"Mau ke mana?" tanya mama
Aku yang sudah berdiri di ambang pintu dengan berpakaian seragam rapi, hendak pergi ke sekolah, kini harus kuulurkan waktuku hanya untuk menoleh ke belakang.
"Ke sekolah, Mah. Memangnya mau ke mana lagi?" jawabku sembari sedikit memiringkan wajahku dan mengangkat salah satu alisku.
"Lebih baik kamu bekerja, dari pada sekolah! Tidak ada yang membiayai sekolahmu. Paham?" tegasnya.
Semua ucapannya seakan membuat kedua kakiku ingin segera berlari, namun hati ini memintaku untuk tetap tinggal, sembari menahan air mata.
Tiba-tiba aku merasakan sebuah dorongan kuat dari belakang tubuhku, disusul dengan suara melengking yang memekakkan telinga.
"LAARRRIIII, KAAK ...! BURUAN!"
Yash! Itu adalah suara Leo, adikku. Membuat kedua kakiku terpaksa berlari dan pergi dari rumah.
Ck! Sialan! Decakku dalam hati sambil menendang kaleng yang kebetulan ada di depanku.
Tuk!
"HEIII!!! APA ANDA TIDAK TAHU SIAPA SAYA?" pekik seorang pria dengan penuh emosi.
Mengetahui hal itu, aku langsung berlari ke arah belakang, setelah menatap wajahnya sebentar. Berharap ada jalan pintas untuk bisa sampai ke sekolah tanpa ketahuan dengan pria tadi.
Aku tidak tahu, apakah pria itu sedang mengejar di belakangku, atau bahkan sudah melepaskan kepergianku begitu saja. Ingin berhenti, tapi takut dia menangkapku di sini. Mau tidak mau, aku harus tetap berlari sekuat tenaga. Namun, secara bersamaan dengan kepanikanku, kedua kakiku langsung belok ke kiri ketika melihat dua tong besar yang sedang berdiri sejajar. Dan aku langsung menyembunyikan diriku dibaliknya.
"Ah, sial! Kemana wanita itu? Kenapa cepat sekali?" ujar pria tadi yang kedengarannya sedang berdiri di depan tong besar yang sedang kujadikan tempat persembunyian.
Tiba-tiba, sesuatu dari dalam perut rasanya terdorong kuat oleh hasratku. Dalam situasi seperti ini, aku hanya bisa menahannya, hingga keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Berulang kali aku menahannya dengan menutup bokongku dengan tangan kiri dan menekan permukaan perut dengan menggunakan tangan kanan. Berharap semua yang kulakukan itu berhasil. Sayangnya, aku tak kuat menahan lagi. Lalu, menyentuhkan kedua telapak tanganku pada perut dan dengan sekali dorongan yang kuat, terdengar suara yang menggemaskan di belakangku.
Prroot!
Kedua tanganku langsung menutup seluruh wajahku, sambil berkata, "Meoow ... Meoww ...."
Selang beberapa detik, aku mendengar suara tawanya. Seakan-akan dia sedang meledekku.
"Kau pikir, aku mudah tertipu? KELUAR!!!" bentaknya.
Aku hanya terdiam. Sesekali melihat jam tangan pemberian ayah yang terakhir saat ulang tahunku dua bulan yang lalu. Hanya jam tangan, sepatu, dan tasku saja yang tersisa dari semuanya.
6:45 WIB (Waktu Indonesia Barat)
'Ah, sial! Kenapa dia tidak mau pergi? Aku bakalan telat nanti!' Gerutuku dalam hati. Jika menunggu sampai pria itu pergi, yang ada aku tidak akan sekolah hari ini. Akhirnya, aku mengangkat kedua tanganku, disusul dengan tubuhku yang berdiri secara perlahan.
"Maafkan saya," ucapku dengan tulus sambil sedikit membungkuk badan.
"Ah, rupanya ada di sini pelakunya. Kemari!"
Kedua alisku langsung mengerut. "Bukannya aku sudah minta maaf? Kenapa tidak pergi? Waktuku Tinggal sedikit lagi," protesku sambil berjalan melewati sela-sela dua tong.
"Tenang saja. Kita akan pergi ke sekolah bersama. Aku sudah melupakan kejadian tadi, saat kamu mengucapkan maaf padaku, tadi," jelasnya dengan bibir yang tersenyum manis.
Sungguh, tidak dapat dipercaya. Dengan semudah itu dia mengubah ekspresinya. Dari pada telat, akhirnya aku menyerah dan mengikuti semua arahannya, karena memang dari awal, aku yang bersalah padanya.
"Baiklah! Lalu, kita naik apa? Waktu kita hanya sepuluh menit lagi dari sekarang," celetukku sembari berjarak darinya.
"Gunakan kedua kakimu dengan cepat! Aku akan menarikmu dari depan," sahutnya.
Dan ya, dia langsung menarik tangan kananku, membuat kedua kakiku langsung melangkah tak karuan. Ditambah berat badanku yang tidak enteng ini, membuatku hampir ndlosor. You know ndlosor? (Cari di google saja).
"HEEEII ...!!! PELAN-PELAN DONG! CAPEK NIH!" pekikku sembari terus mengikutinya, walaupun rasanya tidak mampu.
Namun, tiba-tiba dia berhenti saat kedua kakiku sudah terbiasa. Alhasil, wajahku menabrak punggungnya yang bidang.
Spontan, telapak tangan kananku langsung mendarat keras di bahu kanannya.
"Hati-hati dong!" protesku sambil menyentuh hidungku yang mulai terasa sakit.
"Cerewet! Buruan naik!"
Mendengar kata 'naik', kedua mataku langsung menatap ke depan. Terlihat sebuah motor CBR150R warna hitam.
"Milik siapa?" tanyaku terdiam membeku.
"Buruan naik!" pintanya membuatku langsung mengikutinya dari belakang.
Usai naik, dia langsung menarik gasnya dan melepaskan kopling secara bersamaan. Entahlah, aku akan telat atau datang tepat waktu.
Seluruh rambutku terbang, dihempas angin. Sebagian rokku naik sedikit terangkat, namun segera kutahan dengan salah satu tanganku dan satunya lagi sedang merangkul perutnya. Bahkan, jas seragamku beserta dasinya berkibar tak beraturan. Entahlah, apa yang terjadi pada diriku setelahnya.
Dan benar saja kekhawatiranku sejak tadi, pintu gerbang sudah hampir tertutup sempurna. Sontak membuatku langsung berteriak sekuat tenaga.
"JANGAN DITUTUP, PAAKK!!!"
"Serena?"
Pria yang ada di depanku ini langsung menghentikan motornya tepat di sela kedua pintu gerbang dan hampir menabrak kedua kaki satpam sekolah.
Aku segera turun dari motornya, lalu membungkuk tubuhku di sampingnya yang masih duduk di atas motornya, memberi tanda ucapan terima kasih. Setelah itu, langsung berlari masuk gerbang sembari mengucapkan terima kasih pada satpam, karena sudah membantuku hari ini.
Bahkan, kejadian hari ini, membuatku tidak menyadari satu hal, yaitu sebuah ucapan terima kasih dengan sikap benar.
Kebetulan, saat aku tiba di dalam kelas, belum ada guru mata kuliah sesuai jadwal yang tiba di sini. Padahal kondisinya aku sudah sangat terlambat karena sudah melewati doa pagi bersama guru dan murid.
"Hei, Serena! Hari ini keberuntungan ada di tanganmu," celetuk teman dekatku yang sudah lama duduk di samping kananku.
"Ya, begitulah. Tetapi, aku bertemu dengan pria tampan di depan. Kalau tidak salah, dia juga memakai seragam," sahutku basa-basi.
"Eh? Berarti dia bakalan telat dong ...," timpalku yang langsung disambung dengan suara guru matematika yang kebetulan ada jam ngajar di kelasku.
"Selamat pagi, Anak-anak. Hari ini, waktu bapak akan dipotong sepuluh menit untuk perkenalan," sapanya di sepanjang langkah kakinya hingga tiba di meja ngajarnya.
"Perkenalan, Pak? Bukannya kita sudah kenal?" tanya seorang murid pintar di kelas ini.
"Bukan bapak yang ingin berkenalan lagi, melainkan kalian akan kedatangan murid baru hari ini. Jadi, tolong beri waktu kalian untuk berkenalan dengannya."
Sejak ada kata 'murid baru', seluruh murid yang ada di dalam kelasku ini sedikit heboh dengan desas-desus bibirnya.
"Silahkan masuk, Nak!"
Aku tidak peduli dengan siapa yang datang. Yang kupedulikan saat ini adalah jam tanganku yang tengah hilang dari pandanganku. Apakah terjatuh saat berlari dengan pria itu?
Seluruh fokusku teralihkan. Seakan-akan semua suara yang ada di dalam ruang kelas ini mulai mengecil, seiring berjalannya waktu. Kedua bola mataku terus sibuk mencari di bawah mejaku, sesekali buka resleting tasku, hanya untuk mencari benda berharga, pemberian terakhir dari ayah.
Tak lama kemudian, aku mendengar satu suara yang begitu jelas di telingaku.
"Serena ...?"
Sontak membuatku sedikit mendongakkan kepalaku dan pandanganku langsung lurus ke depan.
"Iya, ada ap— Kamu? Bukannya kamu, pria yang tadi?" Fokusku langsung teralihkan kembali, saat melihat seorang pria yang sama saat tanpa sengaja mengenai kaleng dari tendanganku tadi.
"Oh, jadi kalian saling kenal?" sambung pak Soni, guru matematika di kelasku saat ini.
Spontan kepalaku langsung geleng-geleng, lalu menundukkan pandanganku.
'Masalahnya semakin runyam kalau satu kelas dengannya! Bagaimana ini? Apa aku berhenti sekolah saja dan langsung mencari pekerjaan, sesuai dengan perkataan mama? Ah, tidak bisa! Aku masih ingin sekolah!' Gumamku dengan kedua tangan yang tak henti-hentinya mengacak rambut.
"Apakah Serena baik-baik saja? Atau butuh istirahat di ruang UKS?" tanya pak Soni.
Membuat kepalaku langsung sedikit terangkat, lalu tersenyum padanya.
Bersambung ...