"Apakah boleh pergi ke ruang UKS di jam pertama, Pak?" tanyaku kembali mendongakkan wajahku dan pandanganku mengarah pada wajah pak Soni.
"Boleh-boleh saja, kalau itu di jamnya bapak. Enggak tahu kalau yang lain. Asal, di jam kedua sudah harus ada di sini!" jawabnya padat dan jelas.
"Ah, baiklah kalau begitu. Saya izin ke ruang UKS hari ini ya, Pak. Saya sedikit pusing, mungkin butuh istirahat sebentar," pamitku sembari berulang kali menundukkan pandanganku.
"Baiklah!" Pak Soni mulai mengambil buku kesayangannya yang selalu dijadikan bahan untuk pembelajaran setiap harinya.
Kemudian, aku langsung berdiri dan keluar dari kelas. Disetiap langkahku, terdengar suara pak Soni yang masih sangat jelas di telingaku.
"Baik anak-anak, buka buku kalian ya! Halaman tiga puluh. Dan untuk kamu, silakan duduk di sebelah kiri Serena, kebetulan hanya itu saja kursi yang kosong," kata pak Soni.
Setelah itu, aku tidak mendengar apa pun dengan jelas. Hanya suara kebisingan dari beberapa kelas saja. Beberapa langkah lagi, aku sudah memasuki lorong menuju UKS. Dan lorong itu sangat panjang, bahkan sangat sunyi.
Setibanya di ruang UKS, aku 'tak mendapati siapa pun di sini. Mungkin karena dilarangnya datang ke UKS saat jam pertama ya? Lalu, aku langsung berbaring pada salah satu ranjang yang sudah disediakan.
Baru juga terlentang, telingaku sudah mendengar suara langkah kaki yang menuju kemari. Apakah itu guru piket? Atau dokter yang dijadwalkan untuk datang ke sini? Tapi, ini masih sangat pagi. Tidak mungkin sepagi ini, apalagi setelah adanya larangan itu.
Jantungku semakin 'tak tenang ketika suara itu semakin dekat denganku. Beberapa rambut halus yang ada di sekitar leherku juga ikut menyuarakan pendapatnya, dengan tanda beberapa dari mereka mulai berdiri. Ini sungguh tidak wajar.
Disekitar wajahku juga mulai mengeluarkan beberapa keringat dingin yang mengalir tanpa diminta. 'Ayo, tenangkan dirimu, Ren!' Gumamku pada diri sendiri sambil menekan dadaku yang sedikit kesulitan bernapas.
"Hei! Namamu Serena kan?"
Aku langsung sumringah ketika mendengar suara yang kukenal. Jantung dan pikiranku mulai lega kembali.
"Ya, aku Serena!" jawabku dengan lantang.
Selang beberapa detik, aku dikagetkan dengan kemunculan seseorang di depanku.
"Kamu?"
"Ya, ini aku! Cowok yang tadi mengenai kalengmu," tegasnya.
Aku langsung duduk di atas ranjang, lalu segera menundukkan pandangan. "Maafkan aku, ya! Aku benar-benar tidak sengaja. Nanti kutraktir makan saat jam istirahat," ujarku tanpa memikirkan perkataanku.
"Tidak perlu! Aku sudah bawa bekal makan tadi. Simpan saja uangmu ya!" sahutnya sembari ikut duduk di sampingku.
"Oh ya," —Dia langsung mengeluarkan sesuatu dari saku celananya— "Ini milikmu ya?"
Dia menyodorkan benda itu padaku. Spontan aku langsung merampas benda itu, lalu kumasukkan ke dalam saku seragamku.
"Ketemu di mana? Sejak tadi aku mencarinya," kataku dengan kasar.
Tiba-tiba, dia menyentuh pergelangan kakiku. "Ah, tadi sebelum masuk kelas, satpam sekolah menemuiku. katanya benda itu milik Serena, jadi kuambil saja, siapa tahu kenal denganmu," sahutnya dengan diakhiri sebuah senyuman yang membekas di pikiranku.
Ah, sial! Kenapa aku jadi teringat dengan senyumannya? Padahal dia belum pergi.
"Ya sudah, aku kembali ke kelas dulu ya!" pamitnya sambil menekan pergelangan kakiku, sehingga terasa seperti sedang dipijat olehnya.
"Baiklah! Terima kasih ya sudah mengembalikan jam tanganku. Aku tidak tahu harus mencarinya ke mana lagi," sahutku sembari beberapa kali menunduk.
"Oke. Sampai ketemu kembali di kelas," pungkasnya, lalu pergi tanpa membawa bekas kehadirannya.
Kini, aku kembali dalam suasana sepi. Tidak ada siapa pun yang menemaniku lagi saat ini. Ah, rasanya semakin tidak ingin kembali ke kelas. Ternyata sangat menyenangkan bisa berdiam diri di ruangan tanpa siapa pun.
Namun, dalam kesendirian, aku sedikit mengingat tentang masa kecilku yang terlalu indah untuk dikenang. Bahkan, untuk saat ini, susah untuk bisa merasakan hal yang sama dengan waktu itu.
Di tengah keheninganku, tiba-tiba aku mendengar suara seseorang yang sangat jelas.
"Kamu sudah lama di sini? Kenapa tidak ke kelas terlebih dahulu?"
Dengan santai, aku mulai menjawab, "Pak Soni sudah mengizinkanku untuk beristirahat sebentar di sini, Bu."
"Untuk apa kamu izin sepagi ini?" tanyanya sekali lagi.
"Enggak tahu kenapa, saat berada di kelas tadi, aku merasa sangat pusing. Jadi, memutuskan untuk pergi ke UKS, Bu," jawabku lagi dengan sangat sabar.
Sudah pasti ini guru piket, yang kebetulan hari ini bertugas di ruang UKS. Kalau tidak salah, namanya Bu Siti. Bisa dibayangkan, bagaimana sikapnya saat bertemu dengan beliau.
Telingaku rasanya sudah 'tak tahan ketika mendengar ocehannya. Rasanya gendang telingaku hampir pecah, setiap bertemu atau pun berhadapan dengannya.
"Bisa tidak sih, kalau pusing itu duduk-duduk saja di kursi? Kenapa harus ke UKS? Kan hanya pusing?" ocehnya yang kali ini benar-benar membuatku muak.
Tanpa diminta, aku segera beranjak dari posisi rebahanku dan keluar begitu saja tanpa berkata apa pun. Bukannya pergi ke kelas, aku malah pergi ke kantin untuk menenangkan perasaanku yang semakin kacau karena ocehan Bu Siti.
"Ah, sial! Nggak di rumah, nggak di sekolah, semua sama saja! Sama-sama bikin stres! Kenapa harus aku, C0k!??" gumamku di sepanjang jalan yang kutelusuri sebelum akhirnya tiba di kantin.
Setibanya di kantin. Aku langsung disambut baik oleh ibu kantin langgananku. Bu Mina namanya.
Suaranya terdengar sangat lembut. Senyumnya selalu menghiasi wajahnya setiap bertemu dengan banyaknya orang. Namun, saat bertemu denganku, dia langsung memelukku, seakan-akan sedang mengerti tentang apa yang kurasakan setiap harinya.
Kupikir, tidak ada orang yang sebaik Bu Mina. Ternyata, orang itu berada di hapadanku sendiri. Bahkan, sikapnya melebihi ibu kandungku. Apakah, Bu Mina diciptakan untuk membuatku lebih kuat lagi?
Setiap bertemu dengannya, aku selalu memeluk tubuhnya dengan erat. Namun, hari ini aku tidak berani memeluknya lagi. Aku takut! Takut beban pikirannya semakin bertambah karena masalah dalam hidupku yang sangat berat ini. Meskipun, beliau belum bisa membantuku, tetapi, seakan dia ikut berpikir untuk memecahkan masalahku. Eee ... Lebih ke— memberi solusi yang tepat untukku.
"Hari ini, Serena baik-baik saja kan?" sapanya saat tubuhku tiba di kantin.
Meskipun berat, aku tetap menunjukkan senyumku padanya, sambil menyahuti sapaannya, "Sangat baik, Bu. Ah, bagaimana dengan Bu Mina sendiri?"
"Baik dong. Tumben langkahmu tidak semangat seperti hari-hari kemarin?" tanyanya sembari keluar dari ruang masaknya.
"Tidak, Bu! Jangan mendekat!" seruku sedikit berteriak.
"Memangnya kenapa, Ser?"
Aku langsung menunduk. Sepertinya kantong air mataku sudah rusak. Buktinya, meskipun sudah sekuat tenaga ditahan, pada akhirnya menetes juga, tanpa diminta. Membuatku 'tak tahan untuk berdiam diri di tempat.
Sebahu sentuhan hangat, mulai kurasakan di sekitar tubuhku. Di susul dengan suara bisikan yang terdengar jelas di telingaku.
"Kamu, baik-baik saja kan?"
Bersambung ...