"Ehem ...." Sebuah dehaman dari arah belakang berhasil membuat Ryan terlonjak. Sontak dia melompat saat tahu pemilik suara itu.
Derap langkah Ryan masih beriringan dengan Rendra yang kini berjalan tepat di depannya. Sesekali dia mengusap bagian kepalanya yang sedikit pusing akibat terbentur di dinding karena rasa terkejutnya tadi.
Diamnya Rendra kali ini berhasil membuat jantung Ryan terpacu lebih keras, padahal waktu masih cukup pagi, tetapi dia sudah sangat ingin mengakhiri hari. Bahkan, tidak ada tanggapan apa pun saat Ryan memberi tahu tentang jadwal meeting mereka hari ini.
Rendra seakan fokus dengan dokumen ditangannya dan tidak peduli sama sekali kepada Ryan.
Diabaikan seperti itu membuat Ryan merasa sangat tidak nyaman. Ingin dia mengadukan sikap atasannya itu pada sang kekasih. Namun, hal itu tentunya hanya akan membuat segalanya semakin bertambah runyam.
Usai makan siang, Ryan bertekad untuk bicara dengan bosnya tersebut karena tidak nyaman dengan suasana yang sangat mencekam seperti itu.
"Sial, bahkan saat ini rasanya lebih menegangkan dibandingkan saat aku dulu akan menghadapi sidang skripsi." Ryan masih terpaku, ragu antara akan masuk ke dalam ruangan di depannya atau tidak.
"Masuk!" Suara dari dalam ruangan itu terdengar jelas di telinga Ryan. Pria itu mengedarkan pandangan ke belakang dan ke sekeliling, tetapi hanya ada dirinya seorang. Mungkinkah itu artinya titah tersebut ditunjukan kepadanya?
Walaupun ragu, Ryan akhirnya melangkah memasuki ruangan yang terasa panas itu. Saat dia mendongakkan kepala, atasannya itu tengah menatap tajam ke arahnya. Segera pria itu menundukan kembali pandangannya, memilih menatap lantai yang entah kenapa terlihat begitu mengkilap saat itu.
"Mungkin lebih baik aku mengucapkan kata maaf dulu." Ryan sedang berperang dengan pikirkannya.
"Bos, Sa—"
"Aku tidak butuh kata maafmu. Aku hanya ingin penjelasan yang masuk akal untukku!" Belum sempat Ryan menyelasikan kalimatnya sang atasan sudah lantang berbicara.
"Ma—maafkan saya, Pak." Ryan semakin tertunduk.
"Kau tuli atau memang kalimatku sulit untuk dipahami?" Rendra kembali berucap.
Astaga malika, kenapa kamu harus menjadi sepupu harimau gila ini. Bagaimana nasibku jika nanti menjadi sepupu iparnya.
"Sa—saya lupa untuk mengisi daya ponsel saya, Pak. Saat saya sedang mencari Malika ponsel saya mati." Ryan tidak mungkin mengatakan kebenaran yang sesungguhnya. Dia tidak ingin melibatkan Malika dalam hal ini.
"Cih, sebesar itukah rasa cintamu kepada adik sepupuku? Sampai-sampai saat situasi seperti ini pun kamu masih membelanya." Rendra mendengus kesal. "Rupanya cinta sudah membuatmu rela untuk menerima hukuman berat dariku," imbuhnya dengan senyum penuh intimidasi.
"Bukankah kamu juga sedang menjadi aneh karena seorang wanita?" Ingin rasanya Ryan melontarkan kalimat itu, tetapi dia masih ingin bekerja di sana.
"Kamu bukanlah orang yang ceroboh, Ryan. Ponselmu tidak pernah kehabisan baterai. Bahkan kamu tidak pernah tertinggal dari charger dan powerbank milikmu." Kalimat yang dilontarkan atasannya itu berhasil membuat Ryan tidak berkutik. Dia lupa jika atasannya itu adalah orang yang sangat teliti.
"Baiklah jika kamu memang memilih membela kekasihmu. Padahal tanpa kau bela, aku sudah tahu jika kejadian kemarin adalah ide dari Malika." Rendra beranjak dari kursi kebanggannya. Menghampiri sang asisten dan berdiri tepat di sampingnya.
"Aku tidak akan memberi hukuman berat kepadamu. Kamu cukup membuat Aleeta jatuh hati padaku. Pikirkan cara agar kami bisa semakin dekat." Rendra menepuk bahu Ryan beberapa kali sebelum dia benar-benar meninggalkan ruangan itu.
Sementara itu, Ryan masih terpaku ditempatnya. Mencerna kembali ucapan sang atasan. Otaknya sedang berpikir keras. Setelah benar-benar menyadari apa yang diucapkan Rendra, pria itu segera berlari mengejar sang atasan.
"Pak, apa hukumannya tidak bisa digantikan dengan yang lain? Berpura-pura menjadi Anda saat kencan buta, barang kali?" Napas lelaki itu sedikit terengah saat berjalan disamping Rendra yang melangkah dengan cepat.
"Masih berani menawar? Itu akan menjadi tugas utamamu sekarang. Kencan buta itu hanya tugas sampingan untukmu, tapi kamu tetap wajib melakukannya." Rendara tersenyum puas saat melihat wajah pucat sang asisten.
Mentari sudah menghilang di bawah cakrawala di ufuk barat. Meninggalkan awan yang sudah mulai menggelap. Lampu-lampu jalan pun telah menyala sejak sore tadi, tetapi jalanan kota masih cukup padat. Hari ini cukup melelahkan untuk Ryan. Bahkan saat jarum jam sudah menunjukkan pukul 23:00 WIB, mata lelaki itu masih belum juga terpejam. Otaknya masih bekerja keras, memikirkan permintaan sang atasan.
"Oh, Tuhan. Kenapa hidupku begitu rumit. Tidak hanya memikirkan masalah percintaanku saja, sekarang aku malah harus memikirkan masalah percintaan orang lain. Astaga." Ryan mengacak-acak rambutnya.
"Ah, bagaimana besok saja, lah. Aku sudah lelah hari ini." Ryan segera mematikan lampu kamar dan bergelung dibawah selimut. "Semoga malam ini aku bisa bermimpi mendapatkan ide untuk menyatukan Rendra dan Aleeta."
Siang itu matahari terik ketika Ryan membuat janji temu dengan Aleeta. Ajaibnya wanita itu menerima ajakan makan siangnya dengan mudah. Mungkin Tuhan iba melihat pria itu, hingga memudahkan aksinya untuk menjalankan misi yang nyaris tidak mungkin dari atasannya.
Derap langkah Ryan saling menyahut dengan Rendra. Dia harus mengakui jika atasannya itu sangat tampan. Namun, sifatnya yang sangat menyebalkan itu yang membuat para wanita menjauh. Kecuali Aleeta, wanita yang bersikap dingin dan terkesan menjaga jarak sejak awal berjumpa dengan Rendra.
Aleeta tampak sedang serius dengan tabletnya ketika mereka memasuki restoran tempat janjian. Namun, dengan segera dia menyimpannya begitu menyadari kehadiran Rendra dan Ryan.
"Maaf membuat Anda menunggu." Ryan menjabat tangan Aleeta tersenyum. Wanita itu menyambutnya dengan senyum tipis yang melengkung di wajahnya.
"Tidak apa-apa, saya pun baru tiba," ucap Aleeta sebelum kembali duduk. Tentunya setelah menjabat tangan Rendra juga.
Rendra terkesan hanya jadi penonton. Tanpa sepatah kata pun yang diucapkannya setelah tiba. Hanya memerhatikan Ryan dan Aleeta yang sibuk berbincang tentang proyek yang akan mereka kerjakan bersama.
"Maaf, saya harus menjawab panggilan ini," pamit Ryan setelah ponselnya berbunyi. Berjalan sedikit menjauh meninggalkan Aleeta dan sang atasan sesuai rencan. Sebenarnya itu bukan telepon masuk, hanya alarm yang disetelnya sebelum menemui wanita itu tadi.
"Sepertinya Pak Rendra pun sangat sibuk," gumam Aleeta dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
Rendra tersenyum mendengarnya. "Tentu saja. Anda pikir bagaimana perusahaan sebesar itu bisa berkembang dan tetap bertahan? Tentu saja dengan andil Pak Rendra yang bekerja keras bagai kuda. Bahkan, saat hari libur pun dia tetap bekerja."
"Oh," jawab Aleeta tampak acuh tak acuh. Tentu saja dia tahu betul bagaimana sibuknya seorang CEO tanpa penjelasan dari pria di hadapannya. Bukankah dia pun menjalani hal yang sama?
Rendra tampak terkejut dengan jawaban Aleeta. Tentu saja dia tidak akan mengira jawaban pendek yang terkesan cuek itu.
Sesaat kemudian Ryan telah kembali. Ekspresi kesal tergambar jelas di wajah Rendra melihat asistennya itu kembali dengan cepat.