Rendra tampak sengaja tidak ingin melepaskan tautan tangan mereka. Dia terlampau sangat menikmati momen tersebut.
Rasanya percuma saja Aleeta berusaha melepaskan tautan itu, karena Rendra sangat erat menggenggam tangannya. Sudah pasti apa yang akan terjadi jika dia mencoba melepasnya.
Genggaman tangan itu harus terlepas saat mobil yang mereka kendarai telah berhenti di sebuah rumah sakit yang tidak jauh dari pusat perbelanjaan. Kecewa. Tentu saja. Namun, Rendra harus merelakannya, karena harus segera memeriksakan kaki Aleeta.
Segera Rendra keluar dari mobil, lalu mengitari bagian depan mobil dan membukakan pintu untuk Aleeta.
"Ayo," ajak Rendra mengulurkan tangan dengan posisi siap menggendong Aleeta.
Namun, wanita itu menepis uluran tangan Rendra dengan pelan. Tidak ingin menjadi tontonan lagi seperti di supermarket tadi.
"Kamu papah aku saja, Ryan." Aleeta mencoba bernegosiasi saat Rendra hendak menggendongnya lagi.
"Enggak, Aleeta. Itu berbahaya. Bagaimana kalau sakitnya bertambah parah dan akhirnya kau tidak bisa berjalan? Sudah. Aku gendong saja."
"Itu enggak masuk akal, Ryan. Mana ada orang yang enggak bisa jalan hanya karena luka sekecil ini," protes Aleeta kepada Ryan karena menurutnya perkataan pria itu sangat berlebihan.
"Jangan menganggap remeh sesuatu, Aleeta. Sekarang lukanya memang kecil, tapi jika enggak diobati lukanya bisa semakin besar. Bagaimana jika itu semakin parah dan infeksi, tentu kamu enggak akan bisa jalan, 'kan?"
Aleeta memberenggutkan wajah kesal. Sungguh dia sangat ingin menyangkal semua itu. Namun, wanita itu tidak ingin berdebat dengan Ryan.
Saat Aleeta masih berperang dengan pikirannya, tiba-tiba saja Rendra Telang mengangkat tubuhnya. Kali ini tidak ada penolakan dari wanita itu. Bagaimana wanita itu hendak menolak, sedangkan Rendra sudah lebih dulu menggendongnya sebelum ia melayangkan protes.
Rendra tersenyum penuh kemenangan saat Aleeta telah mengalungkan kedua tangannya di leher pria itu dan pasrah untuk digendong olehnya.
Saat telah berada di ambang pintu masuk rumah sakit, seorang perawat membawakan kursi roda untuk Aleeta karena iba kepada Rendra.
"Tuan, Anda bisa meletakkan Nona itu di sini sekarang. Saya yakin Anda telah kelelahan karena menggendongnya dari parkiran," ujar perawat yang mendorong kursi roda itu.
Namun, pria itu menolak dan ingin membawa Aleeta dengan tangannya sendiri menuju ruang UGD.
"Terima kasih, Suster. Tapi, saya masih kuat, kok."
Sementara Aleeta yang sangat malu, lagi-lagi hanya bisa menyembunyikan wajahnya, menutupi dengan kedua tangannya.
"Turunkan aku sekarang, Ryan, kalau enggak aku akan marah sama kamu. Kamu menggendongku seolah-olah ini luka yang serius banget," bisik Aleeta dengan suara lirih.
Rendra tidak peduli dan tetap berjalan dengan penuh percaya diri.
"Kita sudah membahasnya tadi, Aleeta. Aku enggak akan menurunkanmu kecuali di UGD," balas Rendra penuh penekanan pada akhir kalimatnya.
Aleeta mengembuskan napas pelan. Sekarang dia pasrah meski akan menjadi headline di berita besok.
Seorang dokter wanita muda yang sedang bertugas di ruang UGD menghampiri Rendra begitu dia memasuki ruangan. Pria itu segera meletakkan Aleeta di bangsal agar bisa diperiksa dan dirawat lukanya.
"Apa yang terjadi kepada pasien," tanya dokter itu cepat karena tidak melihat luka yang serius maupun darah.
"Kakinya terluka, Dokter." Rendra menjawab sembari menunjuk ke arah luka di kaki Aleeta setelah melepaskan high heels yang dikenakan wanita itu.
Malu. Aleeta hanya mampu menatap langit-langit dengan tatapan kosong.
"Maksud Anda luka yang ini?" dokter itu berusaha mengkonfirmasi dengan menunjuk ke tempat yang dimaksud Rendra.
"Iya, Dokter. Cepat bersihkan dan rawat luka itu, jika tidak nanti dia tidak akan bisa berjalan," tukas Rendra dengan wajah yang sangat panik, hingga membuat dokter itu kehilangan kata-kata.
"Tapi luka ini ...." Ucapan dokter itu terhenti karena melihat wajah Aleeta yang telah memerah. "Baiklah, saya akan segera mengobatinya. Jadi, Anda silakan tunggu di luar," imbuhnya dengan wajah serius pula.
Rendra mengangguk dan memegang kedua tangan dokter tersebut sembari berkata," aku serahkan semuanya kepada, Dokter. Saya mohon lakukan yang terbaik untuknya."
Setelah itu, Rendra pun keluar dari ruangan tersebut. Dia tidak duduk dan tetap berdiri di depan pintu.
Sementara itu dokter mengambil peralatan yang dibutuhkannya, lalu kembali menghampiri Aleeta.
"Anda pasti sangat lelah, ya?" tanya dokter kepada Aleeta saat mulai membersihkan lukanya.
Aleeta yang sedang menutupi matanya dengan punggung tangan hanya menggelengkan kepala pelan.
"Ini hanya luka kecil, dok. Lagipula aku tidak berjalan ke sini. Dokter lihat sendiri, 'kan, tadi."
Dokter itu terdiam sesaat mengamati Aleeta yang mungkin saja ingin bersembunyi di lubang dan menghilang karena sangat malu.
"Maksudku, Anda pasti lelah menerima semua perhatian kekasih Anda yang sangat berlebihan," pungkas dokter itu terkekeh mengingat bagaimana cemasnya Rendra, perlakuan dan perkataan pria itu tadi.
Aleeta tersenyum canggung mendengar perkataan itu. Jujur saja, baru satu hari dia menghadapi perhatian Rendra dan dia telah cukup lelah dan malu pastinya. Namun, mengetahui ada seseorang yang sangat memerhatikan dan menghargainya seperti itu juga membuat hatinya menghangat.
"Dokter, bisa saja. Jangan berkata apa pun lagi, Dok, saya malu," ujar Aleeta yang wajahnya semakin memerah saja.
Sepertinya jika bersama Rendra dia harus menebalkan wajahnya agar tidak malu.
"Eh, kenapa? Kan, bagus. Banyak, loh, wanita yang mengeluh karena pasangannya kurang atau tidak perhatian. Anda termasuk orang yang beruntung." Dokter itu tersenyum ramah menanggapi perkataan Aleeta.
"Iya, Dok. Tapi dia perhatiannya berlebihan. Dan, lagi ... kami belum jadian." Aleeta sengaja memelankan suaranya pada akhir kalimat karena malu.
Mungkin saja dokter itu akan berpikiran yang tidak-tidak tentangnya.
"Wah, jadi masih pendekatan, ya?" Aleeta mengangguk mengiyakan. "Bukankah itu bisa jadi bahan pertimbangan untuk Anda? Apakah Anda melihat reaksinya tadi? Bahkan saat belum menjadi siapa-siapa untuk Anda, dia sudah secemas dan seperhati itu. Bukankah itu artinya dia pria yang baik?"
Aleeta hanya terdiam. Apa yang dikatakan dokter itu benar adanya. Hanya Ryan yang selalu memperlakukannya dengan berharga. Apakah itu artinya dia harus menerima perasaan Ryan dan segera memberikan jawaban atas perasaan pria itu? Toh, Aleeta pun merasakan hal sama dengannya.
Ada rasa nyaman yang sulit digambarkan saat bersama Ryan. Rasa yang baru kali ini dirasakan oleh Aleeta hingga membuatnya bingung sendiri.
" Nah, sudah selesai," ucap dokter itu memperlihatkan hasil kerjanya.
Belum sempat Aleeta mengucapkan terima kasih, dokter itu telah memanggil Rendra.
"Bagaimana keadaanmu sekarang, Aleeta?" tanya Rendra dengan raut dipenuhi kecemasan.
"Dia sekarang sudah tidak apa-apa. Saya akan memberikan salep agar luka itu tidak meninggalkan bekas."
"Baiklah. Tapi dia masih bisa berjalan lagi, 'kan, dokter?" balas Rendra kembali bertanya untuk memastikan semuanya.
Alih-alih menjawab, dokter itu malah terdiam.
"Saya mohon maaf, Tuan. Tapi sepertinya tidak."