Chereads / MASA ABU-ABU / Chapter 4 - Apakah aku benar-benar bermimpi?

Chapter 4 - Apakah aku benar-benar bermimpi?

"Ceritakan semua pada bu Mina, siapa tahu bu Mina bisa membantu," serunya setelah mendudukkanku pada kursi panjang yang terbuat dari kayu.

Tanganku masih sempat mengambil minuman kaleng yang sudah disajikan oleh Bu Mina di atas meja. Beberapa teguk minuman itu mulai lolos di tenggorokanku dan langsung mendinginkan seisi lambungku. Sembari minum, aku berusaha menenangkan pikiran dan perasaanku. Karena, jika keduanya masih belum tenang, aku pun tidak bisa menceritakan semuanya pada Bu Mina.

"Sebenarnya ya, Bu ...." —Aku langsung menundukkan pandanganku, sambil menahan diri agar air mata tidak menetes kembali— "Aku dan sekeluarga sudah pindah rumah. Banyak hal yang belum kumengerti. Seakan-akan, semua kejadian yang menimpa diriku dan keluargaku ini adalah mimpi. Semua hilang dalam sekejap mata," ungkapku, sesekali menekan dadaku.

"Kalian pindah ke mana?" tanya Bu Mina dengan kedua tangannya yang langsung mendongakkan kepalaku.

"Rum—"

"Ayo, ikut aku sekarang, Ren! Ada yang ingin bertemu denganmu," ucap seorang pria, sambil menarik lenganku dengan paksa.

Mau tidak mau, aku terus mengikuti langkah kakinya, yang tak tahu akan membawaku ke mana. Namun, saat kulihat dengan jelas, sepertinya aku mengenal bentuk punggungnya yang bidang ini. 'Ohhh ... Bukankah cowok ini yang pernah kucelakai tanpa sengaja?' gumamku dalam batin.

"HEI! TOLONG HENTIKAN LANGKAHMU!" pekikku.

Kemudian, dia langsung melepaskan tanganku, membuatku langsung berhenti di tempat. Tanpa kusadari, tubuhnya sudah menghadap ke arahku.

"Untung saja aku telah menyelamatkanmu," celetuknya saat melihatku terdiam.

"Menyelamatkanku?"

"Ya! Aku yang telah menyelamatkanmu dari pertanyaan Bu kantin itu," jawabnya dengan lantang dan sangat yakin.

Mustahil kalau dia sedang menyelamatkanku. Dia saja tidak tahu tentang permasalahanku. Namun, jika dipikir-pikir lebih teliti lagi, mengapa pria ini bisa berada di sini? Bahkan ikut masuk ke kantin.

Dengan seribu akal, kakiku langsung mengambil beberapa langkah ke belakang untuk menjauhinya. Tak kuduga, dia malah mengambil beberapa langkah ke depan, sesuai dengan apa yang kuambil. Jarak yang kubuat, berhasil dia hancurkan.

"Tunggu dulu! Bukannya kamu ke kelas ya?" tanyaku setelah mencoba berpikir untuk membuka topik.

Dia langsung menghentikan langkahnya, lalu terdiam sejenak. "Ya, aku memang menuju ke kelas tadi. Tetapi, aku memiliki firasat buruk tentangmu, jadi aku memutuskan untuk menyusulmu."

"Lalu, kamu langsung percaya gitu? Lagian kita tidak pernah punya hubungan apa pun sebelumnya. Mengapa kamu bisa sepercaya itu?" tanyaku terus terang. Mengeluarkan seluruh uneg-unegku padanya.

Tiba-tiba dia menarik pangkal dasiku, yang membuat tubuhku semakin dekat dengannya. Lalu, wajahnya mendekat ke wajahku, sambil menjawab, "Ya, karena sekarang kamu jadi temanku!"

Secara bersamaan, kami berdua menghabiskan waktu beberapa menit ke depan hanya untuk saling pandang. Bahkan, aku mulai mencium aroma napasnya yang berhembus di wajahku.

Jedag! Jedug! Jedag! Jedug!

Sama seperti lampu disko yang berkelip sepanjang malam, itulah yang kurasakan saat ini. Jantungku seakan-akan menari di ruangan yang hanya ada pencahayaan minim, atau biasa disebut remang-remang.

Spontan aku langsung mendorong tubuhnya agar diriku bisa jauh darinya. Lalu, membenarkan kembali dasi dan seragamku.

"Ish. Memangnya kamu siapa, bisa seenaknya memutuskan seperti itu? Sudah, ah! Aku pergi dulu!" seruku, lalu pergi meninggalkannya tanpa menunggu pendapatnya.

Di setiap langkahku, tanganku selalu memukul pelan dadaku. Berharap agar detak jantung ini kembali normal seperti sebelumnya. Tetapi, semakin dipaksakan, detak jantungku semakin tak karuan. Karena itu, urat malu ku mulai timbul, dan membuat langkah kaki semakin cepat dari sebelumnya. Takut kalau ada orang yang mengetahuinya.

'Ah, ayolah, Ser! Jangan seperti ini! Malu-maluin aja!' gumamku sembari menundukkan pandangan dan terus melangkah.

Padahal jam pertama belum usai, tetapi aku sudah memutuskan untuk kembali ke kelas. Rasanya, hari ini adalah hari sialku. Makanya aku menghindar dari kesialan itu.

Setibanya di depan kelas. terdengar suara berat dan sedikit menggema dari mulut pak Soni. Rasanya ingin berlindung dibalik tubuhnya, setelah mendengar suaranya. Sungguh, sangat menenangkan jiwa. Namun, topik yang beliau bahas, selalu bikin sakit kepala.

Dengan semangatnya, tangan kananku langsung mengetuk pintu sampai tiga kali, lalu disusul dengan suara sapaanku.

"Permisi, Pak."

"Ya!" Setelah berkata demikian, beliau langsung menyambung perkataan yang sebelumnya, saat sebelum aku menyapanya. "X dikali Y kudrat sama dengan titik-titik."

Selang beberapa detik kehadiranku di kelas ini, muncul murid baru yang sempat mengikutiku terus.

"Terima kasih, Pak," serunya sembari membungkuk, lalu berjalan ke arahku dan duduk di samping kiri kursiku.

Sungguh sial hari ini! Sudah tidak bisa beristirahat dengan tenang gara-gara guru cerewet. Sekarang, malah tidak bisa menjauh dari murid baru karena kursinya berdampingan. Kenapa harus aku yang sial? Sungguh tidak adil! Aku terus berkata dalam hati. Bukan hanya berkata saja, melainkan sedikit cekcok dengan perasaanku. Belum habis penderitaanku, sekarang malah menghadapi pelajaran matematika di pagi hari seperti ini. Seniat itu yang buat jadwal.

"SERENA! SERENA! BANGUN ...!"

Dalam sekejap, kedua kelopak mataku langsung terbuka saat setelah mendengar suara teriakan itu. Betapa terkejutnya aku, ketika melihat seluruh ruangan yang kutiduri saat ini.

"Bukannya ini kamarku?" gumamku sambil berulang kali mencubit kedua pipiku.

"Ternyata semua itu hanya mimpi?" gumamku lagi. Kedua tanganku sibuk meraba-raba bad cover yang kutiduri saat ini.

Ujung bibirku langsung melengkung ke atas dengan begitu cerianya. Tidak ada yang perlu kutakutkan saat ini. Tetapi, semua rasanya seperti nyata. Dalam mimpi itu, aku benar-benar merasakan apa yang itu kemiskinan. Bahkan, untuk membeli jajan pun, aku harus menyisakan uang sakuku, yang terkadang tidak kudapatkan dengan percuma.

Dengan semangat, aku langsung bergegas membersihkan diri di dalam kamar mandi yang berada di dalam kamarku. Usai gosok-gosok manja dan memakai seragamku, aku pun keluar dari kamar dan langsung turun ke lantai bawah. Dimana sudah ada mereka (keluargaku) yang sedang menungguku di meja makan. Ada dua adikku yang mengoceh tidak jelas ke arahku, karena terlalu lama turun dari lantai dua.

"Pagi, Mah, Pah ...," sapaku dengan senyum yang selalu menghiasi wajahku.

"Pagi, Sayang. Buruan, adikmu sudah lapar ini," sahut papa tanpa senyumnya.

"Pagi, Sayang. Jangan lupa nanti ada les privat matematika. Harus hadir ya!" timpal mama sembari melambaikan tangan padaku.

Aku hanya mengangguk, karena terlalu fokus untuk menuruni anak tangga yang terlalu banyak.

***

Ketika sarapan bersama, aku mencoba memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku setelah bermimpi buruk.

"Mah, Pah ...!"

"Iya, Nak?" sahut mereka serentak.

"Kalau seumpama kita bangkrut, apakah kita akan tinggal di rumah kosong dan aku harus bekerja?" tanyaku sembari menunduk.

Beberapa detik kemudian, gendang telingaku mulai mendengar suara tawa ayah yang masih bisa dikatakan sebagai tawa cool.

"Kamu ngomong apa sih, Ser? Perusahaan papa semakin meningkat nih, bahkan hampir jaya," jawab ayah usai tertawa.

"Tapi, Pah ... Roda kehidupan itu selalu berputar. Ah, sudahlah!" —Aku langsung meletakkan roti panggangku di atas piring lagi— "Aku berangkat dulu ya! Nanti aku makan di kantin saja, Mah. Bye ...!"

"Loh, tidak bareng papa, Ser? Mau naik apa kamu?" kata ayah dengan suara begitu nyaring.

"Tidak, Pah. Aku naik angkutan umum saja," sahutku tanpa menoleh ke belakang.

Dan langkahku berhasil keluar dari rumah. Namun, tiba-tiba terbesit dipikiranku tentang suasana perumahan ini. Suasananya sama seperti yang ada dalam mimpiku.

Sebenarnya, apa yang terjadi?

Bersambung ...