Pria muda berjas abu-abu itu melangkah pasti memasuki sebuah gedung convention centre yang sudah dipadati oleh beberapa tamu undangan lain. Pasalnya, ia akan menghadiri pesta pertunangan anak dari pemilik perusahaan Diamond Group, rekan bisnis ayahnya.
Satu minggu yang lalu, sang ayah memberi kepercayaan penuh kepadanya untuk mengelola sebuah perusahaan keluarga yang bergerak di bidang perhotelan. Itulah alasan ia hadir di acara tersebut, karena mewakili sang ayah yang telah terbang ke Jepang untuk mengurus kontrak kerja sama dengan rekan bisnisnya di sana.
Kedatangan pria muda berusia 27 tahun itu disambut hangat oleh Fredy, pria paruh baya yang tak lain adalah pemilik perusahaan Diamond Group. Sosok yang sudah ia kenal sebelumnya, meski tidak begitu dekat. Mereka saling sapa dan menanyakan kabar, setelah sekian lama tidak bertemu.
Ya, selama ini pria muda berperawakan atletis itu memang menetap di New York, semenjak ia kuliah di sana. Kepulangannya ke Indonesia tak lain adalah karena perintah sang ayah. Keputusan yang berat baginya harus pulang saat ia baru saja akan merintis sebuah bisnis kuliner di sana. Namun, karena desakan dari ayahnya, ia pun tidak bisa berbuat banyak.
"Sudah lama sekali kita tidak bertemu, Nak Rendra. Bagaimana kabarmu?" Pria paruh baya itu tersenyum hangat menyalami Rendra.
"Baik, Om. Om apa kabar?"
"Yah, begitulah, Nak Rendra. Kalau sudah seusia Om begini, penyakit suka datang tanpa permisi," ucap Fredy terkekeh di akhir kalimatnya.
"Om Fredy masih bugar begini, kok." Rendra merangkul pundak pria setengah abad itu.
"Ah, kamu bisa saja. Ngomong-ngomong kapan kamu menyusul, hm? Ayahmu pasti sudah ingin menimang cucu juga."
Rendra tertawa hingga matanya tampak seperti bulan sabit. "Nanti, Om ...." Dia menjeda kalimatnya sesaat, melirik pria dalam rangkulannya. "Masih banyak wanita yang belum merasakan jatuh cinta, Om. Lagipula petualangan saya sepertinya masih panjang."
"Hahaha, Nak Rendra bisa saja." Fredy ikut tertawa mendengar ucapan Rendra
"Nak Rendra, Om tinggal dulu, ya. Selamat menikmati pestanya." Fredy berlalu meninggalkan Rendra.
Saat Rendra hendak mengambil minuman, tanpa sengaja ada tangan lain yang juga mengambil gelas yang sama
Sekilas tatapan Rendra teralihkan pada sosok wanita cantik yang berdiri di sampingnya, dengan balutan gaun pesta berwarna peach yang panjangnya menjuntai hingga ke lantai. Tampak raut tidak bersahabat yang terpancar di wajah wanita itu. Tanpa berucap apa pun, Rendra menyingkirkan tangannya, sengaja memberi kesempatan wanita cantik itu untuk mengambil gelas tersebut.
Wanita berperawakan jangkis itu pun berlalu dengan membawa minuman itu tanpa sepatah kata pun, meski hanya sekadar ucapan terima kasih. Hal itu sontak membuat Rendra mengangkat alisnya, merasa heran dengan sikap dingin wanita itu. Disesapnya minuman yang ia ambil dari meja yang sama.
"Cantik juga," bisiknya seraya menarik kedua sudut bibir hingga melengkung ke atas.
"Rendra!"
Tepukan dari seseorang berhasil membuat Rendra tersadar dan menoleh ke belakang. Betapa dia sangat terkejut saat mendapati Nino Sagara, teman lamanya yang tengah berdiri di sana.
"Nino? Apa kabar, Bro?" Rendra begitu antusias memeluk Nino, setelah dia meletakkan gelas minuman itu kembali ke tempat semula.
Rendra dan Nino memang sudah lama berteman, tepatnya semenjak mereka duduk di bangku SMA. Bahkan mereka terbilang sangat dekat. Hanya saja, mereka menjadi jauh setelah Rendra memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Harvard University. Kendatipun begitu, mereka tetap menjalin hubungan baik, meski hanya berkomunikasi melalui kecanggihan teknologi.
"Kapan lo balik ke Jakarta?" tanya Nino setelah mereka saling melepas pelukan itu.
"Hm ... tiga hari yang lalu," jawab Rendra santai, lalu menoleh ke belakang seraya ingin memastikan keberadaan wanita yang sempat mencuri perhatiannya.
"Lo cari siapa, Bro?"
Nino menatap heran saat menyadari kegelisahan Rendra yang tampak celingukan seolah-olah sedang mencari sesuatu.
Rendra menoleh dan memfokuskan kembali pandangannya ke depan. "Barusan, gue ketemu cewek cantik di sini, tapi entah sekarang dia pergi ke mana," jelas Rendra berterus terang.
"Wah ... rupanya tinggal lama di New York enggak membuat lo lantas berubah," ledek Nino yang mengetahui betul sosok temannya itu.
"Kayaknya ada yang kesambet bidadari yang turun dari monas, nih!" seru seseorang yang berhasil mengalihkan perhatian mereka.
"El?" Rendra makin antusias saat mendapati Elvan Aristides Bachtiar yang juga hadir di acara tersebut. Sahabat baik yang paling dekat dengannya sewaktu masa sekolah dulu.
Dengan sigap Rendra melakukan hal serupa seperti yang dia lakukan kepada Nino, yaitu memeluk sahabat yang sangat ia rindukan belakangan ini. Meskipun Elvan sering kali datang mengunjunginya ke New York, tetapi sudah tiga bulan ini mereka tidak bertemu karena kesibukan masing-masing. Bahkan ia tidak sempat memberi kabar akan kepulangannya ke Indonesia.
"Lo pulang enggak ngabarin gue," sindir Elvan datar.
"Sorry, gue enggak sempat. Ini juga karena terpaksa," jawab Rendra dengan malas. "Kalian tahulah, gimana bokap kalau udah ada maunya," imbuhnya kemudian.
"Apa yang bikin lo malas banget pulang ke Indonesia?" tanya Elvan penasaran.
"Enggak ada. Cuma gue ngerasa udah nyaman aja kali ya, tinggal di sana." Rendra tampak memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana yang ia kenakan.
"Oke, lupakan itu. Setidaknya, gue seneng lo ada di sini," ujar Elvan seraya merangkulkan tangan di bahu Rendra. "Btw, apa yang lo maksud cewek cantik itu dia?" tunjuknya ke arah sekelompok wanita yang tengah berbincang ceria, hingga mengalihkan atensi kedua temannya.
"Ya, itu dia!" Rendra sedikit terperangah saat menyadari wanita yang dimaksud tengah berada di sana, berbincang dengan tamu wanita lainnya sambil memegang gelas yang menjadi saksi bisu atas pertemuan mereka.
Rendra kemudian meraih kembali gelasnya, lalu meneguk minuman itu hingga tak tersisa setetes pun.
"Gila! Lo beneran kesambet? Sama wanita itu?" seru Nino dengan refleks menepuk punggung Rendra.
Akan tetapi, itu tak berpengaruh sedikit pun. Rendra tetap bergeming. Matanya memandang nanar pada sosok wanita yang sedari tadi mengusik pikirannya.
Gaun off shoulder yang menampakkan bahu indah wanita itu, berhasil menarik perhatian Rendra. Belum lagi rambut model pony tail dan lipstik merah yang membuat bibir sedikit bervolume itu terlihat makin seksi. Ditambah mata tajam yang menyerupai cat eye. Semua itu berhasil merobek hati Rendra dan membuat pria itu sedikit tertantang untuk mengenal sosok wanita asing itu lebih jauh lagi.
Elvan mengamati wajah Rendra yang masih terperangah menatap wanita itu. "Enggak usah mimpi, Bro," ucap pria borjuis itu menepuk bahu sahabatnya beberapa kali.
"Maksud lo?" Rendra menoleh seraya mengernyit heran.
"Lo beneran enggak tahu siapa dia?" Nino berusaha memastikan dan hanya ditanggapi dengan gelengan kepala oleh Rendra.
"Dia Aleeta Queen Elvina, si ratu bisnis yang terkenal dingin ke semua cowok. mendingan lo nyerah, deh. Berdasarkan riwayatnya, enggak ada satu pun pria yang berhasil deketin dia," jelas Elvan panjang lebar.
"Oh ya?" Rendra menukik alis seolah-olah belum percaya dengan informasi yang didapat dari sahabatnya. Namun, mendengar hal itu ia merasa makin tertantang dengan wanita bernama Aleeta tersebut.
"Kalau lo tetap maksa mau deketin dia, setidaknya siapin mental lo, karena tampan dan mapan saja enggak cukup untuk meluluhkan hatinya."
Peringatan keras tampak keluar dari mulut Elvan. Entah kenapa ia begitu yakin bahwa Rendra tidak akan bisa menaklukkan wanita itu.
"Lo lupa siapa gue?" Rendra tersenyum smirk dengan begitu angkuhnya.
"Gue tahu lo itu buaya, tapi gue yakin lo enggak bakalan bisa taklukin dia," balas Nino meremehkan.
"Kita lihat saja nanti!" sahut Rendra seraya menyeringai menatap wanita itu.