Mereka saling bersalaman sambil memperkenalkan diri masing-masing. Ada hal yang membuat Aleeta merasa tidak nyaman, manakala Rendra menahan tangannya beberapa saat sambil menatapnya dengan lekat.
"Ehem!" Dehaman Aleeta berhasil menyadarkan pria itu dan langsung melepaskan tangannya.
"Maaf," lirih Rendra yang Aleeta kenal justru sebagai Ryan.
Sementara itu, pria yang disebut Rendra sebetulnya adalah Ryan yang sesungguhnya. Sang asisten pribadi yang diminta Rendra untuk bertukar peran denganya. Mungkin itulah yang menjadi alasan Ryan terlihat gugup dan kaku, karena tiba-tiba harus berperan sebagai pemimpin perusahaan di depan Aleeta dan Meisya.
"Silakan duduk, Bu Aleeta," pinta Ryan berusaha menetralkan perasaannya.
"Terima kasih, Pak Rendra," balas Aleeta lirih.
Memiliki atasan seperti Rendra membuat Ryan harus sering mengelus dada. Rendra sering kali memberikan pekerjaan yang tidak masuk akal. Tidak jarang pula dia harus berganti peran seperti saat ini. Bukan hanya sekadar menemui rekan bisnis, tetapi juga untuk menolak para wanita yang dipasangakan dengannya melalui kencan buta.
Aleeta mengamati Rendra setelah dia dan sekretarisnya duduk berhadapan dengan dua pria itu. Keningnya sedikit mengerut, melihat penampilan Rendra yang terlihat sangat santai. Lengan kemeja yang tersingsing sampai siku, bahkan sikapnya yang terkesan santai dan bossy. Lihat saja, dari cara duduknya yang menyilangkan kaki dan menopang dagu sambil menggigit ujung jari kelingkingnya. Ah, jangan lupa senyum yang setia di wajahnya. Dia lebih mirip seorang model yang tengah melakukan pemotretan.
"Maaf, Bu Aleeta. Ryan ini sebetulnya bukan hanya sekadar asisten bagi saya, tetapi juga sebagai sahabat. Mohon maaf jika sikap dan penampilannya sedikit tidak sopan. Seperti itulah asisten saya, terlalu santai. bahkan terkadang dia yang bersikap layaknya bos, sedangkan saya bawahannya." Ryan yang seakan-akan tahu apa yang ada dalam pikiran Aleeta, segera memberikan penjelasan panjang lebar mengenai Rendra.
Sementara itu, Rendra justru mendelik kesal ke arah Ryan. Berani sekali asistennya itu mecemarkan nama baiknya di depan Aleeta. Protes yang nyaris keluar dari mulutnya pun terpaksa dia urungkan, saat mengingat sandiwara mereka saat ini.
Untuk menunjukkan kekesalannya kepada sang asisten, Rendra tampak melebarkan mata, lalu menendang pelan tulang kering kaki Ryan, membuat pria itu harus tetap tersenyum meski kesakitan di bawah sana.
"Baik, Bu Aleeta. Apa bisa kita mulai sekarang?" tanya Rendra berniat memulai pembahasan akan rencana kerja mereka.
"Anda lihat sendiri, kan, Bu Aleeta? Betapa dia terlihat seperti bos di sini!" timpal Ryan berusaha mencairkan suasana, sekaligus sengaja ingin menyindir atasannya.
Rendra berdecak kesal, lalu melengos sejenak. Tentu dia hanya geram dengan kelakuan Ryan. Ancaman yang dia berikan melalui bahasa isyarat pun, nyatanya tak berpengaruh bagi Ryan.
Rendra memulai percakapan dengan wajah serius. Berbanding terbalik dengan tampilannya, pria itu justru sangat menguasai pembahasan tentang rencana kerja sama yang akan mereka jalin. Ternyata memang benar kata pepatah, "Don't judge a book by it's cover".
Aleeta melirik sekilas ke arah Ryan, tampak pria itu pun terhanyut dengan presentasi dari asistennya.
"Bagaimana Bu Aleeta? Apa ada yang ingin anda tambahkan?" tanya Ryan setelah Rendra telah menyelesaikan penjelasannya.
"Ehm, sepertinya tidak, Pak Rendra. Asisten Anda menjelaskan dengan sangat baik dan rinci. Saya sangat puas."
Rendra menarik satu sudut bibirnya. "Tentu saja. Anda pikir karena siapa perusahaan ini maju? Pastinya karena campur tangan saya. Seorang lulusan S3 luar negeri yang sangat berbakat." Pria itu terkekeh di akhir kalimatnya. Namun, Aleeta hanya menampilkan wajah datar. Jangankan memuji, bahkan senyuman pun telah menghilang dari wajahnya.
Daripada menanggapi sikap Rendra yang tidak jelas, Aleeta lebih memilih untuk memalingkan wajah dan berbincang dengan Ryan. Rahang Rendra mengeras, tangannya mengepal menahan amarah. Baru kali ini dia mendapat penghinaan seperti itu dari seorang wanita.
Ryan yang melihat hal itu menggigiti bibirnya menahan tawa. Tidak pernah sekali pun dia melihat pemandangan semenarik ini. Dalam hitungan detik, tawanya menguar memenuhi ruangan. Sungguh dia tidak sanggup lagi menahan gelak tawa itu. Bahkan sudut matanya sampai meneteskan cairan bening.
"Anda kenapa? Apa ada sesuatu yang lucu?" tanya Aleeta mengernyit heran.
"Ah, maaf, Bu Aleeta. Saya hanya teringat film komedi yang saya tonton sebelum kalian tiba tadi," terang Ryan menjelaskan seraya kembali mengusap tetesan bening di sudut matanya.
Aleeta menukik alis, mendapat jawaban yang menurutnya tidak masuk akal.
Aneh! Sepertinya ada yang tidak beres dengan kedua klienku ini, gumamnya sambil menatap nanar wajah Ryan dan Rendra secara bergantian.
Kali ini Rendra yang harus tetap tersenyum. Meski geram dengan perkataan asistennya itu.
Shit! Berani sekali dia! Bahkan dia terang-terangan menertawakanku di depan Aleeta. Film komedi katanya? Tunggu saja sampai pertemuan ini berakhir. Akan kupastikan dia menyesal telah dilahirkan, batin Rendra saat itu.
Meeting pun berjalan dengan lancar dan kedua belah pihak telah menandatangi berkas kontrak kerja sama antara mereka.
Meeting kali ini terasa berbeda bagi Aleeta, begitu pun dengan kliennya, lebih tepatnya bagi Rendra yang menyamar sebagai asisten di depan Aleeta.
"Puas banget kayaknya kamu, hari ini." Rendra kembali menendang kaki asistennya tersebut di bawah meja, setelah Aleeta dan Meisya pamit undur diri 3 menit sebelumnya.
Meskipun Ryan terdengar mengaduh, tetapi tidak membuatnya berhenti tertawa. "Bagaimana, Pak. Rasanya diabaikan?" Ryan masih belum puas mengejek atasannya.
"Mulai berani kamu, ya." Rendra melemparkan gulungan tisu tepat di wajah Ryan, dengan sigap Ryan menghindar. Hal itu membuat Rendra berdecak sebal.
"Udah buruan balik ke kantor! Ingat, jam tujuh malam nanti kamu ada kencan dengan Anggun!" titah Rendra penuh peringatan, kemudian segera beranjak dari tempat itu.
"Eh, kok saya lagi, Pak?" Wajah Ryan langsung berubah drastis begitu mendengar titah dari atasannya itu. Dia segera mengikuti langkah Rendra sambil tak henti melayangkan protesnya.
"Ya kamu lah. Masa saya." Rendra melirik Ryan yang sudah berjalan di sampingnya.
"Saya ada janji, Pak. Sama pacar saya," keluhnya seraya memasang ekspresi memelas, berharap sang atasan akan memahaminya untuk kali ini saja.
"Saya kasih kamu bonus dua kali lipat dari gaji kamu," ucap Rendra.
"Siap, Pak. Nanti malam saya akan datang tepat waktu."
Wajah murung Ryan kembali ceria begitu mendengar kata "Bonus" yang selalu dipakai sebagai jalan ninja oleh Rendra.
Sabar, ya, Sayang. Ini demi rupiah, supaya aku bisa cepat menghalalkanmu, batin Ryan.
"Tapi ingat ...." Rendra menghentikan langkahnya. "Kamu harus buat wanita itu ilfeel sama kamu," sambungnya lagi.
"Siap, Pak. Selama ini 'kan saya enggak pernah menyengecewakan Bapak." Ryan menepuk dadanya dengan bangga.
"Kalau kamu gagal, bonus hangus dan gajimu saya potong 50%!" Rendara segera masuk kedalam mobil Bugatti Chiron Super Sport 300 berwarna hitam, miliknya.
"Astaga, Pak. Kejam banget, sih. Bakal gagal nikah saya, Pak."
Rendara tertawa puas melihat raut wajah asistennya yang mudah sekali berubah-ubah.