Kebetulan juga, tangan kirinya nongkrong di atas kepalaku, sehingga tidak sampai kebentur dengan permukaan meja yang ada di bawah laci. Namun, tadi sempat terdengar sesuatu yang kebentur dengan meja. Tapi, aku tidak tahu.
"Tidak ada di sini toh. Lalu, dari mana asal suara mereka?" ucap pengawas, lalu keluar dan segera masuk ke kelas lainnya.
Aku dan Andra segera pergi melalui pintu samping kelas yang saling terhubung antar kelas, usai melihat pengawas itu keluar. Di setiap langkah yang kuambil, berharap agar tidak ketahuan.
Namun, ternyata harapanku tidak terkabul. Baru saja tangan kanannya menarik ganggang pintu ke bawah, ada seseorang yang tengah menegur kami dari belakang. Hanya dengan satu nama yang terpanggil saja, tubuh kami melompat karena terkejut. Kali ini aku benar-benar mandi keringat dingin.
"Hei, mau ke mana kalian!?"
Sempat beberapa menit aku menatap wajah Andra, kemudian kembali menatap seorang guru yang tak jauh dariku.
"Jangan lepaskan genggamanku!"
Tak kusangka, tangan kananku sedang berada dalam genggamannya. Saat aku kembali menoleh padanya, dia langsung tersenyum padaku dan kubalas dengan sebuah anggukan. Setelah itu, dia membawaku berlari melalui pintu samping untuk menghindari salah satu guru yang sempat memergoki kami.
Suara teriakan pun mulai terdengar di mana-mana. Sepertinya suara itu akan mengundang banyak perhatian dari seluruh anggota yang ada di sekolah ini. Jika, aku tidak segera menghentikannya, maka permasalahan ini akan semakin panjang.
"BERHENTILAH, HEI ANAK MUDA! APA KAU INGIN KAMI MENGHUKUMMU DENGAN HUKUMAN TERBERAT?"
'Terberat? Yang benar saja!' Gumamku yang seketika menghentikan langkahku, lalu menarik tanganku dari genggamannya.
"Kenapa berhenti?" tanya Andra dengan tubuh yang langsung berbalik ke arahku.
"Kita, menyerah saja!"
Bersambung ...