Rendra tampak terkejut mendengar suara di telepon.
"Daddy?"
"Ya, ini aku anak nakal," jawab ayahnya dengan tegas. "Kenapa kau meminta anak baik-baik seperti Ryan untuk membiarkanmu bunga mawar, hah? Aku dengar kau punya kekasih, tapi aku tidak menyangka jika kau tertarik kepada Ryan." Ayah Rendra tampak menurunkan intonasi suaranya di akhir kalimat. Tidak ingin Ryan mendengarnya dan menjadi salah paham kepada putranya.
"Apa? Shit! Apa maksudmu, Dad? Aku pria normal yang sangat sehat dan memiliki gairah yang sangat tinggi," kesal Rendra tidak terima dengan asumsi ayahnya. Bahkan meski Ryan adalah makhluk terkahir yang tersisa di dunia, dia tidak akan pernah menyukainya. Tidak meski hanya dalam mimpi.
"Apa kau bersungguh-sungguh? Kudengar dari teman kencanmu, kau meninggalkannya karena memiliki kekasih. Jika orang itu bukan Ryan, lalu kenapa kau memintanya memberikan bunga kepadamu?" Ayah Rendra lagi-lagi bertanya karena belum yakin dengan alasan Rendra.
Ryan terkekeh geli di sudut ruangan. Dia sengaja menjauh agar bisa tertawa dengan bebas. Sebenarnya pria itu sudah menduga jika bunga itu pasti untuk Aleeta. Namun, biarkanlah dia terhibur dengan kesalahpahaman ayah dan anak itu.
"Kau di mana sekarang? Segera kembali ke kantor. Daddy tunggu penjelasanmu." Panggilan pun terputus.
Rendra berdecak. Membicarakan perihal wanita dengan sang ayah adakah hal yang sangat Rendra hindari.
"Ah, Shit! Seharusnya aku bisa menahan diri malam itu." Rendra mengacak rambut frustasi dengan sebelah tangannya.
Rendra sengaja memacu kendaraannya dengan lambat. Ia berharap sang ayah akan menyerah untuk menunggu dan segera pergi dari kantornya. Semoga.
Rendra mengehentikan laju kendaraannya dan 0dengan santai melangkahkan kaki menuju ruangannya begitu tiba di kantor.
"Dad?" Rendra cukup terkejut karena sang ayah masih setia menunggu di ruangannya.
"Kamu berharap apa? Hah?" lelaki yang masih terlihat tampan di usianya yang tak lagi muda itu terlihat melemparkan sebuah ke arah Rendra.
"Aku tidak punya maksud apa-apa, Dad."
"Siapa wanita itu? Apa Daddy mengenalnya?" Pertanyaan itu langsung terlontar.
"Astaga, Dad. Putra kesayanganmu ini baru saja datang. Bukan—"
"Memang menurutmu apa tujuan Daddy mau menunggu lama di sini, hah? Katakan siapa wanita itu?"
Rendra tahu, ia tidak bisa lagi mengelak.
"Jika waktunya tiba aku pasti akan mengenalkannya pada Daddy."
"Alah, paling kamu cuma membual, 'kan?" ucap ayah Rendra mencoba memancing Rendra. Tampaknya beliau tidak akan pulang sebelum mendapatkan jawaban yang pasti.
"Siapa bilang? Aku sungguh punya seorang kekasih," kilah Rendra dengan wajah serius. "Tidak akan lama lagi."
Nelson tergelak mendengar pernyataan anaknya.
"Tidak lama lagi? Artinya dia belum menjadi kekasihmu?" Nelson sengaja memperjelas semuanya, tetapi justru membuat Rendra mencebik kesal.
"Ah, aku jadi penasaran dengan wanita yang membuatmu seperti ini. Sebelumnya kau tidak butuh banyak usaha untuk meluluhkan hati seorang wanita."
Rendra seolah tertusuk oleh perkataan sang ayah. Memang benar jika selama ini para wanita yang mengejar-ngejar dirinya dan bukan sebaliknya. Hanya Aleeta seorang yang mampu membuatnya seperti ini.
"Pokoknya minggu depan kamu harus mengajak wanita itu untuk makan malam denganku, titik. Daddy tidak menerima alasan. Daddy rasa satu minggu sudah cukup untuk membuat wanita itu menjadi kekasihmu."
"What?" Rendra terbelalak mendengar permintaan sang ayah. Tidak. Itu bukan sebuah permintaan, melainkan sebuah titah.
"Kenapa? Kalau kamu tidak bisa membawa dia, terpaksa perjodohanmu akan kita lanjutkan." Nelson beranjak dari duduknya lelaki itu menepuk bahu Rendra sebelum pergi meninggalkan ruangan.
"Membawa Aleeta bertemu dengan Daddy sama saja dengan membongkar kedokku," gumamnya.
Rendra menghempaskan tubuhnya pada sofa. Lelaki itu terlihat prustasi.
"Ryan, kau dengar apa yang dikatakan Daddy tadi?"
Ryan yang sedari tadi berdiri dan menyimak obrolan anak dan ayah itu tentu saja dengan jelas mendengar semua.
Senyum licik mulai terukir dibibir Rendra. Namun, entah mengapa senyuman itu justru membuat Ryan merinding. Seolah-olah ada sesuatu hal tidak baik yang akan terjadi kepadanya.
"Kenapa?" tanya Ryan mengendikkan bahu saat atasannya itu terus menatapnya.
"Tunda pertemuan dengan Daddy minggu depan!" Itu merupakan sebuah ultimatum.
Kali ini Ryan menyesali kenapa tadi ia tidak pergi saja dari ruangan itu. Ingin rasanya Ryan menghantamkan bogem mentah pada wajah atasannya itu. Apakah pria tampan itu selalu menyebalkan?
Untuk menenangkan rasa kesal, Ryan ikut menghempaskan tubuhnya di sofa. Berbaring dan memejamkan mata.
"Hei, apa kau sudah gila, hah? Apa kata-kataku tidak cukup jelas? Kenapa kau malah—"
"Diam! Aku sedang berpikir!" Ucapan Ryan berhasil membungkam mulut Rendra.
"Ah, shit! Kenapa seolah kau yang menjadi atasan." Rendra mengumpat sambil melirik sekertaris nya itu.
Hening. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Aku ingat." Ryan langsung terduduk dan menatap Rendra.
"Astaga! Apa kau sengaja membuat jantungku copot, Ryan" Rendra yang terkejut menatap geram pada Ryan.
"Sory, Bos. Aku terlalu senang karena kita akan bisa membatalkan pertemuan minggu depan."
"Oh, ya? Secepat itu? Kamu memang selalu bisa diandalkan. Katakan!"
"Minggu depan kita ada perjalanan bisnis ke luar negri untuk beberapa hari." Ryan menatap Ipad di tangannya. Menggulirkan tangannya di atas layar untuk memastikan lagi jadwal mereka.
"Hai, seharusnya kau mengatakan dari tadi. Kau sudah membuaku berpikir keras beberapa menit." Rendra melemparkan bantal sofa dan ditangkap dengan apik oleh Ryan.
"What?" Ryan membelalakkan mata.
Ah, Ryan sangat kesal dengan Rendra. Padahal dia telah memberikan solusi yang sangat baik untuk masalah atasannya itu. Akan tetapi tetap saja dia selalu salah. Lebih sialnya lagi, Ryan tidak bisa mengekspresikan kekesalannya kepada sang atasan.
Kalau tahu seperti ini, lebih baik aku membiarkannya pusing seharian dan baru memberitahukan tentang perjalan bisnis itu besok. Ryan membatin kesal, tetapi tetap menampilkan senyuman di wajahnya.
"Jangan mengumpat dalam hati dan keluarkan saja, Bodoh!" hardik Rendra melemparkan bantal sofa yang lain ke arah Ryan.
Kali ini Ryan masih berhasil menangkapnya. Meski dia masih tetap terkejut dengan mulut yang sedikit terbuka. Entah pria di hadapannya itu benar-benar manusia atau monster. Dia selalu berhasil menebak isi hati Ryan.
'Shit! Dia masih saja selalu seperti ini. Kalau kau memang tahu isi hatiku, harusnya kau tahu aku selalu kesal padamu.' Lagi-lagi Ryan membatin.
Rendra menatap Ryan dengan geram dan berkata, "kau melakukannya lagi, 'kan? Mengajukan!"
"Apa maksudmu, Bos? Kau tahu aku pemuja nomor satumu, tidak mungkin aku mengumpat meski di dalam hati sekalipun," kilah Ryan dengan wajah tenang. Situasi seperti itu telah sering dilaluinya, jadi telah terbiasa.
Namun, ketenangan itu hanya sesaat bertahan di wajah Ryan. Detik selanjutnya wajah pria itu berubah puas, sedangkan Rendra tampak tersenyum puas saat seseorang menyela pembicaraan mereka.
"Apa maksudnya?"