Chereads / BEAUTIFUL DESTINY (BAHASA INDONESIA) / Chapter 31 - BAGAIMANA RASANYA DITOLAK?

Chapter 31 - BAGAIMANA RASANYA DITOLAK?

"What? Bukannya tadi kau yang memintaku untuk datang ke sini?"

"Apa ada kata kantor dalam kalimatku tadi, Ryan?"

"Hah? Maksudmu?" Ryan terlihat bingung.

"Sepertinya IQ-mu sudah menurun, Ya. Aku memintamu untuk datang ke apartemenku, Ryan!"

"What? Bos, Kau ...." Ryan menggantungkan kalimatnya.

"Apa?"

"Tidak. Aku segera ke sana." Dengan kesal Ryan mematikan telepon.

"Argh. Lama-lama aku bisa gila!". Ryan tampak frustasi. "Sebenarnya siapa yang salah? Kenapa dia tidak bilang kalau aku harus ke apartemennya. Aku juga bodoh. Kenapa aku tidak bertanya tadi aku harus ke mana."

Gegas Ryan memutar tubuh dan melangkah dengan cepat. Tidak ingin mendapat penghukuman di hari yang secerah itu. Setelah menaiki kendaraannya, pria itu melajukan mobilnya dengan kecepatan yang lebih. Ya, karena masih pagi jalanan masih cukup lengang.

"Argh, aku harus berkendara secepat mungkin, atau dia akan menggila," gumam Ryan dari balik kemudi.

Ryan berulangkali merutuki kebodohannya dan kebodohan Rendra. Padahal tidak biasanya dia seperti itu. Apakah ini semua karena faktor kelelahan? Entahlah, semua itu masih menjadi misteri baginya.

"Huh, ini rekor tercepat aku mengendarai mobil. Bahkan, saat mengejar Malika kemarin aku tidak melaju secepat ini."

Mobil yang dikendarai Ryan tampak menyalip beberapa kendaraan di jalanan. Ah, dia bahkan melupakan keselamatannya.

Segera Ryan menuruni kendaraannya dan menuju ke lantai unit apartemen Rendra. Bahkan, dia berlari agar segera tiba di sana.

"Bos ... aku ... sudah sampai." Ryan masih berdiri di ambang pintu apartemen Rendra. Mengatur napas yang kian memburu karena berlari.

Seorang pria tampan dengan pakaian kasual berwarna putih sedang duduk menunggunya di sofa.

"Kau terlambat," ucap pria itu dengan dingin. Matanya memindai tubuh Ryan dari atas ke bawah seolah-olah sedang mencari sesuatu.

"Maafkan aku, Bos. Aku kira kau ada di kantor, jadi–"

"Mana?" tanya Rendra menatap lurus ke arah Ryan.

"Hah?" Ryan tampak bingung dengan perasaan itu. "Apa maksudnya?" imbuh pria itu masih belum paham.

"Bunga." Rendra mengulurkan tangannya.

"Apa maksudnya dengan bu ... nga." Ucapan Ryan semakin lirih saat dia telah mengingat tugas yang diberikan kepadanya.

"Shit! Kenapa aku sampai melupakannya?" gerutu Ryan kesal dalam hatinya.

Mata Ryan melebar karena takut saat mendapati Rendra menatapnya dengan kesal.

"Wah, kau luar biasa sekali, ya," sarkas Rendra dengan memberikan penekanan pada tiap kalimatnya.

"A-aku memang sengaja tidak membelinya dulu, Bos. Aku takut salah pilih dan kau akan marah lagi. Aku bukannya tahu seleramu, tapi tetap saja aku takut melakukan kesalahan dan aku yakin kau tidak akan menyukainya. Lagipula, kurasa tidak akan ada toko bunga yang buka pukul 06.20 WIB," ujar Ryan panjang lebar. Untung saja otak cerdasnya bekerja baik saat dibutuhkan.

"Hah, kau sangat banyak bicara. Jadi maksudmu bagaimana?" Wajah Ryan berubah cerah karena atasannya tampak menerima alasan itu.

"Maksudku kita bisa membelinya di perjalanan menuju tempat Bu Aleeta."

Rendra tampak diam sesaat, lalu menganggukkan kepala membenarkan perkataan asistennya itu. Pria itu berdiri lalu berjalan melewati Ryan yang masih setia berdiri.

"Anda mau ke mana?" tanya Ryan dengan polosnya.

Rendra menatapnya dalam sebelum menjawab, "bukannya kita mau beli bunga, lalu pergi ke tempat Aleeta?"

"Ah, benar juga, tapi Anda yakin akan pergi seperti itu?" Ryan mengerutkan kening melihat penampilan atasannya itu. Ya, memang benar apa pun yang dikenakannya dia akan tetap tampan.

Rendra memandang ke arah yang ditunjuk Ryan, lalu segera masuk ke dalam kembali. Rupanya dia masih memakai sandal rumahan.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit, akhirnya mereka sampai disebuah toko bunga yang cukup terkenal. Bunga-bunga berwarna-warni tampak menghiasi halaman toko. Toko itu menyediakan semua jenis bunga. Bahkan bunga yang jarang ditemui di tempat lain pun ada di sana. Toko itu juga menjual aneka tanaman hias.

Semerbak wangi bunga menyambut Ryan dan Rendra. Mata mereka dimanjakan dengan aneka warna yang indah. Seorang pegawai wanita menyambut mereka. Membantu Rendra memilih bunga dan menjelaskan makna dari setiap jenis dan warna bunga yang Rendra tunjuk.

Ah. Ingin rasanya Rendra membeli semua jenis dan aneka warna bunga di sana. Namun akal sehatnya segera bekerja. Ia harus benar-benar sabar dan hati-hati kali ini.

Pilihan Rendra jatuh pada setangkai tulip bewarna merah. Bagi Rendra bunga yang menjadi ikon negara kincir angin tersebut memiliki makna tersendiri untuk

Rendra. Bunga itu sangat cocok untuk Aleeta.

Ryan mengemudikan mobil dengan sesekali melirik ke sampingnya. Di mana Rendra tengah menatap setangkai bunga di tangannya.

"Kenapa harus tulip, Bos? Kenapa tidak mawar saja?" tanya Ryan.

"Bunga ini jauh lebih cocok untuk Aleeta. Bunga ini juga sangat kuat dan tidak mudah layu."

Ryan kembali mengerahkan pandangan lurus ke depan. Meski sebenarnya dia masih heran mengapa atasannya itu tidak memilih bunga mawar merah yang melambangkan keromantisan.

Selama ini orang-orang biasanya memberikan bunga itu kepada pasangan atau orang yang dicintai. Namun, Rendra, kan,emang berbeda dengan kebanyakan orang.

"Ya, bagaimanapun orang itu memang berbeda," batin Ryan sembari menganggukkan kepala.

"Jangan berpikiran yang tidak-tidak?" ucap Rendra yang masih asik memandangi bunga yang dibelinya.

"Kapan aku melakukannya." Ryan berkata dengan santai.

"Jangan bohong. Lalu, kenapa kau mengganggukkan kepala seperti itu?"

"Ah, aku hanya mengingat sebuah lagu dan tanpa sadar menggoyangkan kepalaku, Bos. Maaf jika itu mengganggumu," ujar Ryan mengangkat tangannya.

Rendra tampak terdiam mendengarnya. Mungkin saja sedang tidak ingin berdebat atau sedang sibuk merangkai kalimat yang akan diucapkannya kepada Aleeta nanti.

Saat kendaraan yang membawa mereka memasuki pelayan parkir hotel Grand Hilton, Rendra telah memegangi dada dan mengatur napas. Dia sangat gugup, bahkan lebih gugup dibandingkan bertemu dengan klien penting dia tidak segugup ini dan selalu percaya diri. Namun, berhadapan dengan Aleeta telah mengikis kepercayaan dirinya.

"Kenapa, Bos? Tidak usah gugup begitu, dong. Kan, kalau cinta ditolak dukun bertindak," ucap Ryan asal sembari terkikik. Namun, hanya sesaat, karena sebuah jitakan mendarat di kepalanya.

"Kau pikir aku ini siapa? Aku Rajendra Alister, pria tampan yang dikagumi banyak wanita. Kalau sampai aku tidak bisa mendapatkan Aleeta, jangan panggil aku Rendra." Rendra berkata dengan sungguh-sungguh dan percaya diri.

Tentu saja kepercayaan dirinya itu beralasan. Selama ini kaum hawa yang mengejarnya. Meski baru kali ini dia mengejar wanita, tetapi dia optimis akan diterima.

"Tetapi gelar lelaki penakluk wanita itu pada akhirnya terkikis juga, Bos." Ryan tersenyum remeh.

"Maksudmu?" Rendra mengerutkan kening. Menuntut penjelasan dari kalimat Ryan tersebut. Tentu saja ia tidak terima dengan ucapan asistennya tersebut.

"Buktinya sudah jelas di depan mata, Bos. Bahkan kau harus berjuang keras untuk mendapatkan hati Bu Aleeta, bukan?"

"Sial!" Rendra mendengus kesal mendengar ucapan Ryan. Ia tidak bisa menampik semua kalimat yang diucapkan asistennya tersebut.

"Bagaimana Bos, rasanya ditolak? Ryan tak hentinya menggoda lelaki itu.