Tepat pukul sepuluh pagi Rendra akhirnya memaksakan diri untuk bangun. Dia tidak bisa membiarkan tubuhnya terus terbaring di kasur. Harus segera sarapan dan meminum obat agar kondisinya cepat membaik.
"Kak ...." Malika langsung meghampiri kakak sepupunya itu setelah melihat Rendra ke luar dari kamar. Menggandeng lengan sebelah kiri pria itu, sementara Ryan memegang kedua bahunya. Mereka lantas berjalan perlahan menuju sofa di ruang tamu apartemen itu.
"Kakak sarapan, dulu, ya. Habis itu minum obat. Terus istirahat lagi." Malika menatap wajah Rendra yang terlihat pucat sembari menunggu tanggapan dari lelaki itu.
Rendra hanya menanggapi ucapan adik sepupunya itu dengan anggukan. Kepalanya masih sangat pusing dan dia pun sedang enggan untuk berbicara.
Setelah menghabiskan sarapan yang hangat setengah dari porsinya, Rendra segera meminum obat yang sudah disediakan oleh Ryan dan Malika.
"Aku ingin tidur lagi." Tidak menunggu jawaban dari kedua orang di sampingnya, Rendra pun melangkah menuju kamar dan kembali merebahkan tubuhnya di sana.
"Sayang, kamu saja yang belanja ke supermarket, ya. Aku di sini temani Kak Rendra. Aku khawatir kalau dia ditinggal sendirian." Malika menggenggam tangan Ryan, berharap sang kekasih mau menuruti permintaannya. Tentu saja dengan wajah memelas manja andalan Malika tentunya.
Sewaktu Rendra masih tertidur tadi, Malika memang sempat memeriksa lemari pendingin dan dapur. Ternyata, semua sudah kosong. Sepertinya kesibukan Rendra belakangan ini membuat lelaki itu tidak sempat mengisi barang-barang kebutuhannya yang sudah habis.
Malika tahu, Rendra sangat sibuk. Hal itu juga bisa ia lihat dari kekasihnya yang belakangan sulit sekali mempunyai waktu luang meski hanya untuk sekedar bertemu. Bahkan, Rendra dan Ryan lebih sering menghabiskan waktu di kantor daripada bertemu dengannya..
Rendra adalah seorang pria yang mandiri. Bahkan untuk membersihkan apartemennya yang cukup luas itu, ia melakukannya seorang diri. Bukannya tidak mampu membayar tenaga seorang asisten rumah tangga, melainkan pria itu tidak suka jika orang lain yang menyentuh barang-barang pribadinya. Tak jarang pula ia memasak sendiri saat mempunyai waktu luang. Namun, hanya malika dan Ryan saja yang tahu keahlian Rendara yang itu.
"Iya, Sayang. Walaupun aku ingin menghabiskan waktu libur ini sama kamu, tapi aku juga masih punya hati nurani terhadap kakak sepupumu itu." Ryan membawa tangan Malika mendekat ke bibirnya dan memberika kecupan lembut di sana.
"Terima kasih, Sayang." Malika memeluk erat tubuh Ryan.
Suasana salah satu supermarket terbesar di kota itu cukup ramai hari ini karena bertepatan dengan akhir pekan. Berbekal catatan yang ditulis Malika di ponsel Ryan tadi, kini pria itu sedang menyusuri tiap lorong dalam supermarket untuk mencari apa yang tertulis di sana. Matanya tajam membaca tulisan di benda pipih itu dan barang-barang yang tersusun rapi di rak di hadapannya.
Terhitung satu jam sudah Ryan berada di sana. Keranjang belanjaan yang didorongnya pun sudah cukup banyak terisi. Akan tetapi pria itu masih mencari beberapa barang lagi untuk melengkapi catatan di ponselnya. Saat ia hendak mengambil salah satu barang di rak, tiba-tiba seseorang juga mengambil barang yang sama.
"Bu Aleeta?"
"Pak Rendra?"
Mereka kompak mengucapkan kata masing-masing.
"Wah, ternyata Bu Aleeta sedang belanja juga, ya." Ryan melirik keranjang belanjaan Aleeta yang hampir penuh isinya.
"Iya, Pak. Kebetulan memang sudah waktunya belanja." Aleeta tersenyum ramah. "Pak Rendra sendiri saja?" tanya Aleeta yang juga sedang tidak bersama seseorang.
"Oh, iya, Bu Aleeta. Kebetulan asisten saya sedang sakit. Jadi saya hanya sendiri saja. Lagi pula ini di luar jam kantor, jadi saya bisa membiarkannya istirahat."
"Pak Ryan sakit?" tanya Aleeta cepat setelah Ryan menyelesaikan ucapannya. "Apa karena kehujanan tadi malam dia jadi sakit?" Batin Aleeta.
Ryan menangkap rasa khawatir di wajah Aleeta. "Iya, Bu Aleeta. Tadi pagi dia mengabari saya. Karena itulah saya berada di sini sekarang."
Aleeta tampak tidak mengerti dengan ucapan pria di hadapannya. Apa hubungan antara sakitnya Rendra dengan keberadaan Ryan di supermarket itu? Bukankah seharusnya Ryan di apartemen Rendra untuk menani pria itu? Atau yang lebih logisnya dia mengantarkan asistennya ke rumah sakit, mungkin?
"Maksudnya, saya sedang membeli kebutuhan asisten saya yang ternyata memang sudah habis." Ryan seakan tahu kebingungan Aleeta.
"Oh, Anda sungguh atasan yang baik, Pak Rendra. Baru kali ini saya melihat atasan yang rela mendorong keranjang belanjaan demi membeli kebutuhan asistennya. Rasa peduli Anda sangat luar biasa, Pak Rendra." Aleeta mencoba untuk menanggapi ucapan Ryan. Walaupun pikirannya masih tertuju pada Rendra.
"Lalu bagaimana kondisi Pak Ryan saat ini, Pak?" Aleeta kembali bertanya.
Mendengar pertanyaan Aleeta, otak ryan langsung bekerja. Ide-ide brilian mulai bermunculan di benaknya.
"Ryan demam cukup tinggi. Terakhir saat saya tinggalkan dia, dia sedang tertidur." Ryan menjawab masih dengan pandangan yang tak beralih sedikitpun dari Aleeta.
"Anda meninggalkannya sendiri?"
Ryan mengangguk, ia dapat menangkap kekhawatiran di sana.
"Iya, Bu Alleta. Karena itu saya mohon maaf, karena saya harus buru-buru untuk kembali ke sana, saya khawatir jika terjadi sesuatu pada asisten saya karena terlalu lama meninggalkannya. Kalau begitu saya permisi dulu, Bu Alleta." Ryan segera berlalu meninggalkan Alleta setelah kembali mengambil barang yang tadi sempat tidak jadi ia ambil.
Sambil berjalan Ryan tersenyum. Dalam hatinya ia yakin sebentar lagi wanita itu akan memanggilnya kembali.
"Pak Rendra! Tunggu!" Dengan langkah cepat, Aleeta menyusul Ryan. "Pak kalau boleh saya ingin melihat kondisi Pak Ryan. Sebenarnya tadi malam dia menolong saya. Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Pak Ryan," jelas Aleeta saat sudah berdiri di samping Ryan.
"Oh, baiklah, Bu Aleeta. Kalau begitu Anda bisa ikut saya."
Aleeta mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih, Pak Rendra."
"Sama-sama, Bu Aleeta."
Setelah menyelesaikan pembayaran belanjaan masing-masing, Aleeta pun memutuskan untuk ikut bersama Ryan menuju apartemen Rendra. Sebelumnya Aleeta sudah menyuruh seseorang untuk mengambil belanjaannya yang sudah ia titipkan.
Di dalam mobil tidak ada perbincangan apa pun. Aleeta enggan walau hanya sekedar basa-basi untuk berbincang dengan Ryan. Pikirannya masih dihantui oleh rasa bersalahnya pada Rendara.
"Rasanya sebuah kehormatan Bu Aleeta mau menjenguk asisten saya." Ryan mencoba untuk memulai percakapan.
"Saya hanya ingin memastikan keadaan Pak Ryan baik-baik saja. Saya hanya khawatir dia sakit karena menolong saya tadi malam. Saya tidak ingin mempunyai hutang budi pada orang lain." Aleeta menjawab dengan tegas.
"Baik, Bu Alleta saya mengerti." Ryan tidak melanjutkan lagi obrolan. Ia tahu, Aleeta tidaklah seperti wanita lain yang bisa diajak berbicara basa-basi.
Ryan kembali fokus mengemudikan mobil yang mereka tumpangi. Setelah 20 menit, mobil itupun sampai di sebuah apartemen mewah di kawasan ibu kota.
Setelah menaiki lift dan sampai di kamar yang mereka tuju. Ryan menempelkan sebuah kartu di pintu itu, kemudian mendorongnya. Keadaan di dalam ruangan itu cukup sepi sebab sang pemilik tengah tertidur di kamarnya.
Malika? Jangan ditanya ke mana wanita itu. Ryan sudah mengirimkan pesan pada kekasihnya itu. Entah pesan apa yang lelaki itu kirimkan hingga membuat malika bisa meninggalkan kakak sepupunya itu.