"Cih..." pekik Rendra kesal. Wanita itu benar-benar membuatnya gila. Aleeta, wanita yang telah memenuhi pikirannya selama beberapa hari terakhir.
"Apakah aku tidak cukup menarik?" Pertanyaan Rendra berhasil membuat wanita manja di sampingnya itu menoleh ke arahnya.
"Mengapa Anda menanyakan pertanyaan seperti itu, Tuan Rendra? Tentu saja Anda sangat menarik. Bahkan kami rela menyerahkan tubuh kami secara sukarela kepada Anda." Wanita itu terkekeh.
Rendra menatap wanita itu sejenak. Kalau dipikir-pikir, apa yang dikatakan wanita di sampingnya itu benar. Selama ini para wanita yang mengejarnya. Atau mungkin Aleeta itu tidak normal?
Rendra segera menepis pikiran konyol yang terlintas di benaknya. Malam itu dia menghabiskan waktu menyesap minuman yang tersaji di meja di hadapannya. Malam ini dia hanya ingin bersenang-senang dan berhenti memikirkan Aleeta.
***
Matahari bersinar cerah pagi ini, hanga sinarnya menembus awan biru, memberikan semangat bagi para pejuang rupiah di ibu kota. Kota yang disebut-sebut lebih kejam dari ibu tiri itu nyatanya tidak pernah mati. Jalanan selalu dipadati pengendara dan pejalan kaki yang memulai aktivitas pagi mereka.
Mobil yang ditumpangi Aleeta melaju untuk memecah hiruk pikuk jalanan kota. Sesekali suara klakson dari pengemudi mobil yang menunggu lampu hijau cukup memekakkan telinga. Cukup aneh memang penduduk negeri ini. Mengapa mereka membunyikan klakson jika pada akhirnya mereka masih harus menunggu lampu berubah menjadi hijau.
Aleeta mencoba menikmati perjalanan pagi yang penuh kemacetan. Pikirannya masih dihantui pesan teks dari seseorang beberapa hari yang lalu. Dari sekian banyak pesan yang masuk, entah kenapa hanya pesan itu yang berhasil mengganggu pikirannya.
Aleeta tidak menikmati akhir pekannya. Bahkan, sepanjang hari pikirannya tidak fokus. Dia ingin membalas pesan itu, tetapi tidak bisa karena rasa gengsinya yang tinggi.
Hari ini jadwal Aleeta cukup padat, bahkan wanita itu melewatkan makan siang. Selama jam kantor, Aleeta memutuskan untuk mampir ke pusat perbelanjaan. Dia harus mengisi kulkas di apartemennya yang hampir kosong. Cukup dengan hati yang kosong, isi kulkas dan perut tidak boleh ikut kosong, ya.
Suara logam berat bertabrakan menarik perhatiannya. Troli berisi belanjaan yang didorong Aleeta rupanya ditabrak seseorang.
"Maaf, saya tidak bermaksud begitu," kata seorang wanita sambil mengumpulkan barang-barang yang terlepas dari tangannya.
Secara spontan Aleeta berjongkok untuk membantu. "Kenapa kamu tidak membawa keranjang?"
Wanita itu melihat benda-benda yang tergeletak di lantai. "Astaga! Kenapa aku sebodoh ini?" wanita itu kemudian tertawa. "Pasti karena aku terlalu emosional," lanjutnya.
Es krim dengan dua rasa berbeda sudah tersaji di meja. Dua orang yang baru saja bertemu sedang duduk berhadapan. Para wanita itu adalah Aleeta dan Malika. Ya, Malika adalah sepupu Rendra. Sungguh kebetulan yang aneh.
"Orang bilang makan es krim bisa menghilangkan stres dan emosi." Malika terus menyuapi es krim ke dalam mulutnya. Sesekali dia menghela napas pelan.
Aleeta hanya menatap wanita di depannya. Sebenarnya ia cukup terkejut dengan Malika yang begitu mudah akrab dengan orang yang baru ditemuinya.
Setelah membantu Malika mendapatkan troli belanjaan tadi, wanita itu rupanya terus mengikuti Aleeta. Bahkan, setelah keluar dari supermarket di pusat perbelanjaan tadi, Malika langsung menarik lengan Aleeta dan membawanya ke food court.
"Sebagai ucapan terima kasih," terang Malika menjelaskan ketika Aleeta tampak terkejut dengan perilakunya.
Aleeta belum menghabiskan es krimnya, tapi Malika telah menghabiskan mangkuk kedua.
"Aku benar-benar kesal dengan sepupuku, dia selalu merusak rencana kencanku dengan tunanganku." Malika memakan sendok terakhir es krimnya. "Saya doakan dia mendapatkan gadis yang akan membuatnya gila sampai mati," lanjut Malika sambil membersihkan bibir mungilnya dengan tisu.
Aleeta, yang telah mendengarkan perkataan wanita di depannya, hanya mengerutkan kening.
"Mengapa wanita ini begitu mudah mengungkapkan perasaan di depannya? Apakah dia selalu seperti itu dengan orang yang baru dia kenal?" pikir Aleeta saat itu.
"Maafkan aku. Aku sudah bicara sebanyak itu, meski kita baru saja bertemu. Aku enggak tahu kenapa aku merasa nyaman dengan Kakak." Malika tersenyum kepada Aleeta.
"Jika kita bertemu lagi, aku harap kita akan menghabiskan waktu bersama untuk berbelanja." Malika terkekeh mendengar kata-katanya sendiri. "Maaf, ya, jika kamu enggak nyaman dengan aku."
Entah sudah berapa kali Malika meminta maaf sejak bertemu Aleeta. Pertemuan mereka sepertinya didominasi oleh kata maaf.
Wanita ceria itu melambai dengan senyum lebar di wajahnya saat dia berpisah dari Aleeta. Dia segera berjalan keluar dari area food court. Itu membuat Aleeta menatapnya dengan heran, tetapi tidak ingin memikirkan alasannya lebih jauh.
"Wajah Malika terlihat familier. Entah dia terlihat seperti seseorang yang kukenal atau aku pernah melihatnya di suatu tempat, ya?" Aleeta bergumam pada dirinya sendiri.
Dia memegang perutnya yang terasa dingin setelah makan es krim dengan perut kosong. Akhirnya Aleeta memutuskan untuk mengisi perutnya terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah.
Sementara itu, Rendra dan asistennya berada di mal yang sama. Mencari Malika yang mengatakan dia sedang makan di food court seperti yang disebutkan wanita itu dalam pesan teks sebelumnya.
"Bagaimana? Apakah Malika menjawab telepon?" tanya Rendra kepada asisten setia yang berdiri di sampingnya.
Ryan menggelengkan kepalanya lemah. "Belum, Bos," bisiknya sedih.
"Hei, semangatlah. Aku tahu siapa Malika. Dia bukan wanita yang akan marah hanya karena kamu terlambat menjemputnya untuk bekerja. Jika dia marah, salahkan saja padaku. Katakan padanya aku yang salah. Semangatlah!" Rendra menepuk pundak Ryan bermaksud menyemangatinya.
"Jelas itu salahmu, 'kan, Bos, karena memaksaku," gumam Ryan dengan cemberut di wajahnya.
"Apa katamu?" tanya Rendra. Mendekatkan wajahnya mencoba untuk mendengar lebih seksama apa yang dikatakan oleh asistennya. Kebisingan pengunjung membuat Ryan kesulitan mendengar apa yang dia katakan.
"Tidak, tidak, bos." Ryan dengan sedih menggaruk bagian belakang lehernya yang tidak gatal.
Kedua pria itu masih sibuk mencari bayangan Malika. Namun, sedetik kemudian mata cokelat Rendra menemukan sosok yang membuatnya kehilangan fokus selama beberapa hari. Meskipun wanita itu membelakanginya, dia sangat yakin bahwa itu adalah Aleeta.
Rendra buru-buru berjalan ke meja Aleeta. Meninggalkan Ryan yang masih sibuk berkutat dengan ponselnya. Biarkan asistennya menemukan idolanya. Sementara itu dia akan mendekati keinginan hatinya yang duduk sendirian.
"Permisi, bolehkah saya duduk disini?" tanya Rendra setelah duduk di kursi tepat di depan Aleeta. Wanita itu tampak berhenti makan dan menatap pria itu.
"Mengapa bertanya ketika Anda sudah duduk?" Aleeta menjawab dengan nada dingin. Padahal sebenarnya ia berusaha menahan kegembiraan bertemu Rendra.
"Ah, maafkan saya. saya terlalu lelah mencari sepupuku dan kursi ini adalah satu-satunya kursi kosong yang tersisa."
Aleeta segera melihat sekeliling ketika mendengar kata-kata Rendra. Ternyata apa yang dikatakan pria itu benar.
"Jika kamu tidak nyaman, saya akan pergi. Maaf karena mengganggu makanmu." Rendra berniat untuk pergi.
"Sudahlah. Duduk saja. Lagi pula, ini kursi umum, siapa pun bisa duduk di atasnya, termasuk Anda. Saya tidak punya hak untuk menghentikanmu, kamu."
Sementara Ryan yang sedang fokus pada ponselnya masih belum menyadari bahwa Rendra sudah tidak ada lagi di sampingnya.
"Bagaimana kalau Malika benar-benar marah, Bos?" Pertanyaan itu terlontar dengan pandangan Ryan yang masih terfokus pada ponselnya. "Bos?" Ryan bertanya lagi karena tidak mendapat jawaban dari bosnya.