"Maksud Dokter apa?" Aleeta tentu saja sangat terkejut dengan pernyataan dokter yang terasa tidak masuk akal tersebut.
Bukankah tadi dokter itu mengatakan bahwa dia sudah tidak apa-apa dan Aleeta pun merasa jika luka di pergelangan kakinya itu hanyalah sebuah luka ringan. Lantas kenapa sang dokter mengatakan dia tidak akan bisa berjalan lagi? Tidak masuk akal.
"Apa yang terjadi dengan kakinya, Dok? Apakah ada luka dalam yang sangat berbahaya? Aku pikir semuanya akan baik-baik saja setelah satu minggu dan hanya butuh waktu sebentar untuk menyembuhkan lukanya. Tapi, apa ini? Apa ada kemungkinan kau salah diagnosis?" Rendra mencecar dokter dengan pertanyaan dan wajahnya pun seketika berubah menjadi panik.
Jika Rendra tahu jika kaki Aleeta akan separah itu, tentu tadi dia bukannya membawa wanita itu ke ruang Unit Gawat Darurat, tetapi langsung ke ruang operasi.
"Ehem, begini ...." Dokter dengan sengaja menjeda kalimatnya dan menatap Aleeta dan Rendra bergantian. Membuatkan kedua insan itu sedikit penasaran dengan apa yang akan disampaikannya. "Untuk saat ini Nona Aleeta belum bisa berjalan karena kakinya tidak bisa terlalu banyak bergerak. Dia sangat membutuhkan bantuan Anda, Tuan." Dokter tersebut tersenyum penuh arti kepada Aleeta.
Mata indah Aleeta membulat sempurna mendengar ucapan dokter. Sepertinya dokter tersebut sengaja menggoda Aleeta dan Rendra. Ingin mendorong Aleeta dan Rendra agar lebih dekat dengan alasan kakinya yang sakit.
"Astaga. Saya kira dia tidak akan bisa berjalan selamanya, Dokter. Anda membuat saya sangat terkejut dan khawatir." Rendra menghembuskan napas lega setelah mengetahui bahwa dokter itu hanya berguarau.
"Baiklah, kalau begitu saya permisi. Semoga lekas sembuh Nona Aleeta." Dokter tersebut pamit setelah memberikan sebuah kertas resep obat pada Rendra. Tentu saja dengan senyum menggoda penuh arti yang tidak dapat diartikan oleh pria itu.
Namun, Aleeta yang mengetahui artinya menjadi salah tingkah sendiri.
"Baik. Terima kasih untuk semuanya, Dok." Rendra berkata sembari tersenyum ramah.
Ah, ingin rasanya Aleeta bersembunyi di balik bantal. Bisa-bisanya dokter itu menggodanya dan berkata seperti itu saat Rendra juga berada di sana. Akan panjang urusannya jika pria itu mengetahui makna yang tersirat di dalam kalimat sang dokter.
"Baiklah, Aleeta. Kamu tunggu di sini sebentar, ya. Aku akan menebus obat ini dulu. Sambil menunggu, kamu bisa merebahkan dulu tubuhmu. Aku enggak mau kamu kelelahan. Okay?"
Aleeta hanya mengangguk menanggapi ucapan Rendra. Dia terus memandangi punggung lelaki itu hingga menghilang di balik pintu.
Selama menunggu Aleeta terus mengingat perkataan dokter tadi. Apakah ini sudah saatnya dia memberikan jawaban atas perasaan Rendra?
Semakin memikirkan hal tersebut, hati Aleeta juga semakin gelisah. Rasa bersalah kembali menyelimuti hatinya saat mengingat seseorang yang selama ini dia tunggu. Tidak bisa dipungkiri jika rasa untuk Rendra sudah mulai tumbuh di hati Aleeta. Namun, dia masih butuh sedikit waktu lagi untuk benar-benar meyakinkan hatinya.
Setiap kali Aleeta mengingat Rendra dan menginginkan pria itu, saat itu pula bayangan seseorang yang sangat dia rindukan kembali berkelebatan di ingatan. Namun, di saat bersamaan hatinya dipenuhi rasa bersalah. Ya, Aleeta menyalahkan diri sendiri karena sudah memikirkan pria lain. Seolah-olah mengkhianati pria yang selama ini bertahta di sanubarinya.
"Kamu di mana, sih? Kenapa kamu membuat aku menunggu sangat lama?" Setetes air mata membasahi pipi Aleeta saat ia memejamkan mata dan teringat sahabat kecilnya.
Tidak. Bahkan air mata itu terus mengalir seiring dengan sesak yang Aleeta rasakan. Wanita itu menutup mulut degan kedua telapak tangannya. Menumpahkan tangis tanpa suara di sana. Kenapa ia selalu bimbang dan tidak bisa untuk memilih? Tidak mungkin dia serakah untuk menginginkan keduanya.
Sebuah usapan lembut di kepalanya membuat Aleeta tersadar. Namun, dia enggan untuk membuka mata. Aleeta tahu itu adalah Rendra. Matanya justru semakin banyak memproduksi kelenjar lakrimal dan semakin kuat membekap mukulnya sendiri untuk meredam suara tangisnya.
Rendra menarik tubuh Aleeta ke dalam pelukan dan menenggelamkan wajah Aleeta di dada bidangnya. Mengusap lembut kepala wanita itu, lalu berkata, "menangislah selama yang kamu mau, Aleeta. Tapi setelah ini kamu harus berjanji akan baik-baik saja."
Sebenarnya Rendra sudah kembali sejak tadi, tetapi langkahnya terhenti di ambang pintu ketika melihat Aleeta tengah menangis. Cukup lama dia melihat Aleeta dari ambang pintu hingga akhirnya memutuskan untuk menghampiri wanita itu. Entah kenapa hatinya terasa nyeri saat melihat wanita itu menangis dengan menahan suaranya. Ia tidak tahu kenapa Aleeta bisa menangis seperti itu. Rendra ingin memeluk tubuh Aleeta, memberikan ketenangan.
Perlahan Aleeta sudah mulai merasa tenang. Ia membuka mata, mengusap pipinya yang sudah basah oleh air mata.
"Maaf." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Aleeta.
"Menangis itu adalah hal yang wajar. Apakah kamu sudah tenang sekarang?" Rendra bertanya. Ia mengusap sisa air mata di pipi Aleeta dengan ibu jarinya.
Untuk beberapa detik tatapan mereka bertemu. Entah mengapa Aleeta enggan memalingkan tatapannya, wanita itu seolah tengah mencari jawaban atas kebimbangan hatinya.
"Sepertinya luka di kaki kamu sangat sakit, ya. Sampai kamu menangis seperti itu." Rendra tersenyum menggoda Aleeta.
Sebenarnya Rendra tahu bukan luka di kaki Aleeta penyebab wanita itu menangis seperti tadi. Wanita kuat seperti wanita itu tidak mungkin lemah hanya karena sebuah luka kecil. Namun, Rendra tidak ingin memaksa dengan bertanya pada Aleeta.
Aleeta terkekeh menanggapi kata-kata Rendra.
"Apakah aku terlihat sangat lemah saat menangis tadi? Huh. Bahkan aku harus menangis karena luka sekecil ini. Bagaiman jika aku menerima luka yang lebih besar lagi." Aleeta tertawa pelan untuk menghibur dirinya.
"Kamu hanya boleh terlihat lemah di depanku, Aleeta. Karena pundakku sangat kuat untuk kamu bersandar. Jangan menangis di depan laki-laki lain. Aku sungguh tidak rela ada orang lain yang menyeka air matamu, apalagi memberikan pundaknya untuk tempat bersandar." Rendra mendengus kasar membayangkan hal itu.
Aleeta semakin tertawa melihat bagaimana wajah kesal Rendra membayangkan hal yang belum tentu terjadi itu.
"Aku berjanji kamu tidak akan merasakan sakit lebih dari ini dan akan kupastikan tidak ada lagi air mata kesedihan yang akan menetes dari mata indahmu, Aleeta."
"Ryan ...." Aleeta tersentak saat Rendra tiba-tiba menggendongnya untuk meninggalkan ruangan itu.
"Sembunyikan saja wajahmu jika kamu tidak ingin orang lain melihat mata sembabmu itu." Rendra tersenyum menggoda. Aleeta mengikuti saja perkataan Rendra. Ia mengalungkan tangan di leher Rendra dan menyembunyikan wajahnya di dada bidang lelaki itu.
Tentu saja perlakuan Rendra terhadap Aleeta menarik perhatian orang-orang yang ada di rumah sakit. Beberapa pasang mata menatap iri pada Aleeta. Seolah mereka berbisik. 'Beruntung sekali wanita itu'.