Rendra berdecak kesal menyaksikan respons asisten sekaligus sahabatnya tersebut.
"Kamu yakin akan menolak permintaanku ini? Aku akan memberikan bonus lima kali lipat dari biasanya," sambungnya, tentu saja dengan harapan asistennya itu akan menerima.
Ryan mendaratkan tubuhnya di atas sofa di ruangan itu.
"Aku sudah bilang, 'kan. Lebih baik aku mengundurkan diri saja. Aku sudah mendapat peringatan terakhir dari Malika. Untuk apa aku bekerja keras dan mempunyai banyak uang, jika pada akhirnya aku harus kehilangan wanita yang sangat aku cintai?" Ryan menyandarkan tubuh sedangkan matanya menatap langit-langit ruangan.
Kata-kata Malika beberapa waktu lalu cukup menjadi tamparan keras untuknya.
"Aku tidak mau lagi kamu terlibat kencan buta dengan para wanita yang akan dijodohkan dengan Kak Rendra. Bagaimana jika mereka malah tertarik kepadamu, atau malah sebaliknya. Wanita-wanita yang dikenalkan dengan Kak Rendra bukanlah wanita biasa." Penolakan keras dari Malika saat itu terus terngiang di rungunya.
Meskipun Ryan mencoba untuk menjelaskan dan meyakinkan, Malika tetap tidak ingin Ryan terlibat lagi dengan kencan buta itu. Tentu saja pilihannya adalah hubungan mereka akan berakhir jika saja Ryan tetap mengikuti perintah atasannya itu.
"Aku janji ini akan menjadi yang terakhir." Rendra masih belum menyerah.
"Tidak!" tegas Ryan tanpa basa-basi.
"Baiklah, biar aku yang akan bicara dengan Malika. Pasti dia akan mengikuti keinginanku." Rendra ikut mendudukkan tubuhnya di sofa. Beberapa saat kemudian dia fokus pada ponsel di tangannya. Sesekali pria itu terdengar berdecak kesal.
"Makan siang nanti kamu ikut denganku. Mundurkan jadwal meeting dengan klien satu jam ke belakang." Rendra lalu beranjak dan duduk kembali di kursi kebesarannya. Dia kini fokus membaca berkas-berkas dokumen yang tadi dibawa oleh asistennya tersebut.
Siang itu Rendra memutuskan untuk makam siang di sebuah restoran yang ada di pusat perbelanjaan terbesar di sana. Ryan yang sedari tadi mengikutinya tidak banyak bicara. Sebenarnya dia ingin bertanya 'untuk apa mereka makan siang di sini, bukankah restoran yang terletak dekat kantor mereka juga memiliki menu makanan yang enak?'. Namun, pria itu mengurungkan niatnya itu saatmelihat seseorang yang sangat dia kenali tengah duduk di salah satu kursi pengunjung yang ada di restoran tersebut. Rendra dan Ryan pun segera menghampiri orang tersebut.
"Kalian lama banget, sih!" protes wanita yang tengah memegang buku menu itu. Di atas mejanya tampak segelas minuman yang hanya menyisakan setengah dari isinya.
"Bawel!" Rendra memilih duduk pada kursi yang ada di hadapan wanita itu. Sedangkan Ryan, tentu saja memilih duduk di kursi yang ada di samping wanita itu.
"Siapa yang mengizinkan kamu duduk di situ?" Baru saja Ryan hendak mendaratkan bokongnya, pertanyaan Rendra justru membuatnya ragu untuk benar-benar duduk di sana.
"Sudah, Sayang. Kamu duduk di sini saja. Enggak usah mendengar kata-kata Kak Rendra. Jomlo memang begitu, suka sensitif." Malika menahan tangan Ryan yang hendak berdiri. Lalu memaksa pria itu untuk duduk di sampingnya.
Rendra hanya berdecak kesal melihat kelakuan adik sepupunya itu. "Sudah kita makan saja dulu. Nanti baru kita bicara." Rendra kemudian memanggil pelayan setelah ia memutuskan akan memesan makanan.
Tidak ada pembicaraan di antara ketiga orang itu, mereka seolah menikmati makan siang yang ada di piring mereka masing-masing.
"Sebenarnya Kak Rendra mau bicara apa,sih? Kenapa enggak bicara langsung di telepon saja?" Malika bertanya setelah mereka selesai makan. Dia cukup heran saat Rendra memintanya untuk makan siang bersama karena ada hal penting yang ingin dibicarakan dengan adik sepupunya itu. Biasanya Redra akan langsung menyampaikan maksudnya melalui telepon. Mengingat bagaimana sibuknya kakak sepupunya itu.
"Begini Malika, aku ingin meminjam kekasihmu. Aku sangat membutuhkan bantuannya." Rendra menatap Malika sebelum melanjutkan kalimatnya.
Malika justru menatap Ryan yang duduk di sampingnya. Sorot matanya seolah meminta penjelasan pada sang kekasih. Namun, Ryan hanya mengangkat bahu tanda dia pun tidak mengerti. Meski sebenarnya pria itu sudah tahu maksud dari ucapan Rendra, tetapi enggan untuk menjelaskan.
"Begini, kamu tahu, 'kan, Daddy tidak akan pernah berhenti untuk menjodohkan aku dengan perempuan-perempuan pilihannya?" Rendra melanjutkan kembali kalimatnya, "jadi—"
"Kak Rendra mau Ryan berpura-pura menjadi kekasih Kak Rendra? Kak Rendra ingin dia mengubah penampilannya? Atau Kak Rendra ingin berpura-pura mencintai sesama jenis?" Belum sempat Rendra melanjutkan kalimatnya, Malika sudah menodong dengan pertanyaan-pertanyaan yang terdengar gila dan menggelikan itu.
"Aku tidak segila itu, Malika!" Rendra berdecak kesal melihat ekspresi adik sepupunya yang seolah-olah sangat terkejut itu.
"Huft, untunglah. Aku tidak bisa membayangkan jika kalian harus berakting menjadi pasangan kekasih." Malika menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, seolah-olah memang sedang membayangkan hal menggelikan itu.
Rendra dan Ryan saling tatap, tidak habis pikir dengan pikiran gila Malika.
"Bisakah kamu mendengarkan aku dulu, Malika. Jangan menyimpulkan semua dengan pikiran gilamu itu." Rendra meneguk minuman di hadapannya.
"Lalu?" Malika tampak menunggu Rendra melanjutkan kalimatnya.
"Daddy meminta agar aku berkencan dengan perempuan pilihannya lagi. Karena perempuan sebelumnya sudah mundur dan tidak ingin melanjutkan kembali perjodohan itu."
"Jika Kak Rendra meminta aku untuk mengizinkan Ryan menggantikan Kak Rendra lagi, jawabanku adalah enggak!" Malika memanyunkan bibirnya.
"Belum juga aku melanjutkan kalimatku. Kamu sudah tahu maksudku apa." Lagi-lagi Rendra berdecak kesal.
"Kak, kenapa Kakak enggak minta wanita lain saja untuk berpura-pura menjadi kekasih Kakak. Bukannya Kak Rendra punya banyak kenalan wanita yang bisa untuk Kakak mintai bantuan. Aku yakin mereka pasti akan melakukannya dengan senang hati. Siapa yang enggak mau menjadi kekasih seorang Rendra, walaupun hanya sebatas sandiwara."
"Kamu tahu Daddy seperti apa, Malika. Dia enggak mau aku hanya membawa seorang kekasih, tetapi dia mau aku membawa wanita yang benar-benar akan menjadi menantunya. Dia juga bisa mencari tahu siapa sebenarnya wanita yang aku bawa nanti. Ayolah Malika." Redra masih terus membujuk Malika.
"Eng!" Malika masih tetap dengan keputusannya.
"Aku janji ini akan menjadi yang terakhir." Rendra masih belum menyerah.
"Sekali enggak, tetap enggak! Aku sudah membahas ini dengan Ryan sebelumnya, Kak. Jadi aku minta Kakak juga bisa menghargai keputusan kami." Malika masih tetap dengan keputusannya.
"Kak ... jika perjodohan ini gagal lagi, pasti akan ada perjodohan-perjodohan lain. Semua ini enggak akan berhenti sampai Kak Rendra benar-benar membawa wanita pilihan Kakak sendiri, atau Kakak terima saja perjodohan ini. Pada akhirnya Kak Rendra harus menikah juga, 'kan?"
"Enggak! Aku enggak mau menikah karena dijodohkan. Memangnya aku sudah enggak laku apa." Rendra menunjukkan penolakannya. Menjunjung tinggi rasa gengsi di hadapan adik sepupunya.
"Kenyataannya?" Malika tampak mencibir Renda.
"Aku bukan enggak laku, Malika. Tetapi aku hanya sedang menunggu seseorang. Aku yakin dia jodohku." Rendra tampak yakin dengan ucapannya.
"Jangan terlalu berharap dengan sesuatu yang belum pasti, Kak. Yang sudah pasti saja terkadang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan apalagi sesuatu yang belum pasti. Jangan membuat luka dan kecewa yang memang sengaja kamu buat dengan harapan." Malika mengingatkan Kakak sepupunya itu.
Malika tahu siapa wanita yang sedang ditunggu Renda. Dia dan Rendra memang cukup dekat.
"Bagaimana kalau aku kenalkan Kakak dengan seorang perempuan yang aku temui beberapa waktu lalu. Aku yakin Kak Rendra pasti suka. Orangnya cantik, baik, pintar —"
"Sebaiknya kita kembali saja ke kantor, Ryan." Rendra segera meninggalkan Malika. Setelah berpamitan pada kekasihnya, Ryan segera menyusul atasannya itu.
Malika hanya tertawa melihat raut kesal Rendra.