Aleeta hanya terdiam selama perjalanan, membuat Rendra turut membisu. Mereka sibuk dengan pemikiran masing-masing, hingga akhirnya perjalanan itu diwarnai keheningan.
Tepat di sebuah pintu masuk sebuah taman, Rendra menghentikan laju kendaraannya. Turun dari mobil, lalu sedikit berlari kecil mengitari bagian depan mobil untuk membukakan pintu untuk Aleeta.
Wanita itu masih terdiam dengan tatapan kosong. Entah sedang memikirkan apa hingga tidak menyadari Rendra telah membuka pintu untuknya.
"Aleeta ... Aleeta ...," panggil Rendra untuk ke sekian kalinya. Karena tidak kunjung mendapat respon, pria itu menggenggam tangan Aleeta.
Aleeta sedikit terkejut saat menyadari pria yang tengah tersenyum manis itu menggenggam tangannya. Mau tidak mau, dia mengikuti langkah pria itu memasuki taman tersebut.
Taman itu tidak terlalu besar dan lumayan sepi. Tempatnya bagus, hanya saja letaknya yang jauh hingga tidak seramai taman lainnya.
"Kita mau ke mana, sih, Ryan? Kan, di sini ada tempat duduk juga," protes Aleeta menunjuk sebuah bangku panjang berwarna putih yang terbuat dari kayu.
"Di sana lebih bagus, Aleeta. Aku yakin kamu pasti suka. Percaya deh," balas Rendra percaya diri.
Pasalnya tempat itu juga sering dikunjunginya tatkala hari atau hatinya sedang tidak baik-baik saja.
Aleeta tersenyum lebar kepada Rendra saat mereka tiba di tempat yang di maksud Rendra.
"Bagus banget, Ryan. Kamu tahu tempat ini dari mana?" tanya Aleeta penasaran. "Aku enggak pernah tahu kalau ada tempat seperti ini."
Rendra senang melihat Aleeta kembali tersenyum seperti itu. Tidak sia-sia pria itu membawanya ke tempat rahasianya. Itu artinya, mereka memiliki rahasia kecil bersama. Ah, memikirkan hal itu membuat senyum terus terukir di wajah tampan Rendra.
"Ini tempat aku menghilangkan kesedihan. Karena kamu orang yang spesial buat aku, jadi aku ajak kamu ke tempat spesialku," tukas Rendra seraya berpegangan pada pagar pengaman yang terbuat dari besi di sepanjang sisi kiri taman.
Wajah Aleeta merona mendengar ucapan Rendra. Karena tidak ingin wajah merahnya terlihat oleh pria itu, dia melangkah mendekati pagar pengaman, lalu merentangkan kedua tangan merasakan embusan angin yang menerpa wajah dan memainkan surai panjangnya.
"Terima kasih," ucap Aleeta singkat tanpa mengalihkan pandangan. Pemandangan jejeran bangunan rumah dan gedung-gedung yang terhampar di hadapannya terlalu menarik perhatian wanita itu.
"Aku senang kalau kamu senang. Aku suka saat kamu tertawa, makin cantik. Bikin aku makin betah liatnya." Rendra kembali melayangkan pujian untuk kesekian kalinya. Sepertinya dia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan yang ada.
"Kenapa aku?" tanya Aleeta dengan suara pelan. "Aku yakin dengan posisi dan wajah setampan kamu itu pasti banyak wanita yang mendekat."
Rendra turut memandang lurus ke arah hamparan gedung-gedung itu.
"Aku enggak tahu kenapa hati aku milih kamu dan aku enggak butuh alasan untuk itu. Bagiku ... aku suka karena itu kamu," jawab Rendra memalingkan wajah ke arah Aleeta. Pun dengan wanita itu.
Sesaat mereka saling melayangkan pandangan tanpa berkata apa pun.
Tampaknya Aleeta masih berperang dengan perasaannya sendiri. Setelah menyukai pria yang tidak pernah dia tahu keberadaannya untuk waktu yang lama, membuatnya sulit untuk membuka hati. Justru wanita itu selalu merasa telah berkhianat.
Rendra mengalihkan kembali pandangannya dan memutus kontak mata di antara mereka.
"Kamu enggak usah merasa terbebani, Aleeta. Aku sudah pernah bilang kalau aku akan tetap menunggu meski itu artinya butuh waktu yang tidak sebentar."
Aleeta tersenyum samar menatap Rendra. Di saat dirinya tengah bimbang, sepertinya pria itu justru sangat yakin akan perasannya sendiri. Membuat wanita itu sedikit iri kepadanya. Padahal waktu yang mereka habiskan hanya sesaat, tetapi entah apa yang membuat Rendra sangat yakin kepadanya.
"Aku mengajak kamu ke sini untuk mengurangi beban pikiranmu bukan untuk menambahnya. Jadi, nikmati saja pemandangan ini," pungkas Rendra sembari mengayunkan langkah menuju sebuah kursi kayu lainnya yang berwarna putih. Kursi itu tidak sepanjang kursi yang lain dan hanya muat untuk dua orang saja.
"Aku suka pemandangannya. Apalagi ditemani langit sore seperti ini, makin cantik." Aleeta membalikkan tubuh dan bersandar pada pagar besi itu.
Kini dia saling berhadapan dengan Rendra dengan jarak tiga meter. Hembusan angin lagi-lagi membuat Surai Aleeta menari hingga menutupi sebagian wajahnya.
Sosok Aleeta yang seperti itu tampak sangat indah di mata Rendra. Membuat pria itu merekam kuat dalam ingatannya. Ya, sebagai pengobat kala rindu menyapa hatinya.
"Tapi kamu lebih cantik."
"Ih, kamu kenapa, sih. Dari tadi gombal terus," protes Aleeta kesal. Saat dia hendak melangkahkan kaki, Rendra gegas menghampiri dan memapahnya menuju kursi kayu yang tadi didudukinya.
"Aku enggak pernah gombal, ya. Semua yang aku bilang itu kenyataan."
"Ah, sudahlah. Aku malas berdebat sama kamu." Aleeta kembali terdiam menikmati semilir angin sore ditemani pemandangan di hadapannya.
Lampu-lampu yang mulai berpendar, seolah-olah menjadi kumpulan bintang yang bertaburan. Suasana temaram membuatnya semakin indah saja.
Rendra melepaskan jasnya dan menyampirkan di bahu Aleeta. Tampaknya dia takut wanita itu akan kedinginan karena suhu yang semakin menurun.
"Kita pulang sekarang, yuk. Aku takut kamu sakit. Kalau kamu sakit, aku enggak akan bisa konsentrasi bekerja," ucap Rendra mengulurkan tangannya hendak menggendong Aleeta.
Namun, wanita itu menolak dengan menggelengkan kepala. Jarak mereka dari mobil hanya sekitar enam atau tujuh meter. Tentu saja dia akan kuat berjalan ke sana, begitu pikirnya.
Rendra yg ang tidak ingin berdebat memilih memapah Aleeta. Diletakkannya satu tangannya di pundak Aleeta dan tangan lain di pinggang wanita itu.
Setelah Aleeta memasuki kendaraan, Rendra tidak segera ikut masuk. Dia mengambil ponselnya dan menelepon Ryan untuk memastikan asistennya itu telah melaksanakan tugasnya.
"Kamu di mana, Ryan?" tanya Rendra saat sambungan telepon telah terhubung.
"Aku sudah di jalan menuju hotel, Bos," jawab Ryan singkat.
"Kenapa kamu sangat lama, hah? Padahal aku sudah kasih waktu yang cukup lama. Kamu tidak becus, Ryan."
"Maaf, Bos. Tadi aku sedang bersama Malika di suatu tempat. Jadi butuh waktu untuk sampai di supermarket untuk mengambil belanjaan Nona Aleeta," kilah Ryan memberi alasan. Dia bukanlah Doraemon yang memiliki pintu ajaib yang bisa membawanya ke mana saja. Cukup membuka pintu dan kau akan tiba di tujuan.
Rendra berdecak kesal mendengar alasan itu. Ryan tahu betul untuk menggunakan Malika sebagai perisai.
"Aku akan memelankan mobilku. Awas saja kalau kamu tiba lebih lama dari aku di hotel. Jika itu terjadi, ucapkan selamat tinggal pada gajimu bulan depan," ancam Rendra dengan penuh penekanan.
Ryan bahkan belum menjawab perkataan Rendra, tetapi alasannya itu telah memutuskan sambungan telepon. Selalu begitu. Hanya mengucapkan apa yang dia tanpa membiarkan Rendra berbicara hingga selesai. Nasib.
"Ryan bodoh!"