Ryan sendiri tidak habis pikir. Bagaimana mungkin dia tidak menyadari bosnya pergi? Ah, mungkin karena terlalu fokus mencari kekasihnya, sehingga dia tidak memerhatikan hal lain.
Untuk sesaat Ryan tidak menyadari bahwa dia sedang berbicara pada dirinya sendiri. Beberapa orang yang lewat menatapnya dengan senyum dan menggelengkan kepala.
"Sial. Mereka mungkin mengira aku gila," umpatnya kesal.
Ryan melihat sekeliling, mencari seseorang yang tega pergi meninggalkannya dan membuat dia mempermalukan dirinya sendiri.
"Astaga, bagaimana dia bisa tenang di sana ketika aku hampir gila karena ketakutan. Bos yang terkutuk." Sumpah serapah masih terlontar dari mulut Ryan.
Gegas Ryan melangkah menghampiri bosnya. Namun, baru beberapa langkah ia lewati, ponsel di saku celananya berdering. Segera dia menekan tombol hijau di layar saat nama kekasihnya tertera di sana.
"Sayang … kamu ada di mana? Aku sudah menunggu kamu sejak tadi. Jangan bilang kamu masih di kantor." Suara wanita di ujung telepon mulai meninggi.
"A-aku pergi ke mall, sayang. Kamu di mana?" Ryan terlihat panik saat sambunga telponnya tiba-tiba diputus.
"Aduh ...." rintih Ryan saat merasakan sakit di bahunya. "Sialan, siapa kamu—" Kata-katanya terputus saat dia berbalik dan melihat seorang wanita yang menatapnya dengan tajam.
"Eh, Sayang." Ryan mengusap bahunya yang masih sakit.
"Gila, kekuatan cewekku kayak tukang pukul," keluh Ryan dalam hati.
"Dari mana saja kamu? Pasti Kak Rendra yang menahanmu, 'kan? Di mana dia sekarang? Biarkan aku yang membeei perhitungan kepadanya." Malika sudah mengerucutkan bibirnya.
"Apa? Siapa gadis itu? Kok, aku tidak tahu ya?" Ryan mengikuti arah tatapan kekasihnya. Matanya kembali menangkap sosok dua manusia yang sedang duduk berhadapan.
"Sayang. Ayo pergi, ayo pergi!" Ryan meraih lengan Malika ketika dia hendak berjalan ke arah sepupunya.
"Bisa membunuhku jika acara me time bos terganggu."
"Tunggu sebentar, Sayang. Sepertinya aku mengenal gadis yang duduk bersama Kak Rendra." Ryan tersenyum dalam hatinya. Tidak mungkin bagi Malika untuk mengenal wanita tersebut.
"Sayang, lebih baik kita pergi. Saat Rendra belum menyadari keberadaan kita. Jarang-jarang, 'kan, kita bisa bersama." Cengkeraman Ryan masih belum lepas dari tangan kekasihnya.
Malika menatap Ryan dan tampak berpikir. Menurutnya apa yang dikatakan Ryan itu benar. Selama ini, mereka tidak punya waktu untuk berjalan sendiri. Ketika mereka merencanakannya, Ryan sering membatalkan rencana mereka karena alasan pekerjaan. Malika tahu itu semua karena sepupunya yang merupakan bos kekasihnya.
Malika sering melakukan protes kepada Rendra. Namun, pria itu selalu acuh tak acuh untuk menanggapi.
"Kau benar, Sayangku. Sini ponselmu." Malika segera meraih ponsel Ryan. Setelah menekan tombol di samping ponsel, ia memasukkan benda datar itu ke dalam tas kekasihnya.
"Sekarang aman." Malika meraih tangan Ryan dan meninggalkan tempat itu.
"Ngomong-ngomong, hari ini adalah hari kita berdua." Mereka pergi sambil tertawa.
Mereka membayangkan wajah kesal Rendra ketika dia tidak bisa menghubungi mereka. Apalagi kunci mobil Rendra ada di tangan Ryan.
Rendra masih sibuk memperhatikan Aleeta yang sedang menghabiskan makanannya. Nafsu makan wanita itu cukup besar dibandingkan dengan wanita yang dia temui selama ini.
"Sepertinya makananmu sangat enak," kata Rendra, membuat Aleta berhenti makan lagi.
"Ehm... itu karena aku belum makan seharian." Wajah Aleeta memerah karena malu. Itu adalah pemandangan yang langka bagi Rendra. Biasanya dia hanya akan melihat ekspresi dingin wanita itu. Namun, bahkan seorang Aleeta bisa memerah seperti itu.
"Sedikit menggoda mungkin menyenangkan, bukan?" pikir Rendra bersemangat. Itu adalah pemandangan yang langka baginya untuk melihat ekspresi malu wanita itu.
"Oh, belum makan sejak pagi. Kupikir kamu memang makan banyak."
Aleeta tersedak mendengar pernyataan yang cukup frontal dari Rendra.
"Sial. Bukankah dia belajar untuk tidak mengatakan semua yang ada di pikirannya? Sejak pertemuan pertama, asisten Ryan bersikap mudah padaku. Tapi tidak bisakah dia menutup matanya dan menjaga perasaanku? Itu menyebalkan", pikir Aleeta , mengutuk Rendra.
"Kamu tidak perlu bersumpah dalam hati. Katakan dengan jujur, selagi aku masih di sini." Rendra tersenyum lebar seolah-olah apa yang dikatakannya bukanlah sesuatu yang sulit.
Namun, hal itu sukses membuat Aleeta menjadi kesal. Dia hanya bertemu Rendra beberapa kali, dan tidak pernah berpikir bahwa pria itu akan begitu berani. Ah, seharusnya wanita itu bisa menebak saat pria itu tampil berani di hadapan bosnya.
"Anda tidak makan, Pak Ryan?" Aleeta menatap tajam ke arah Rendra. Cukup penasaran mengapa pria itu hanya duduk menontonnya menghabiskan makanan.
Rendra tertawa. "Selama kamu makan, aku juga ikut kenyang."
Aleta terdiam sejenak. Kemudian, benar-benar berhenti makan. Bukan karena dia kehilangan nafsu makan, tetapi karena hidangannya sudah habis. Dia bisa saja meminta lebih, tapi pria di hadpannya pasti akan menghinanya, kan?
"Jika kamu masih menginginkan lebih, silakan saja. Aku tidak akan menyalahkanmu. Bukankah butuh banyak usaha untuk mengabaikan ketampananku, hm?"
Aleeta terlihat tenang. Tidak ada lagi wajah malu yang dia tunjukkan sebelumnya. "Ehm, maaf Pak Ryan, sepertinya saya harus pergi sekarang," kata Aleeta setelah pura-pura melihat layar ponselnya. Untungnya, sebuah notifikasi masuk, sehingga memperkuat alibinya. Padahal pesan yang masuk sebenarnya dari nomor yang tidak dikenal. Tentang dia yang mendapat hadiah give away sebesar 50 juta.
"Sepertinya kamu sibuk. Aku tidak akan menahanmu. Aku masih akan menunggu Malika di sini sebentar."
Wanita itu menghentikan gerakannya tepat saat dia akan pergi. Dia sepertinya pernah mendengar nama itu di suatu tempat.
"Ah, bukankah wanita yang kutemui tadi juga bernama Malika? Namun, apakah dia benar-benar wanita yang dimaksud Ryan? Sepertinya dia tidak sedang menunggu seseorang." Aleeta bertanya-tanya dalam hatinya.
"Anda bisa pergi Nona Aleeta. Saya sudah terbiasa sendirian." Rendra menampilkan senyum menawan yang membuat wanita itu terkesima.
Sejujurnya, kepergiannya karena merasa tidak nyaman berada di dekat Ryan. Namun, dia mencoba yang terbaik untuk menangkal perasaan aneh yang mulai merayap ke dalam jiwanya. Apalagi dengan senyuman yang membuat sang pria semakin menawan berkali-kali lipat.
Aleeta segera menjauh dari tempat itu. Sebelum perasaan aneh di dadanya memuncak.
Rendra tampak menatap kepergian Aleeta, hingga bayangannya menghilang di antara kerumunan pengunjung. Pria itu mengalihkan perhatiannya ke layar ponsel. Jari-jarinya sibuk mencari nama asisten itu, lalu memanggilnya.
"Argh, sialan!" Rendra kesal setelah menekan nomor Ryan berkali-kali. Namun, nomor tujuan masih juga belum aktif.
Tidak kehabisan akal, pria itu kemudian menghubungi Malika. Namun, lagi-lagi hal yang sama terjadi. Tampaknya dua sejoli itu bersekongkol untuk membuatnya kesal karena selalu mengganggu jadwal kencan mereka.
"Baiklah jika itu yang kamu inginkan," geram pria itu dengan seringai di wajahnya
Usai mengirim pesan singkat kepada asistennya, Rendra tampak menelepon seseorang. Tidak hanya meninggalkannya, bahkan mobilnya juga dibawa oleh asistennya. Ketidaktaatan itulah yang berhasil membuat amarahnya memuncak.
Sementara Ryan dan Malika tampak asyik menonton film di bioskop. Masih di mall yang sama. Hanya saja mereka sepakat untuk mematikan ponsel masing-masing. Biarkan mereka menikmati kebersamaan singkat yang menyenangkan hari ini. Untuk menyambut hukuman entah apa besok.
"Apa yang kamu lakukan, Sayang? Filmnya tidak bagus atau kamu bosan denganku, hm?" Malika memasang wajah sedih. Meski ingin menikmati hari itu bersama kekasihnya, sepertinya pria itu sedang memikirkan hal lain.
Ryan merinding. Sadar akan sikapnya yang membuat Malika kecewa.
"Tentu saja tidak! Aku sangat senang bersamamu. Persetan dengan Rendra dan semua hukuman yang akan kuterima besok."
Pria itu memeluknya erat. Dia menghujani seluruh wajah Malika dengan kecupan singkat, sebelum menyandarkan kepala Malika di bahunya.
Wajah Malika langsung berseri-seri karena bahagia. Sudah lama sejak terakhir kali mereka berkencan dengan tenang. Setiap ada kesempatan bertemu, Rendra akan langsung menelepon Ryan dan memintanya bekerja lembur. Benar-benar orang yang tidak pengertian.
Keesokan harinya matahari tampak bersembunyi malu-malu di balik awan kelabu. Sama seperti Ryan yang menghindari Rendra. Bukan karena rasa bersalah setelah meninggalkan pria itu tanpa uang sepeser pun, tetapi karena takut akan hukuman yang akan dia hadapi.
"Di mana, ya," gumam Ryan dari balik tembok. Setengah dari tubuhnya berada di balik tembok dan hanya kepalanya yang muncul untuk melihat situasi.