"Ya, ini sangat nikmat. Kamu mau mencobanya?" Ryan menawari dengan tersenyum ramah.
"Tidak, terima kasih," jawab Anggun singkat.
Hening mendominasi suasana kali ini. Mereka menandaskan sisa makanan dalam diam. Terlebih lagi Anggun yang sedari awal tidak terlalu banyak berkomentar. Seperti itukah rasanya kencan buta bersama CEO ternama?
Tak lama kemudian, seorang waiters muda kembali datang membawa desert yang lagi-lagi telah dipesan terlebih dahulu oleh Ryan. Satu hal yang berhasil membuat wanita itu memasang ekspresi kesal.
"Kamu sudah pesan desert duluan, Ren?" tanya Anggun melirik tajam pada matcha lava di hadapannya.
"Yup, alasannya masih sama. Tentu saja supaya kamu tidak perlu menunggu lama."
Ryan tersenyum lebar, dalam hati pun bersorak ria karena sepertinya rencananya akan berhasil. Hal itu terbukti dari ekspresi Anggun saat ini. Tidak ada salahnya ia mengikuti semua instruksi dari Rendra, si player cap kapak.
"Ada apa?" tanya pria itu pura-pura memasang wajah khawatir.
Alih-alih menjawab, Anggun justru menekuk wajahnya. Ia seolah-olah ingin menunjukkan Suasana hati yang sudah merasa tidak nyaman berkencan dengan sosok pria di hadapannya.
Ryan memejamkan mata sekilas, membayangkan sebanyak apa bonus yang akan dia terima nanti. Ternyata tugas semacam ini kian lama kian mudah saja. Tidak sukar untuk membuat seorang wanita untuk ilfill kepadanya. Sepertinya, Ryan akan menerima misi semacam ini dengan senang hati untuk ke depannya.
Selama ini pria itu bekerja keras, tanpa tahu bahwa ada cara yang lebih mudah dan cepat untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah yang lebih banyak.
"Kenapa? Bagaimana bisa?" Anggun berkata masih dengan wajah kesal, tetapi maniknya jelas mulai mengembun. Melihat hal itu Ryan menjadi panik. "Aku tidak pernah berpikir seorang Rendra mampu berbuat seperti ini," sambungnya lagi.
Wanita itu menutup wajah dengan kedua tangan. Mulai celingukan seolah-olah sedang mencari sesuatu. Air matanya menetes, tetapi tetap masih sibuk mencari sesuatu yang entah itu apa.
"Hey! Kamu kenapa?"
Ryan makin panik melihat perubahan mimik dan sikap Anggun. Ia memberanikan diri memegang kedua pundak wanita itu, berusaha untuk menenangkan. Namun, Anggun menampik dengan keras sentuhan itu, membuat Rayan terlonjak kaget.
"Kamu ...." Anggun mengacungkan jari telunjuk ke wajah pria itu.
Ryan masih memandang dengan wajah keheranan, tidak habis pikir kesalahan apa yang telah dilakukannya. Ia beralih menatap Rendra, tetapi pria itu justru mengangkat bahu dengan santai. Jika bosnya saja tidak tahu, apalagi dirinya.
"Don't touch me!" jerit Anggun membuat mereka menjadi pusat perhatian.
Tubuh wanita itu bergetar, lalu ia mengusap lelehan bening yang lolos di sudut matanya. "Aku akan melaporkan ke Papi apa yang telah kamu lakukan ke aku."
Ryan mengernyit heran. "Tenanglah Anggun. Lihat ... semua orang sedang memperhatikan kita."
"Memangnya kamu malu? Semua orang harus tahu siapa kamu sebenarnya!" hardik wanita itu. Entah apa yang membuatnya begitu ketakutan dan marah.
"Kita bicarakan baik-baik, ya. Saya tidak mau ada kesalahpahaman di antara kita. Kalaupun Anda tidak ingin melanjutkan pertemuan ini, lebih baik kita mengakhiri secara baik-baik."
Anggun mengakhiri tangis, menghapus pelan jejak air mata di pipinya. "Iya, lebih baik seperti itu. Kita akhiri semuanya baik-baik. Anggap saja pertemuan ini tidak pernah terjadi. Aku tidak ingin berhubungan dengan pria psikopat sepertimu."
Ryan menatap wanita bermanik coklat itu. Sesaat pandangan mereka beradu dan saling mengunci. Pikirannya masih dipenuhi tanda tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Namun, makin keras berpikir, ia makin tidak menemukan petunjuk ataupun titik terang. Akhirnya ia meenyerah dan memilih menikmati kemenangan.
Wanita itu memutus kontak mata, lalu mengambil clutch hitam yang dia letakkan di atas meja. Setelah menarik napas panjang, ia melangkahkan kaki seanggun saat pertama kali memasuki restoran tadi. Ryan memandangi bayangnya hingga menghilang di balik tembok.
Ryan menghampiri Rendra dengan angkuh, membusungkan dada dan mengangkat wajah seolah-olah telah melakukan sesuatu yang sangat besar. Namun, bosnya hanya tersenyum simpul menyesap wine.
"Ehm, semua sudah beres bos. Saya tunggu transferannya," ucapnya tersenyum sambil memainkan kedua alis naik turun.
"Oho, tidak semudah itu Ferguso." Rendra menggoyangkan jari telunjuknya ke kiri dan ke kanan.
"Apa maksudnya, Bos? Bukankah kita sudah sepakat? Atau ... seorang Rendra pun mulai mengingkari janji?"
Tawa renyah dari Rendra menggema, memenuhi langit-langit restoran bintang lima itu.
"Inilah kesalahanmu. Terlalu senang menikmati keberhasilan orang lain. Kamu tidak tahu, kan, kenapa dia setakut itu?"
"Bagaimana aku bisa tahu," jawab Ryan mengedikkan bahu.
Rendra tersenyum menampilkan smirk di wajahnya. Memberi isyarat dengan tangan agar pria itu mendekatkan wajah ke arahnya.
"Aku sudah menyelidiki tentang wanita itu. Sebenarnya dia suka orang yang perhatian, seperti memesankan sesuatu lebih dulu seperti tadi. Penggemar berat lagu yang mengalun sejak dia duduk. Ya, aku memang spesial memesan lagu itu untuknya. Hobi makan matcha lava. Bahkan restoran ini tempat favorit yang tidak pernah absen dia datangi setiap minggu. Namun, yang paling penting dia menyukai seseorang yang makan rare steak dengan tangan, tapi bukan pria melainkan wanita."
Ryan sedikit terperangah mendapat penjelasan dari Rendra.
"Astaga ... jadi maksud Bapak saya baru saja kencan sama ...." Rendra sengaja tidak melanjutkan kalimatnya, mengingat ia sedang berada di tempat umum.
"Yes, that's right!" Rendra bangkit dari tempat duduk, berniat untuk segera beranjak.
"Oh God ... nyesel banget tadi udah pegang pegang tangannya, iih!" Ryan mengusap kedua lengan, bergidik ngeri memandang pria di hadapannya. Sementara itu, Rendra hanya terkikik geli melihat ekspresi sang asisten.
"Lain kali, pilih pilih dulu lah, Pak ... jangan asal setuju saja kalau diajak kencan sama orang!" protes Ryan sedikit kesal, but nice strategy. Dalam hati ia bersyukur karena merupakan sekutu dan bukan musuh dari atasannya itu.
"Mana saya tahu kalau ternyata wanita itu pecinta sesama jenis," balas Rendra seraya berbisik di akhir kalimatnya dan masih terkekeh menahan tawa.
Pantas saja Anggun tiba-tiba berubah histeris. Secara tidak langsung, semua itu menunjukkan ketakutan karena merasa Ryan sudah memata-matainya. Tentu wanita itu tidak ingin siapa pun mengetahui rahasianya.
"Lalu bagaimana dengan bonus saya?" tanya Ryan setelah mereka beranjak dari tempat itu dan berjalan menuju pintu keluar. Tentunya setelah Rendra menyelesaikan pembayaran dengan kasir resto.
"Karena kamu sudah bersedia membantu. Jadi, saya akan tetap memberikan bonus, tapi hanya setengahnya!"
"Lho, kok gitu, Pak?" Ryan terbelalak kaget. Tentu ia tidak terima dengan keputusan sang atasan yang sudah mengingkari perjanjian.
"Pilihannya cuma dua, terima setengahnya atau tidak sama sekali!" tegas Rendra seraya masuk ke dalam mobil yang sudah berada di depannya.